Jihad Pustaka

Oleh Shohifur Ridho Ilahi


Selalu ada orang yang gelisah di dalam kehidupan masyarakat yang tampak tenang dan bahagia. Tenang dan bahagia adalah sejenis perasaan ketika kebutuhan dasar seolah-olah sudah terpenuhi. Tetapi orang yang gelisah akan selalu melihat lubang kecil dari perasaan tenang dan bahagia itu. Orang-orang ini tentu jenis makhluk yang memiliki kepekaan sosial yang tajam. Mereka bisa mengendus ketidakberesan di sekelilingnya. Mereka dapat memprediksi masa depan yang buram dan samar-samar. Dan karena itulah mereka ditakdirkan untuk mengakrabi kegelisahan. Makhluk aneh ini menamakan dirinya Pustaka Madura. Mereka berkeliaran di Sampang.

Kita tahu Sampang adalah daerah yang paling sering menyumbang berita banjir dalam lini masa harian kita. Sampang memberi kita bacaan tentang banjir yang berlangsung reguler nyaris setiap semester dalam aksara yang tercetak di koran dan media daring. Itulah salah satu dari sedikit sumbangan Sampang untuk bahan bacaan dan obrolan sepele di warung-warung.

Sejauh ini, kita memang bisa menyebut beberapa penulis atau sastrawan dari Sampang untuk mengangkat marwah obrolan sepele itu ke tingkat yang lebih beradab, namun jumlahnya tidak sampai menghabiskan sepuluh hitungan jari, baik yang tinggal di kota lain maupun yang bersetia mukim di Sampang. Misalnya, Umar Fauzi Ballah, Harkoni, Edy Firmansyah, dan Umar Faruk Mandangin. Mereka tinggal di kampung halamannya. Sementara Hidayat Raharja mukim di Sumenep, Alek Subairi menghabiskan hari-harinya di Surabaya, dan Yan Zavin Aundjand malih identitas menjadi warga Jakarta. Ada juga Dwi Ratih Ramadhany dari generasi mutakhir penulis Sampang, dan tampaknya dia satu-satunya penulis perempuan. Tetapi, Sampang pantas murung sebab chebbing raddin ini sudah tinggal dan bekerja di Ibu Kota. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh empat orang yang masih tinggal di Sampang untuk warga sebanyak tujuh ratusan ribu jiwa itu? Astaga, itu kerja mulia yang kelewat mustahil. Mereka butuh banyak lagi orang-orang aneh di luar kelaziman masyarakat yang tak melek aksara.

Selain dari sedikit nama-nama di atas itu, sebenarnya Sampang boleh berbangga hati karena memiliki satu orang pemikir dan pembaharu Islam yang rakus akan diskusi dan buku, yaitu Ahmad Wahib. Pemikir yang wafat pada 30 Maret 1973 itu adalah contoh di mana kita tak boleh memandang remeh kota ini, setidaknya Sampang telah melahirkan satu sosok yang bukunya Pergolakan Pemikiran Islam masih menjadi perhatian terutama di kalangan sarjana muslim di Indonesia hingga saat ini. Selain Wahib, ada Mahfud MD pada generasi selanjutnya, selain pembaca dan penulis serta Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, penulis buku Gusdur: Islam, Politik dan Kebangsaan itu juga seseorang yang membuat kita tidak terburu-buru memandang Sampang sebagai daerah terbelakang dalam hal pendidikan. Dari dua sosok kondang itu, bagi saya menjadi semacam harapan bahwa kelak, pada suatu masa, akan ada lagi orang-orang serupa dan kemudian menjadi simbol pembebasan dari kegelapan nista tunaaksara.

Namun, Wahib sudah tinggal kenangan. Sementara Mahfud MD sedang sibuk mengurus bangsa, beliau juga termasuk kategori veteran dan rasanya tak mungkin jihad pustaka ini dilakukan oleh orang-orang udzur. Namun, sumbangan berupa dorongan moral tetap diperlukan. Jika kita tak bisa berharap pada pemain veteran, maka kita hanya bisa menunggu seseorang yang berani mengambil inisiatif. Dan akhirnya, kita boleh menarik napas panjang ketika nama Pustaka Madura muncul sebagai satu titik cahaya untuk menyebarkan virus membaca.

Mereka adalah sekumpulan anak muda yang mudah tersentuh hatinya melihat kenyataan itu. Pemuda seumuran mereka umumnya mencurahkan segala waktunya untuk jatuh cinta, namun melihat ketidakberesan sedang bekerja di kotanya, mereka menghibahkan dirinya untuk bersibuk-khusuk memburu pembaca, mengabaikan perasaan melankoli yang tumbuh wajar dalam hati mereka, dan membiarkan perasaan itu munguap dalam halaman-halaman buku.

Kebutuhan membaca itulah yang tak dimiliki warga Sampang, dan Pustaka Madura tergerak memikul tumpukan buku dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu gelaran imtihan ke imtihan lainnya, meski tak ada orang yang meliriknya, apalagi menyentuh, membuka, lalu membacanya. Namun hari-hari aneh itu tetap mereka jalani dengan tabah. Mereka seperti satu rombongan yang salah alamat, keliru tempat bernubuat; menggelar buku di sekitar orang-orang yang tak membaca buku.

Lalu, apa kabar kampus di kota ini? Astaga, di antara tiga kabupaten lainya di Madura, Sampang tampaknya tidak berniat menghias dirinya menjadi kota beradab. Misalnya memberikan kampus yang layak dan beberapa surga perpustakaan. Jika kita bertamu ke kota ini, kita akan tahu betapa kota ini nyaris tidak memiliki kampus. Institusi perguruan tinggi yang berdiri di kota ini tampil apa adanya, maksud saya tampil sekenanya dan tak membuat warga berselera mendatanginya, apalagi memasukinya dan belajar di dalamnya. Kampus di daerah yang konon kota bahari itu tak menyumbang kekayaan literasi apa-apa untuk kotanya. Tidak akan ada kewibawaan bagi kampus semacam itu. Tidak ada!

Tetapi, maafkan saya, sebenarnya ini tidak hanya terjadi di Sampang. Ketidakberesan semacam ini juga berlangsung di mana-mana. Di tempat-tempat terpencil yang tak pernah kita kunjungi, dan di sana, bisa jadi ada orang-orang yang gelisah sebagaimana teman-teman Pustaka Madura. Misalnya, di Papua Barat ada Noken Pustaka, di Sulawesi Barat ada Perahu Pustaka, dan Kuda Pustaka di Purbalingga. Kita bisa menyebut lagi Bemo Pustaka, Motor Pustaka, Jamu Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, sepertinya saya perlu menurunkan sepotong data statistik yang saya takik dari tulisan “Para Pencipta Peristiwa” (Kompas, 7 September 2016) anggitan Nirwan Arsuka tentang minat baca di Indonesia. Penggagas Pustaka Bergerak itu melumuri tulisannya dengan data penelitian dari UNESCO dan Central Connecticut State University (CCSU). Dua lembaga itu mengumumkan bahwa Indonesia berada di urutan juru kunci bernomor 61 dari 62 negara yang diteliti.

Dalam hitung-hitungan yang lebih terang dari UNESCO pada 2011, indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1000 penduduk hanya ada satu orang saja yang mau membaca dengan serius. Saya tak hendak menggunakan ukuran ini untuk mengukur Sampang. Saya rasa itu kurang relevan. Misalnya, dari 700 ribu warga Sampang ada 700 orang yang membaca buku secara serius.

Lepas dari angka statistik itu, sebenarnya dongeng tentang rendahnya minat baca di Indonesia demikian lazim adanya, seperti sesuatu yang tak perlu dicemaskan. Dan memang sampai hari ini kita belum memiliki cara-cara cerdas agar buku menjadi sahabat yang baik bagi masyarakat sebagaimana gawai. “masyarakat Indonesia, tampak tak sanggup beli buku, bisa berlomba-lomba membeli telepon seluler,” tulis Nirwan.

Itu kenyataan yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Angka statistik di atas adalah sedikit ilustrasi. Tetapi yang diperlukan dari semua ini bukan angka-angka, melainkan sekumpulan orang aneh yang bersatu dan membuat perubahan penting. Dan frasa pamungkas yang berbunyi “datangi pembaca, ciptakan peristiwa” dalam tulisan Nirwan itu hadir sebagai sebuah tantangan bagi para penghayat buku seperti Pustaka Madura. Kelompok yang dibuat oleh Zamzamul Adzim, Samsul Arifin, dan Djaelani Musaddaq ini sejenis aksara yang akan terus memburu pembaca. Mereka bisa berkolaborasi dengan Komunitas Setingghil yang dinahkodai Umar Fauzi Ballah.

Jika mereka terus konsisten menyebarkan semangat membaca, niscaya tiga orang pengedar aksara itu dimuliakan Allah karena buku dan perjuangannya.

Tulisan versi yang lebih pendek pernah diumumkan di Radar Madura (26-02-2017)






Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.