Berkah Tiga Belas (Tentang Bangkalan, Masyarakat Lumpur dan Mengapa Serial Ini Cerewet Sekali)

Oleh Shohifur Ridho Ilahi


Berkah Satu

Tinggal di kota yang konon dibangun oleh kemurungan para penyair, saya diberi berkah waktu yang melimpah. Itulah keistimewaan mukim di Yogyakarta. Di kota sentimentil ini, saya menjalani hidup bahagia: tidak dikejar waktu dan jauh dari kehidupan formal seperti para pekerja kantoran. Saya, sebagaimana anak muda pekerja kreatif lainnya yang malas bekerja lima hari dalam sepekan dari pagi hingga sore, menghabiskan hari-hari di hadapan secangkir kopi, sembari berbincang mengenai cinta dan ekonomi, dari politik hingga puisi, dari indomie hingga restoran cepat saji, dari bakwan kawi hingga Sri Ajati.

Karena waktu yang berlimpah itulah saya menulis catatan ini. Jika Anda memutuskan tidak membaca tulisan ini, tentu Anda tidak akan merasa kehilangan. Tulisan ini tidak dibangun oleh kerangka teoritik yang bikin kepala Anda pecah, dan tidak pula bicara satu hal secara linier karena saya menuliskannnya tanpa outline. Tulisan ini bergerak serentak sesuai alur pikiran di kepala saya.

Menulis tanpa outline adalah salah satu cara saya menghibur diri sendiri. Saya sangat terhibur ketika mengetik huruf demi huruf, kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Saya terhibur ketika melakukan bongkar pasang diksi, merombak kalimat dan menggantinya dengan kalimat yang lain, hingga tulisan saya anggap selesai. Saya menyukai yang demikian ini karena sebagai penulis saya seperti menjelajah di rimba raya kata-kata, kadang membuat tersesat, kadang menemukan hal-hal tak terduga dan penuh kejutan.

Sesederhana itulah azbabun nudzul catatan ini.


Berkah Dua

Saya belum pernah tinggal lebih dari dua malam di Bangkalan. Kota itu bagi saya yang orang Sumenep, tak lebih dari lalu lintas menuju pulau seberang. Ia sekadar penyambung tautan antara Madura dan Jawa: tautan geografi demi menempuh pengalaman, ekonomi agar bebas dari terjangan kemiskinan, pendidikan demi cita-cita yang lebih beradab, dan politik praktis demi hasrat kuasa. Tautan itu terjadi dalam biografi kebanyakan orang.

Tapi sungguh tak adil menempatkan Bangkalan hanya sebatas lalu lintas. Ia melampaui itu. Karena Bangkalan dan pelabuhan Kamal, saya memiliki tautan lain selain yang disebut di atas, yaitu emosi. Jawa dan Madura adalah emosi (melankoli) yang terus berlangsung di dalam diri saya. Ini bukan tentang keterlibatan Madura dalam sejarah Jawa sejak zaman Majapahit, atau kisah penaklukan Sultan Agung pada 1642 dan membuat keterlibatan Madura atas Jawa semakin intensif, atau nama-nama masyhur macam Trunojoyo dan Cakraningrat (II, III, IV) yang turut masuk dalam sejarah Jawa, atau istilah Jawa en Madoera dalam narasi kolonial Belanda. Bukan! Itu terlampau serius untuk dibicarakan di waktu senggang dan saya tak punya kapasitas keilmuan untuk menyusur itu.

Tautan emosional saya atas Jawa sepenuhnya tentang perasaan dan mungkin sejumput pikiran, karena itu ia sangat subjektif. Saya tidak bisa membahasakannya. Tapi, mungkin berkah semacam ini bisa diwakili oleh sepotong kalimat dari salah satu puisi karya Chairil Anwar: Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri. Subhanallah!

Anda tahu maksud saya, bukan?


Berkah Tiga

Kesempatan untuk tinggal sejenak di Bangkalan akhirnya tiba pada tanggal 19 Februari 2017. Saya dan Mbak Erytrina Baskorowati, salah satu aktor Teater Garasi berkesempatan mengunjungi Bangkalan secara lebih sempurna lagi, lebih khusyuk lagi. Dari pagi hingga siang kami menonton laga balap sapi di kecamatan Galis. Belum usai Karapan Sapi itu digelar, sekitar pukul 15.00 kami bergerak ke kota kabupaten dengan naik bus mini. Kami sampai di pertigaan dekat kampus STKIP PGRI Bangkalan ketika sore sedang menjelang surup hari. Kami dijemput oleh dua orang penyair generasi millenial yang puisinya belum pernah menaklukkan hati perempuan, apalagi menimbulkan gejolak revolusi dalam satu peristiwa penggulingan rezim darah biru yang korup di Bangkalan. Mereka adalah Alan Kusuma dan Hayyul Mubarak. Dua pemuda ini bukan jenis penyair berbahaya dan puisi-puisinya adalah suratan sederhana dengan balutan diksi yang menjangkau-jangkau.

Bertemu dua lelaki macam Alan dan Mubarak pada Minggu sore yang manis dan anggun, mungkin sebuah kutukan, tetapi karena itu hanya peristiwa penjemputan untuk membawa kami bertemu dengan kawan-kawan KML yang lain, demi kesediaan dan kelapangan hati mereka, itu adalah berkah.

Bersama kawan-kawan Masyarakat Lumpur Bangkalan


Berkah Empat

Alan Kusuma memiliki tubuh legam dan lebar namun pendek. Menurut kepala suku KML yang juga penyair-penyayang M. Helmy Prasetya, jika ingin tahu lelaki Madura yang masih orisinil, maka lihatlah Alan.

Ya, lihatlah Alan dengan mata telanjang pada siang hari yang benderang. Alan adalah pribadi yang penyayang. Ia berbeda dengan sifat bocah gemuk macam Augustus Gloop yang rakus, nakal, serakah dan tidak penurut dalam film fantasi Charlie and The Choholate Factory besutan sutradara Amerika Serikat bernama Tim Burton. Dan Alan juga bukan pemuda gemuk yang pemurung macam potret pemuda Belanda Abad 17 bernama Gerard Andriesz Bicker dengan seekor kucingnya yang gemuk dalam kanvas Svetlana Petrova. Demi melihat lukisan sendu dan melankolik itu, saya mengusulkan supaya Alan juga mengasuh seekor kucing. Dan pada suatu hari nanti, saya membayangkan Anwar Sadat bersedia melukis Alan dan kucingnya untuk satu pameran tunggal berjudul Potrait of Alan Kusuma with  his Cat. Di akhir kisah, mintalah pihak Museum Cakraningrat di Bangkalan mengoleksi lukisan itu sebagai peninggalan sejarah.

Tetapi Alan adalah Alan. Bukan Gloop ataupun Bicker. Apalagi Edgar Allan Poe. Dia diberkahi kehebatan dalam mengundang orang tertawa. Dia penyabar dan tak mudah menyerah. Mungkin karena itulah ia dipilih menjadi ketua KML, dan tahun ini kesabaran dan tanggungjawabnya diuji untuk membuat sejarah pada gelaran Festival Puisi 2 di Bangkalan.

Lain Alan, lain pula belalang. Belalang adalah motor saya yang masih hijau dan teduh. Tapi si belalang tak akan masuk dalam catatan ini. Ia di luar perkara. Lalu bagaimana dengan juru jemput yang satunya: pemuda Hayyul Mubarak? Saya segan. Dia pemalu. Pemuda pemalu memiliki banyak kesempatan disukai perempuan. Berkah itulah yang tak dimiliki oleh staf KML Joko Sucipto.

Bersama Alan dan Mubarak, kami menuju markas Komunitas Masyarakat Lumpur (KML) di bilangan jalan KH. Moh. Yasin, kecamatan kota Bangkalan. Tak sampai lima menit, kami pun tiba dan disambut keluarga KML.


Berkah Lima

Kedatangan kami ke rumah KML tidak bisa disebut “mampir”, melainkan “berkunjung” atau bahkan “tinggal bersama”. Kami bertolak dari Yogyakarta untuk satu keperluan “belajar” dan menambal sulam pengetahuan yang tak lengkap. Kepada mereka kami menempuh ilmu.

Itu kali pertama saya singgah ke sana meski sudah lama saya mendengar komunitas yang didirikan oleh lima kawanan sahabat M. Helmy Prasetya, Roz Zaky, Ahmad Yani, Ani Yuliati, dan Arum Wulandari. Itu kesempatan luar biasa dan saya senang bisa berkenalan dan berada di dekat mereka. KML adalah keluarga seni yang baik, dan menurut saya, orang baik akan senang menerima tamu yang baik, tamu yang baik senang mendapat perhatian dari tuan rumah yang baik.

Kesimpulannya: mereka orang baik, kami juga orang baik. Namun Anda boleh tidak sepakat dengan kesimpulan semena-mena ini.

Pasalnya, selama tiga hari dua malam, kami diberi anugerah penginapan gratis dan segala sesuatunya. Saya nyaris tidak mengeluarkan uang jajan keluali keperluan rokok. Berkah itu melahirkan satu inspirasi bagi saya: jika nanti saya berkunjung ke sana lagi, saya tidak perlu cemas soal anggaran makan, jajan dan jalan-jalan.

Berkah Allah manakah yang engkau dustakan?


Berkah Enam

Berada di sana, meski hanya tiga hari, membuat saya ingin melihat kawasan itu lebih jauh lagi. Tapi saya tahu, tak ada yang bisa menjamin usaha ini berhasil atau tidak, benar atau bahkan keliru. Tetapi begini: bagi saya, melihat Bangkalan (atau Madura secara umum) seperti berdiri dalam situasi gamang. Ia dekat dengan Surabaya namun pada saat yang sama terasa jauh. Ia dekat namun seperti tak tersentuh. Kasus semacam ini barangkali bisa dirunut sejak dari pemerintahan kolonial Belanda melalui remahan data yang saya temukan.

Pada masa kolonial, ada istilah Jawa en Madoera untuk menyebut kesatuan wilayah Jawa dan Madura. Saya kurang paham apakah pernyataan itu yang kemudian secara administratif memasukkan Madura ke wilayah Provinsi Jawa Timur. Istilah ini saya rasa memang problematik. Pernyataan itu hadir seperti klaim atas wilayah Madura, suatu produksi wacana demi eksploitasi wilayah, namun secara praktis, Madura terpisah secara pembangunan. Konsentrasi pembangunan terfokus di Jawa.

Jawa en Madoera lahir dari sebuah komisi pemerintahan bernama Mindere Welvaart Commissie (Komisi Berkurangnya Kemakmuran) menerbitkan hasil penelitiannya tentang Madura pada 1906-1914. Kemudian, atas dasar tertentu, membentuk pula Madoera Commissie pada 5 Maret 1919. Namun komisi ini lumpuh dan tidak berjalan karena krisis ekonomi.

Pada pemerintahan Orde Lama, Madura tidak lagi diperhatikan. Namun sekitar tahun 1970-an, ketika Orde Baru berkuasa, relasi Belanda-Indonesia kembali berlangsung dalam satu proyek kajian yang disebut Madurologi. Kajian-kajian ilmiah tentang Madura pun muncul melalui institusi IKIP Malang dan kemudian berpindah ke Universitas Jember. Memang pada masa Orde Baru proyek ambisius jembatan Suramadu ini dipikirkan. Namun akibat krisis moneter, pembangunan yang mulanya akan dikerjakan pada September 1997 akhirnya batal, dan riwayat rezim Suharto pun tamat. Dan ulama Madura yang tergabung dalam BASSRA (Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura) pun bisa benapas lega sebab ancaman terhadap sistem nilai budaya dan religi tertunda.

Namun cerita belum tutup buku.


Berkah Tujuh

Satu tahun sebelum Jawa en Madoera dibentuk, seseorang bernama Panji Haji Mohammad Noer lahir di Sampang. Ia berasal dari keluarga ningrat dan memiliki kerabat ulama masyhur Madura macam KH. Hasib Siradj dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Di penghujung pemerintahan Orde Lama ia menjadi bupati Bangkalan, lalu menjadi Gubernur Jawa Timur pada tahun 1971-1976, dan menduduki beberapa jabatan penting seperti Dubes Indonesia untuk Perancis (1976-1980), anggota DPA, MPR, dan rektor Unibang (1985-1989).

Sejak kecil Mohammad Noer suka memperhatikan kesulitan masyarakat Madura dalam hal kemakmuran, misalnya ia akan mengingat ketika melihat puluhan orang berjalan ke tanah seberang pada malam gulita dengan diterangi obor. Kisah semacam itu yang mengilhaminya untuk memperjuangkan bagaimana masyarakat memiliki kemudahan akses ke sumber-sumber ekonomi. Apa yang kemudian muncul ketika ia menjadi pamong di Madura adalah konsep 3P yang berarti pendidikan, produksi pangan, dan perhubungan.

Yang terakhir itulah sesungguhnya asbabun nuzul jembatan Suramadu. Ilham yang turun pada tahun 1950-an melalui kepala orang Sampang itulah gagasan yang dulu mungkin kelewat mustahil akhirnya terwujud.


Berkah Delapan

Sebagaimana waktu, kisah pun terus bergulir. Dua tahun sebelum Orde Baru runtuh, bersama kabupaten Gresik, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan, Bangkalan dijalankan dengan proyek pembangunan bernama Gerbangkertosusila oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, satu proyek yang barangkali mimesis dari Jabodetabek. Tetapi, bagi Mohammad Noer, pembangunan di kawasan tersebut sulit terwujud apabila Suramadu belum dibangun.

Dan ketika jembatan itu mulai dibangun pada 2003, pada tahun itu juga Vito Corleone naik tahta dan sekarang kekuasaan berada di tangan putra mahkotanya, Michael Corleone. Namun kisah keluarga Corleone ini tidak diperankan oleh aktor dahsyat Marlon Brando dan puteranya tidak dimainkan oleh Al Pacino yang kualitas aktingnya mengagumkan itu.

Ini adalah kisah The Godfather khas Bangkalan dan bagaimana mesin kekuasaan di Abad Suramadu digerakkan oleh keluarga ini. Berita terakhir yang cukup deras dalam lini masa berita kita adalah praktik korupsi yang dilakukan sang patron. Bagi saya, hal itu pantas terjadi karena ia tidak memiliki kualitas akting seperti Marlon Brando. Dan menurut beberapa orang Bangkalan yang saya tanya tentang pemerintahan yang sekarang, salah seseorang yang saya tanya itu hanya menggeleng lalu menunduk. Dalam hatinya mungkin sedang mengutuk. Artinya, sang putera mahkota pun tak sehebat Al Pacino.


Berkah Sembilan

Dalam situasi tanpa perlawanan berarti terhadap rezim keluarga Corleone tersebut, saya justru teringat Max Weber, seorang pemikir sosiologi dari Jerman yang hidup di Abad akhir 19 dan awal 20. Hari ini kita sedang berada di Abad 21, ada durasi atau jarak 100 tahun lebih antara Weber dengan kita. Sebenarnya nama ini sudah membuat kuping saya rasanya mau bengkak sebab ia selalu dikutip di kelas Sosiologi. Tetapi kenyataan itu harus saya terima karena apa yang ia katakan tentang tipologi kepemimpinan “kharismatis” (selain legal-rasional dan tradisional) masih relevan dengan kenyataan di Madura, bahkan hingga hari ini. Kepemimpinan yang berdasarkan otoritas keagamaan termasuk dalam tipe ini.

Bolehlah sang Vito Corleone menjadi pesakitan dipenjara, tetapi toh karismanya sebagai ulama tetap berkilau. Kultus dan penghormatan warga kepadanya tak pudar dan artinya tangan kekuasaannya akan terus mencengkeram kuat.

Dan seseorang harus melakukan sesuatu.


Berkah Sepuluh

Seseorang harus melakukan sesuatu. Jawa-Madura telah tersambung. Perubahan moda transportasi dari laut ke jalur darat mengasingkan masyarakat dari laut. Pelan-pelan, peradaban laut ditinggalkan. Perubahan sosial tak bisa ditolak.

Seseorang harus melakukan sesuatu dan mempertanyakan kinerja Michael Corleone yang muda itu. Selepas delapan tahun sejak Suramadu beroperasi, kita bisa mendengar atau membaca dalam linimasa harian kita bahwa Bangkalan sudah berubah: pelabuhan kamal pelan-pelan menjadi laut mati karena ditinggalkan para pengguna jasa kapal Fery. Narkoba adalah isu yang berseiring dengan kerapnya peristiwa kriminal pencurian dan pembegalan.

Beberapa waktu lalu, seseorang menulis peristiwa pembegalan di kawasan destinasi wisata Bukit Jedih dalam sebuah status fesbuk. Seseorang yang lain menulis komentar bahwa kasus semacam itu nyaris terjadi setiap hari. Jika hal itu berlangsung terus menerus, bagaimana mungkin masyarakat membayar sekelompok orang yang tak bekerja? Ini adalah kasus yang membuat kalimat usang macam “terjatuh di lubang yang sama” atau “tidak belajar dari kesalahan” mendapat maknanya.

Atau mereka memang tak pernah belajar dan menyukai adegan (men)jatuh(kan diri) di lubang (yang digali bersama-)sama?

Sementara isu bagaimana manusia madura dipisahkan dari laut memeroleh respon dari sekumpulan anak muda pegiat teater. Saya senang karena teman-teman Sanggar Seni Nanggala yang bermukim di Universtitas Trunojoyo hendak merespon isu itu dalam satu agenda Temu Teater Nusantara 2017 di Bangkalan yang direncanakan bertajuk Madura, Suramadu, dan Laut Kenangan. Mereka melakukan pembacaan cukup menarik terutama di kawasan Pelabuhan Kamal sebagai situs penyeberangan yang turut membentuk suatu narasi onggha-toron ([naik]pergi-[turun]pulang) dalam tradisi merantau di Madura.


Berkah Sebelas

Tapi seseorang memang harus melakukan sesuatu. Ketika agenda turisme atau praktik industri wisata nyaris menjadi satu-satunya agenda dinas kebudayaan, selain agenda konservasi budaya dan atau seni tradisi. Tetapi pada saat yang sama, para pemangku tak-bijak-tak-bestari menyangsikan kenyataan bahwa masyarakat berangsur berubah dan generasi millenial telah lahir dengan watak kebudayaan yang berbeda, dan karenanya mereka juga memiliki orientasi dan bentuk kreatifitas yang berbeda pula, maka “ruang” alternatif di mana mereka bisa mengekspresikan kreatifitasnya sangat dibutuhkan.

Karena ruang alternatif itu tidak tumbuh dan ekspresi tidak punya menemukan ruangnya, maka generasi gerombolan di jalanan semakin banyak. Kita tak bisa menyangsikan bahwa KML lahir di tengah situasi semacam itu. Dan yang menarik adalah bagaimana mereka merespon kenyataan di sekitarnya dengan proyek berbasis seni.

Secara genetik, KML lahir tahun 2004, satu tahun setelah Suramadu mulai dibangun. Ketika jembatan itu diresmikan pada 1 Maret 2009, seminggu kemudian KML memasuki usianya yang kelima. Dan sampai hari ini, mereka tetap bertahan, dan bahkan semakin masif menciptakan lingkungan kreatif melalui jalur-jalur sekolah.

Tentu saja tidak menyangsikan keberadaan komunitas lainnya, misalnya Komunitas Bawah Arus yang dibentuk oleh penyair Timur Budi Raja. Selain ia memang tumbuh dalam keluarga seniman, terutama melalui didikan penyair Syarifuddin Dea yang juga ayahnya, apa yang dilakukan Timur Budi Raja dengan berkeliling dan masuk ke komunitas dan sanggar di Madura penting juga dicatat, sebagaimana juga yang dilakukan Mahendra di wilayah teater.


Berkah Dua Belas

Saya sudah lelah. Bagian ini akan diwakili oleh sepotong puisi murung dari buku Sepasang Mata Ayu yang bertitimangsa 31 Desember 2008, 23.59.

Biar selanjutnya kita tak ada. Aku hilang,
kau juga hilang

(M Helmy Prasetya)


Berkah Tiga Belas

Anda harus tahu betapa saya suka merepotkan diri sendiri. Berjalan jauh untuk sesuatu yang dekat, sebagaimana ketika membikin teater: latihan berbulan-bulan untuk satu jam pementasan.

Seperti catatan ini, saya tulis (menurut saya) agak panjang, menghabiskan tiga cangkir kopi bikinan Sabaruddin Faidaus dan dua bungkus rokok Samsu, hanya untuk mengucapkan:

Selamat ulang tahun yang ke-13 Komunitas Masyarakat Lumpur.


Yogyakarta, 15-03-2017

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.