Dari Apa Sebuah Kota Diciptakan?



Dari apa sebuah kota diciptakan? Demikianlah penyair Indrian Koto bertanya di salah satu baris puisinya (Yogyakarta: Kelahiran Kedua, 2012). Demikianlah pertanyaan itu mengalir apa adanya. Demikianlah puisi itu mencatatnya. Demikianlah saya mengingatnya.

Kota adalah ruang “berjumpa”. Setiap pribadi di dalamnya menulis kisah tentang perjumpaan dirinya dengan kota. Karena perjumpaan selalu bergantung pada waktu, maka perjumpaan saya dengan kota terjadi ketika tubuh dan pikiran saya (kita) bergantung pada teknologi internet yang melucuti batas-batas geografi, namun acap kali membuat kita alpa pada situsi di sekitar diri. Kebergegasan dan percepatan gerak yang dimediasi oleh transportasi modern, namun menciptakan polusi udara, kemacetan dan kegaduhan jalan. Meluasnya arena transaksi kapital yang diinisiasi oleh mall dan supermarket, dan lain-lain, dan seterusnya. Itu adalah perjumpaan jenis pertama. Namun, di samping itu, ada juga perjumpaan jenis kedua, yaitu pribadi-pribadi yang khusyuk menggali kisah dari masa lalu sebuah kota: sejarah, simbol, identitas, kosmologi, dan tradisi.

Saya datang ke Yogyakarta di penghujung tahun 2010. Pada kalender itu kisah-kisah masa lalu beringsut tenggelam. Semakin ke sini, masa lalu semakin karam. Barangkali saya berlibihan, barangkali tidak. Namun tak perlulah kita berdebat soal itu, dan biarkan saya melepas catatan kecil ini ke meja pembaca yang budiman. Catatan ini bukanlah tinjauan puisi, melainkan kisah batin yang remuk oleh perjumpaan jenis pertama yang dicatat dalam puisi.

Pada malam ketika jalanan Yogyakarta mulai lengang, kota ini seperti perawan yang tenang. Aku orang asing pencari persinggahan/ kau memberi tempat yang nyaman. Pada momen itu, sebermula adalah pesona.

Di dalamnya, kita bisa mencatat satu-satu: para seniman jalanan yang gelisah melabur tembok-tembok kota dengan mural. Patung dan instalasi yang kesepian di Malioboro. Poster-poster kesenian yang mencuri perhatian di galeri-galeri seni. Para aktivis menyalakan obrolan di warung kopi. Sepasang kekasih merapatkan kehangatan dengan semangkuk ronde. Para penyair berdiskusi tentang sastra dan Tanah Air. Rombongan mobil tua-antik berjalan pelan seperti janda yang seksi. Musisi jalanan memainkan nomor-nomor nostalgia. Sayup-sayup suara gamelan mengirim syahdu dari kampung sebelah. Alangkah mustahak jika pertanyaan di muka memperoleh maknanya, oleh karenanya kita mafhum, mengapa kota ini selalu dirindukan, dijadikan alamat kenangan.

Seperti kekasih aku pun enggan melepasmu/ aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru. Dari kenangan pribadi-pribadi di dalamnya sebuah kota ada dan diciptakan.

Tetapi, ketika terjepit oleh kegaduhan jalan pada siang hari yang menyala, kita bisa menyaksikan dengan terang: warung makan cepat saji bertumbuhan, minimarket 24 jam bersidesak dengan toko kelontong, mall-mall di tanam di sudut-sudut kota: kita tahu, hasrat belanja kita diciptakan dan dialirkan ke bangunan megah itu. Sementara hotel-hotel jangkung adalah monster yang nyinyir, congkak dan dingin. Bagunan itu seperti pengetahuan dalam buku-buku yang hilang halamannya: ada yang lepas dan terhempas dari sejarah masa lalu kota ini. Setelahnya, aku merisaukan hari depan.

Bangunan-bangunan itu jaraknya satu detik dengan kecemasan. Oleh sebab itu, kita tak dapat menolak ketika warga, seniman, mahasiswa, dan para aktivis keluar dari sarangnya. Mengutuk ketidakadilan, menolak kebijakan yang merusak lingkungan. Kita bisa melacak setumpuk perkara di televisi, koran, dan lini masa media sosial.

Tetapi, kita mafhum, setiap kota adalah ruang yang terlanjur. Sebagaimana Yogyakarta juga terlanjur dibangun dengan sudut pandang masyarakat kelas menengah, dirumuskan oleh kepala-kepala yang tak pernah khusyuk memikirkan makna kota. Setidaknya pernyataan itu bisa menjadi sahabat yang baik bagi pertanyaan ini: dari apa sebuah kota tegak dan berdiri?

Demi pertanyaan itu, betapa Yogyakarta kini bertungkuslumus dengan kemacetan, gedung jangkung yang mengganggu mata, pembenahan yang menghabisi bangunan-bangunan lama, dan lain-lain, dan seterusnya. Kecuali, di kota ini, setiap tempat yang tersisa menjadi penutur yang baik untuk para pendatang.

Tidak ada Yogyakarta, melainkan dirawatnya yang tersisa itu: sejarah, simbol, identitas, kosmologi, dan tradisi. Seseorang bisa mengunjungi dan menempatkan diri di dalam situs sejarah. Di situlah kita masih bisa mengais makna, meraba-raba di ruang yang gulita.

Demikianlah, ketika kelak waktu mengharuskan saya meninggalkan Yogyakarta, mungkin saya selalu ingin mengunjungi kota ini: mungkin untuk merawat kenangan, mungkin juga untuk mengingat mantan, sekalipun harus berebut tempat dengan kecemasan.


_______

(Puisi Indrian Koto)

Yogyakarta: Kelahiran Kedua


I

di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan

begitulah mungkin kita bertemu

aku orang asing mencari persinggahan

kau memberi tempat yang nyaman

kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta

masa lalu ditorehkan dalam grafiti

tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua

aku mendapati gempa yang singkat dan liar

seperti merapi, bibirku gemetar

aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,

rumah ambruk dengan pikiran runtuh

setelahnya, aku merisaukan hari depan

seperti dikurung abu dan gempa subuh

ia datang dengan banyak rencana

membangun tembok, menanam gedung, memanen warung cepat saji

dan menyepakati masa depan dalam siasat ganjil

seperti kekasih aku pun enggan melepasmu

aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru

dan code seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh


II

dari apa sebuah kota tegak berdiri?

jalan-jalan sempit

kendaraan penuh dan saling menjepit

di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi

politik menjadi begitu nyaring dan lantang

lampu merah terus ditancapkan

sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan


dari apa sebuah kota diciptakan?

orang-orang berbondong datang

aku mendengar makian di jalan-jalan

traffic light tak menyala, awas ada galian,

diskon murah, warung makan, demonstrasi, aturan-aturan basi

kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru

masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh


dari apa sebuah kota dibangun?

rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur

kota dikepung minimarket 24 jam

kedai malam impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu


di kota ini aku merasa kembali dilahirkan

berebut tempat dengan kecemasan

politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu


2012



Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.