Onggha: Ingtatan, Tegangan, Sesilangan

Oleh Shohifur Ridho Ilahi


I

Sebermula adalah onggha.

Secara harfiah, onggha bermakna ‘naik’, kebalikan dari istilah tersebut adalah toron yang berarti ‘turun’. Dalam tradisi masyarakat Madura yang perantau, onggha berarti ‘berangkat’ atau ‘pergi’, sementara toron adalah pulang atau mudik.

Migrasi menjadi bagian dari sejarah Madura untuk menyikapi tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kuntowijoyo mencatat, praktik migrasi mulanya merupakan kegiatan musiman tetapi kemudian berkembang menjadi emigrasi atau kepindahan secara permanen. Pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa di Jawa Timur yang menjadi basis masyarakat Madura seperti di Pasuruan, Probolinggo, Puger, dan Panarukan. Sekitar 40 tahunan kemudian orang-orang Madura menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya seperti Gresik, Surabaya, dan lain-lain.

Saya tidak tahu persis sejak kapan istilah onggha dan toron dipakai untuk menandai praktik migrasi tersebut. Namun, secara selintas, definisi tersebut tampak tidak ada masalah, namun jika kita melihat lebih jauh dengan merunutnya hingga ke zaman Kolonial, segera kita akan mempersoalkan bagaimana istilah itu dipakai dan bagaimana ia menjadi kosa kata khas yang merujuk pada praktik migrasi. Selain itu kita juga segera melihat bahwa istilah tersebut tidak sesederhana tentang ‘naik’ dan ‘turun’ atau ‘pergi’ dan ‘pulang’, melainkan juga bertungkuslumus dengan perkara pelik terutama bagaimana Kolonial Belanda meninggalkan warisan berupa stereotipe (negatif) yang ditabalkan kepada manusia Madura.

Stereotipe itu bekerja di sekitar bagaimana identitas dan citra Madura dibentuk oleh wacana Kolonial mula-mula dengan membandingkannya dengan saudara terdekatnya: Jawa. Dan celakanya, stereotipe itu bekerja hingga sekarang dan kerap dipakai sebagai cara pandang orang untuk melihat Madura.

Melalui beberapa data dari penelitian antropologis yang saya takik dari sepotong artikel Hubb de Jonge berjudul Stereotypes of the Madurese (1995: 7-24), saya ajak Anda bersafari ke Madura melalui narasi peneliti Belanda berikut ini:

“Perempuan Madura tidak terlalu anggun dan berwibawa. Struktur tulangnya kelewat kasar dan raut mukanya terlalu bebal. Gadis-gadis ciliknya jauh lebih halus, namun segera menjadi kasar begitu mereka tumbuh dewasa.” (Brandts Buys, 1926)

“Pakaian sehari-hari orang Madura terlihat kumal dan dekil. Kaum lelakinya tidak peduli pada pakaian: celana komprang selutut, sejenis kemeja di badan, selembar sarung yang dikalungkan, serta daster yang diikatkan sekenanya di kepala dan lengkaplah dandanannya.” (Van der Linden: 1931-1932)

“Dia sangat berbeda dengan saudara Jawanya yang lebih berbakat dan berperasaan, yang sebaliknya terutama sangat cermat dalam huubungan sosial dan menghargai tata cara dan sopan santun. Karena itu ia merasa jauh lebih terhormat dan bermartabat, dan memandang rendah orang Madura yang kasar itu. Ia menyebutnya orang yang pemarah dan lebih memilih tidak berkawan dengannya.” (Van der Linden: 1931-1932)

Kita juga lihat bagaimana mereka membandingkan orang Madura dengan orang Jawa:

“Dengan mudah dibedakan dari orang Jawa. Perawakan mereka lebih kekar dan berotot, tetapi tidak lebih besar, muka lebih lebar dan tidak halus, tulang pipi sangat menonjol, dan tampang lebih galak dan sering kasar.” (J.L. Van Gennep, 1921)

“Orang Madura tidak sesopan dan seresmi orang Jawa; ia berani mengungkapkan pendapatnya, bahkan kepada orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya sekalipun. Gerak tubuhnya penuh semangat; dalam bercakap-cakap dengan sesama, ia lantang. Bahasanya terdengar keras dan tajam, tapi penuh ekspresi dan sesuai dengan segenap kepribadiannya.” (Van Gelder, 1899)

“Sejauh dimungkinkan untuk berbicara tentang sifat umum, dapat dikatakan bahwa orang Madura kurang resmi, lebih bersemangat dan mandiri daripada orang Jawa. Namun kemandirian tak jarang terlampiaskan sebagai jenis kekerasan dan ketidaksopanan, yang bisa terasa tidak menyenangkan, khusunya ketika baru kenal, bagi seseorang yang terbiasa bergaul dengan orang Jawa yang santun, meski lebih menghamba. Bahkan dalam bercakap-cakap dengan para petinggi pun, nada suaranya berani dan tidak sungkan-sungkan, seringkali mendekati kurang ajar.” (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1918)

Daftar kutipan ini secara terang benderang mencitrakan manusia Madura sebagai pribadi yang tidak beradab. Tidak ada yang baik dan bijaksana dalam diri mereka. Tak ada peradaban yang cerah di Pulau Garam itu. Adapun tentang kapasitas keilmuan dan keterampilan, mereka juga tak segan mengirim pukulan keras ke batin orang Madura:

“Orang Madura sangat cocok untuk pekerjaan yang tidak banyak membutuhkan keterampilan, dan banyak majikan lebih menyukai mereka karena alasan tersebut. Tetapi, pada pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektual lebih banyak, mereka kelihatan tidak mampu bersaing dengan orang Jawa.” (H.A. Surink, 1933)

Tak cukup dengan hantaman itu, mereka juga mengirim hantaman berupa narasi tentang rendahnya naluri artistik pada diri orang Madura:

“Di bidang sastra, seni rupa, musik dan tari, orang Madura nyaris digambarkan sebagai barbar. Kesusasteraan mereka dikatakan mengekor Jawa. Sedikit sekali karya orisinil (Esser, 1894). Orang Madura tidak punya cita rasa seni dalam musik dan seni visual (Gelder,1899). Bahasa Madura hanya dipakai dalam pertunjukan seni panggung kelas rendah (Si Lindoeng, 1898). (Hubb de Jonge, 1995)

Daftar kutipan ini bisa diperpanjang, tetapi semuanya nyaris bernada sama. Tetapi, di samping citra negatif, orang Madura juga diakui memiliki sejumlah sifat positif, seperti gagah perkasa, berani, berjiwa petualang, terpercaya, setia, rajin, hemat, ceria, jenaka. Orang Madura juga memiliki reputasi yang baik dalam hal ‘kesetiaan’. Mereka dapat dipegang perkataannya dan umumnya menepati janji.

Tetapi, citra positif ini segera tertutupi oleh citra negatif sebagaimana kutipan di atas. Dan mereka mencari pembenarannya dengan menarasikan kondisi ekologis pulau Madura sebagai tanah yang gersang dan tandus. Dan kondisi tersebut mempengaruhi watak orang Madura.

Akibat citra negatif itu dan bagaimana Madura dinarasikan, terutama hubungannya dengan Jawa, kita akan segera melihat bawah istilah onggha untuk pergi ke Jawa dan toron untuk kembali ke Madura memang tidak setara, suatu posisi yang menempatkan Jawa lebih superior ketimbang Madura. Berangkat ke Jawa seolah-olah menapaki peradaban dengan derajat dan marwah yang lebih tinggi.

Ketidaksetaraan tidak hanya terjelaskan melalui istilah tersebut, tetapi juga pada pola pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa dan Madura. Dari situ kita bisa melihat bahwa Kolonial memang tidak imbang dalam melihat Jawa dan Madura, terutama bagaimana stereotipe tersebut berimplikasi pada praktik migrasi orang Madura ke Jawa yang termaktub dalam sebutan onggha dan toron.


II

Sebermula adalah onggha, kemudian “Onggha”.

Dan sekarang saatnya kita berkunjung lagi ke Madura melalui mata orang pertama: Suvi Wahyudianto.

Saya ingin memasukinya mula-mula dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana pameran “Onggha” karya Suvi Wahyudianto mengambil posisi dalam memaknai praktik onggha? Bagaimana Suvi sebagai generasi Madura hari ini melihat praktik migrasi yang terus dilakukan dari waktu ke waktu? Pola hubungan macam apa yang berlangsung dari waktu ke waktu antara orang Madura dan warga setempat serta dengan komunitas etnis lain di tanah rantauan?

Saya tidak akan meletakkan pertanyaan tersebut sebagai sesuatu yang harus dijawab oleh pameran ini, ia dimunculkan lebih sebagai jalan untuk dijelajahi lebih jauh dan memancing kemungkinan pembacaan lain, baik oleh penghayat seni rupa di Indonesia maupun Suvi sendiri. Misalnya, apakah onggha masih relevan dibicarakan sementara Suramadu sudah beroperasi dan oleh karena itu apakah posisi Jawa dan Madura memungkinkan dilihat secara seimbang, tidak lagi dimaknai seperti ‘naik ke Jawa’ dan ‘turun ke Madura’, melainkan ‘antara’ Jawa dan Madura, suatu posisi yang setara?

Mengambil posisi ‘tidak-untuk-menjawab-pertanyaan’ penting disinggung dalam catatan ini karena selain ia merujuk pada proses pencarian Suvi sebagai orang Madura sekaligus seniman muda yang jalannya masih panjang, tetapi juga proses riset yang dilakukan Suvi saya kira belum tuntas. Pertanyaan di atas lebih pada sesuatu yang terus ‘berlangsung’ daripada sesuatu yang harus “diselesaikan” dalam satu jawaban. Sesuatu yang berlangsung tersebut semacam letupan sewajarnya yang umumnya dirasakan oleh anak muda yang selalu menggelisahkan (mencemaskan) identitasnya.

Sebagai suatu letupan, ia penting juga dilihat bukan hanya sebagai sebagai modal untuk menyimak kecenderungan artistik Suvi melainkan juga sebagai tegangan dari usaha memunculkan wacana pengimbang atas narasi Kolonial. Namun apakah wacana pengimbang tersebut berhasil atau tidak, itu satu hal, tetapi proses menuju ke sana adalah hal lain. Dan pameran “Onghha” ini lebih dekat dengan yang disebut terakhir.

Suvi memang tertarik mengangkat sesuatu yang dekat dengan dirinya, terutama Madura. Sama dengan pameran kali ini, pada Februari 2016 di C2o Surabaya, seniman kelahiran Bangkalan ini menggelar pameran tunggal pertamanya dengan menakik “Sapi Madura” sebagai satu ide dan gagasan. Pameran tersebut juga tebal oleh narasi kolonial, tetapi usaha-usaha untuk lepas dari narasi tersebut juga tak kalah tebal, salah satunya dengan cara menghadirkan pembacaan yang diambil dari nilai-nilai adat istiadat leluhurnya serta pilihan bahan material karyanya seperti instalasi tulang dan kulit sapi, celurit, garam, batik, dan foto-foto koleksi Tropenmuseum.

Demikian pula yang terjadi dengan pameran “Onggha” ini. Namun saya melihat karya-karya kali ini jauh lebih siap ‘berbicara’ ketimbang pameran sebelumnya. Salah satu caranya Suvi menempuh perenungan atas kegelisahannya yang kemudian diturunkan dengan cara membagi tiga bagian ide dalam karyanya namun tetap di bawah satu ikatan gagasan, yaitu ingatan, tegangan, dan sesilangan.

Pada ‘ingatan’, Suvi menyusur ikatan primordialnya mula-mula dengan mengingat kembali masa kecilnya, perasaan melankolia terhadap alam pedesaan, lalu memeriksa kembali arsip-arsip keluarga berupa foto. Ikatan primordialnya selamanya tidak akan lepas dalam diri Suvi sekalipun ia telah bersesilangan dengan kebudayaan lain. Ikatan ini serupa cut dalam tradisi psikoanalisa Lacanian, atau luka yang tak mungkin hilang dan terus membekas.

Di bagian ‘ingatan’, Suvi menghadirkan lima serial ceker ayam sebagai simbol etos kerja, seperti ayam yang terus mencakar tanah mencari makanan, atau dalam peribahasa Madura disebut akarkar nyolpe’ (mencakar dan mematuk) yang juga dipilih sebagai judul karyanya.

Sementara pada ‘tegangan’ lebih mempresentasikan kenyataan yang gamang, cemas, dan selalu berada dalam situasi ‘antara’. Migrasi tak jarang melahirkan tegangan semacam ini, suatu hubungan tarik menarik antara kenyataan desa dengan realitas urban yang kini sedang dihadapinya. Di bagian ini, Suvi memilih spanduk penjual sate Madura di Yogyakarta. Material tersebut di pilih karena spanduk bertuliskan ‘Sate Madura’ hanya ada di luar Madura, suatu penanda khas di mana identitas etnis dalam khazanah kuliner (selain Tukang Cukur Madura) selalu dilekatkan pada asalnya.

Adapun bagian ‘sesilangan’ merujuk pada Suvi itu sendiri. Di satu sisi ia orang Madura memegang falsafah hidup orang Madura, namun di sisi lain terbuka dengan anasir kebudayaan lain. Yang menarik pada bagian ini adalah bagaimana ia memaknai ‘silang perjumpaan’ itu dan bagaimana ia bersiasat agar keduanya berlangsung secara akulturatif. Di bagian ini, Suvi memilih biskuit dan stoples. Sebagai produk industri, biskuit turut masuk dan menjadi bagian dari pola hidangan yang wajar di masyarakat pedesaan, orang Madura biasa menyebut ‘bisket Mari’.

Dari tiga bagian itu, bagi saya sisi ‘ingatan’ tampak lebih kuat ketimbang dua lainnya. Kecenderungan meromantisasi adalah kenyataan yang tak bisa dihindari bahkan pada karya-karya yang berada di bagian ‘tegangan’ dan ‘sesilangan’. Cara kerja atau metode penciptaan di dua bagian terakhir dilakukan sebagaimana ia menciptakan karya di bagian ‘ingatan’: memanggil kenangan, merenungkannya, dan merespon dengan bentuk dan materi yang nyaris semuanya adalah kenyataan sehari-hari di Madura, atau bagian keseharian Suvi Wahyudianto.

Maka, pertanyaan di atas memang belum saatnya dijawab. Tapi saya tetap menikmati karyanya sebagai letupan. Dan menurut saya, pameran ini adalah mula dari proses panjang Suvi di masa selanjutnya.

Tetapi, kita semua tahu, karya “Onggha” sedang onggha ke/di Yogyakarta. Dan setidaknya Suvi telah mengidentifikasi satu masalah, beberapa pertanyaan.


Bahan Bacaan

Ahmad Fatoni, Madura Perantauan: Kompleksitas dan Harmoni yang Tak Tuntas, 2016: Intelegensia Media, Malang.

Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa, 2003: Jendela, Yogyakarta.

Hubb de Jonge, Stereotipe of the Madurese, dalam C. van Dijk, H. De Jonge & E. Touwen-Bouwsma (ed.), Across Madura Strait. The Dinamycs of an Insular Society, Lieden: KITLV Press, 1995, hlm. 7-24.

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura (1850-1940), 2002: Mata Bangsa, Yogyakarta.

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.