Tegak Lurus Dengan Kalisat (1)

Oleh Shohifur Ridho’i



Memasuki sebuah kota, bagiku serupa menonton teater. Ia melintas dan kemudian habis, selesai. Apa yang bisa diingat adalah lintasan-lintasan tak lengkap, terpotong, membentuk kode dan tanda di dalam ingatan. Perjalanan ke satu tempat atau dating ke gedung teater mensyaratkan kehadiran (tubuh, kata, jejaring makna) dan interaksi, sebab peristiwa berlangsung pada saat itu dan di situ juga, dengan ruang dan waktu yang spesifik. Dan ia tak mungkin berulang. Kunjungan pertama dan kunjungan berikutnya akan selalu berbeda meski memasuki kota yang sama, sebagaimana pula pentas pertama dan pentas selanjutnya selalu berbeda sekalipun dengan repertoar yang sama.

Catatan ini adalah lintasan tak lengkap dan terpotong yang mampu aku ingat. Dan ia hadir sebagai peristiwa pertama yang sudah selesai dan sekaligus peristiwa kedua yang masih berlangsung di kepalaku.

Demikian aku mengingatnya.

***
Akhirnya ‘kota kecil’ ini aku kunjungi selepas beberapa bulan hanya mengendap di dalam kepala. Selama beberapa bulan aku menerka seperti apa wajah Kalisat. Terkaan atau sejenis bayangan tentang daerah ini biasanya menyergap tiba-tiba begitu aku mengingat obrolan dengan Ayos Purwoaji di Co2 Library and Collabtive, Surabaya pada akhir Januari 2017.

Ayos berkisah bahwa di kalisat ada situs penting yang mungkin aku bisa mengunjunginya. Situs itu bukanlah bangunan lama peninggalan Belanda atau kitab-kitab bijaksana tentang sejarah Indonesia, melainkan studio, lembaran foto, beserta kenangan di dalamnya. Di situ ada satu studio foto yang konon usianya lebih tua ketimbang Indonesia, dan luar biasanya, mereka masih menyimpan arsip foto-foto lama itu. Di depan Ayos, aku ingin sekali mengumpat untuk menunjukkan betapa aku sangat terpukau dengan kisahnya, tapi aku segera ingat bahwa aku sedang berada di perpustakaan yang tenang dan sunyi. Aku tak mau mengganggu para pustakawan penggila buku. Aku tidak jadi mengumpat. Lelaki muda dan keren ini cuma tersenyum tipis, seperti menantang.

Dan aku menerima tantangannya.

Biasanya bayangan tentang studio foto itu datang pada malam hari ketika aku sedang rebah di kamar kosku yang sempit dan alhamdulillah berantakan, satu tanda bahwa di ruang kecil yang kucintai ini ada kesibukan sepele dan aku belum sempat merapikannya. Saat itu, Ayos menyebut satu kata kunci: Njoo Photo Studio atau Njoo Studio Foto. Sebagai generasi millenial, tentu saja aku memanfaatkan berkah Google. Namun rupanya, mesin pintar ini pun tidak banyak menyimpan nama tersebut. Aku hanya menemukan beberapa catatan ringan dan kecil di beberapa blog. Aku kemudian menyusur lagi, siapa tahu ada seseorang melakukan tugas mulia dengan menulis panjang dan serius tentang studio foto tersebut. Tapi, nihil. Aku tak menemukannya.

Aku tak putus asa, catatan ringan dan kecil itu sangat berharga bagiku. Kemudian aku membacanya, dan muncullah sebuah gagasan mengunjungi Kalisat.

Kalisat memang cuma sebuah desa di kecamatan yang juga bernama Kalisat, kabupaten Jember. Di awal tulisan aku menyebut ‘kota kecil’ sebab ia memang menyerupai kota ketimbang desa: bangunan tua, stasiun, kisah-kisah perjuangan dan kolonialisme, dan gedung bioskop yang kini malih rupa menjadi toko. sejatinya Kalisat seperti sebuah kota lainnya di Indonesia, memiliki riwayat sejarah yang mengharu biru. Ia adalah salah satu lanskap sosial politik di Indonesia di mana kita bisa menyusur hingga ke belakang, hingga ke tulang rusuk riwayatnya, melalui jejak yang masih bisa dijangkau: artefak dan kisah-kisah..

Karena didesak oleh dorongan tentang bayangan timbunan foto-foto lama arsip pribadi milik keluarga Njoo, aku kemudian berpikir alangkah Kalisat memiliki harta karun yang patut ditelusuri, direguk pengetahuannya. Dan aku ingin menjadi salah seorang yang ingin melakukannya.

Waktu itu aku belum punya alasan selain keinginan membuat satu karya yang bertolak dari arsip foto (soal bagaimana arsip ini dikerjakan menjadi satu karya, aku belum mau membagikannya di sini sekarang, rahasia perusahaan  :D), satu alasan yang bagiku terlalu serius. Tapi kali ini aku punya alasan lain yang barangkali lebih manusiawi: mengunjungi saudaraku di Madura yang lain (bagian ini aku ceritakan nanti).

Aku harus segera ke sana.

Akhirnya aku berangkat ke Kalisat untuk kali pertama. Kunjungan ini aku tandai sebagai prestasi pentingku tahun ini, mengingat aku bukan jenis orang penjelajah ke daerah-daerah kecil yang jarang dibicarakan, dan bukan pula jenis manusia pendamba liburan.

Selepas isya’ pada almanak 16 Juli 2017, aku bersama Ayos bertolak dari terminal Bungurasih Surabaya. Kami tiba sekitar pukul 00.38 di terminal Jember, lalu naik taksi untuk menempuh sekitar 20 menit perjalanan ke Kalisat. Malam itu aku disergap dingin.

Aku selalu menyukai malam dan dingin yang diberikannya. Itulah alasan mengapa aku cenderung sentimentil dan berbakat menjadi penyair (tidak masyhur dengan sejumlah puisi jelek). Demikian pula malam itu, ketika kami melintas di bunderan (atau alun-alun) Kalisat, lalu bertemu dengan pasar yang belum terjaga dari tidurnya, taksi kami belok kiri dan di ujung sana, astaga, stasiun kecil seperti sedang menunggu.

Kami turun sekitar 50 meter di sebelah utara Stasiun, tepat di depan pagar yang terbuat dari barisan baja-baja rel tak terpakai yang ditusukkan ke tanah. Pagar itu cuma menyediakan pintu kecil sekira setengah meter. Ayos menyelinap dan seketika ia berada di bagian dalam kawasan stasiun, kemudian aku menirunya dan tak berhasil. Ranselku terlampau gemuk untuk melakukan itu. Aku mencoba sekali lagi: sementara aku melewati pintu, aku mengangkat ransel setinggi kepala dan ia berhasil lolos lewat di atas pagar.

Aduhai, adegan itulah “interaksi” pertamaku dengan (ruang dan benda-benda di) Kalisat.

Selanjutnya aku menyeberang bentangan rel, merasakan dingin yang menusuk, menginjak batu-batu koral yang tajam, gerbong atau bak pengangkut batu-batu di kegelapan dalam sebuah proyek pembangunan entah di mana, hingga sampailah kami di rumah tua itu.



(Bersambung dulu lah. 'Ntah kapan dilanjutin lagi)

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.