Usaha Mencari Jejak Teater Modern di Madura



Hari ini aku sedang membayangkan sebuah peristiwa teater di Madura ketika membuka dan membaca lagi surat seorang seniman teater dari Jogja bernama M. Nizar kepada seorang perempuan yang disebut Enny. Surat itu dimuat di Majalah Minggu Pagi nomor 44 tahun XII, 31 Januari 1960. Itu terjadi tiga puluh tahun sebelum aku lahir. Surat itu tak pelak membuat semacam narasi di kepala betapa teater modern di Madura sudah tumbuh pada tahun-tahun itu. Waktu itu M. Nizar datang bersama Motinggo Boesje yang akan memberi ceramah perihal "Malam Jahanam" yang akan dimainkan oleh Enny dan kawan-kawannya. Tetapi, catatan sejarah teater modern di Madura seolah terputus ketika usaha-usaha untuk mencari lembar peninggalan mereka tidak berhasil aku temukan. Aku cuma ingin mengetahui wacana dan praktik macam apa yang berlangsung di Madura waktu itu. Aku terantuk pada tahun itu, selebihnya aku menemukan lagi catatan bawah pada tahun 1964 sebuah gelaran "Festival Drama-Arena Se Madura" pernah terjadi di bumi Garam itu. Festival itu di selenggarakan di Pamekasan dan dibiayai oleh pemerintah setempat. Pada tahun 1973 Madura juga menjadi bagian dari "Jambore Teater se Jawa-Madura" yang diprakarsai oleh Azwar AN, pimpinan Teater Alam di Yogyakarta. Menurut laporan harian Angkatan Bersenjata, terbitan 19 Mei 1973 Madura bersanding dengan kota-kota besar di Jawa yang kehidupan teaternya lebih semarak seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Cirebon, Solo, Surabaya, dan Malang. Selepas itu, kehidupan teater modern di Madura demikian gelap. Tak tersentuh oleh generasi selanjutnya sebab tiadanya arsip dan dokumentasi. Status ini dimaksudkan untuk menemukan data lebih banyak lagi. Mungkin kawan-kawan bisa membantu.

Kembali ke surat M. Nizar kepada Enny. Aku ingin mengajakmu membayangkan sesuatu yang sedang aku bicarakan dengan cara menyalin sepenuhnya teks berjudul "Surat Buat Madura" itu ke sini:


Surat Buat Madura

Oleh M. Nizar


Enny,

Saya merasa senang sekali tinggal di kotamu. Sayang sekali tidak bisa berlama-lama. Sebab saya harus balik ke Jogja lekas-lekas urusan pekerjaan.

Baru sekali saya datang melancong ke Madura. Datang ke kotamu, di Pamekasan. Ibukota Madura.

Untunglah saya bisa datang. Dan ini berkat kemauan keras dari kawan Motinggo Boesje yang mengajak saya, di mana kalian mengharuskan datang buat memberikan ceramah pada permulaan pementasan drama “Malam Jahanam” yang diselenggarakan oleh Himpunan Dramamu: ARTIS NATURA.

Selama saya di kotamu, tanggal 15 dan 16 januari 1960, saya perlukan melihat pementasan drama kalian itu, di mana Enny juga ikut serta bermain, dengan peran Paidjah.

Beruntunglah malam pementasan itu, di kota Pamekasan tidak turun hujan. Hingga menyebabkan malam itu berbondong-bondong orang-orang datang memenuhi gedung pertunjukan. Dan jadi sesaklah gedung pertunjukan itu di karisidenan itu.

Kesan pertama setelah saya berada di dalam gedung pertunjukan itu, kalau boleh saya berterus-terang, setelah saya duduk berlama-lama dan mengarahkan mata memandang ke panggung, saya kira panggung itu kuranglah memenuhi syarat, diuntukkan buat pementasan drama. Tapi berhubung di kotamu saya rasa Cuma inilah gedung satu-satunya yang kalian harap dapat dipergunakan apabila tiap-tiap kalian mengadakan pementasan, ya sudah lebih dari cukuplah. Tapi alangkah baiknya kalau kalian punya keinginan buat mengusulkan kepada yang berkepentingan, demi untuk perbaikan panggung tersebut, dibikin ini, dibikin itu, diperluas, diperlebar, sehingga betul-betul memenuhi syarat buat pementasan drama.

Memang di Indonesia ini, kita amatlah kurang sekali punya panggung-panggung yang bolehlah dikatakan sudah memenuhi syarat buat mementaskan drama.

Saya ambil misal Jogja. Seharusnya di kota ini, kota yang sudah dikenal sebagai kota kebudayaan, di mana kota ini amat sering sekali diadakan pementasan-pementasan drama dan kesenian-kesenian lainnya, yang semuanya itu memerlukan panggung kesenian yang sudah memenuhi syarat di kota ini. Ternyata sampai sekarang ini belum ada.

Memang ada rencana akand idirikan Gedung Kesenian di kota Jogja, entah kapan rencana itu bisa terlaksana, masih kita tunggu dengan hati yang sabar.

Lain lagi halnya dengan di Solo, Surabaya, Malang, Jember dan Jakarta. Di kota-kota ini banyak juga terdapat panggung-panggung yang bagus, yang kalau diperuntukkan buat pementasan drama, ya tidak begitu mengecewakan hati kita.

Apabila Enny nanti pada suatu ketika telah menjelajah main di kota-kota tersebut bersama-sama dengan rombongan sandiwaramu Enny bisa buktikan sendiri.

Nah, sekarang kesan saya tentang pementasan kalian.

Waktu layar dibuka, saya melihat penggambaran dekorasi, dua buah gubuk yang berhadapan (terdapat di pinggir pantai). Serta dikasih layar hitam di latar belakang, dengan mainan tata cahaya lampu yang menggambarkan waktu, malam hari.

Melihat bentuk ini saya merasa senang sekali apa yang telah dgambarkan oleh dekorator dan tata cahaya. Hingga saya terbawa ikut bisa meresai suasana di pantai waktu malam.

Dan setelah saya melihat permainan-permainan kalian. Baiklah saya tidak usah menilai satu persatu. Sebab setelah saya melihat keseluruhan dari peran-peran yang telah dibawakan oleh kalian itu, saya melihat banyak bakat yang bisa tumbuh.

Saya berharap Enny jangan lekas bangga, dengan permainan yang saya lihat malam itu.

Banyak pemain-pemain drama kita atau bintang-bintang film kita, menjadi congkak setelah disanjung.. Padahal ia baru saja main pertama kali dalam drama atau film. Dan secara kebetulan pula, bisa sukses. Lalu si Bintang yang sudah disanjung itu menjadi cemerlang tadi, sudah menganggap enteng saja pada peran-peran yang dijalankannya dalam pertunjukan-pertunjukan cerita lain. Sebab si aku nya tadi sudah ebranggapan, bahwa dialah satu-satunya bintang yang sudah tak ada taranya. Sehingga ia tak perlu lagi memperbanyak studi buat peran-perannya di lain cerita. Alhasil kita tidaklah mendapat suguhan permainan baru mereka dalam tiap-tiap cerita di mana ia berperan. Atau yang lebih tegas lagi kita tidaklah melihat kemajuan-kemajuan dalam permainan mereka.


Enny,

Pada pendapat saya, kalian, seniman-seniman Madura terutama Pamekasan, punya ambisi yang keras. Tetapi seperti dikatakan dalam cermaah dramawan Busje di depan kalian dalam dua malam berturut-turut (tanggal 15 & 16) itu, yang harus diperhatikan dulu yaitu pembagian kerja. Pembagian kerja yang dimaksudkan Busje itu seperti dikatakannya: Ada sutradara yang berwibawa, serius, jangan merangkap-rangkap. Seorang sutradara yang disegani ketika latihan sampai saat main. Yang mengerti maksud cerita, yang tahu sifat-sifat pelakunya. Yang jangan mengeritik pelaku-pelakunya sedemikian pedasnya sehingga pelaku berkecil hati, dan kurang semangat main kelaknya.

Sutradara seperti diceramahkannya, terutama pula harus menenggang pekerja-pekerja di belakkang layar: Dekorator, penata cahaya, penata musik, yang janganlah dianggap “kuli-kuli” belaka. Seperti sering terjadi, sebab tak dijaga hatinya, makan minumnya, mereka bisa sewaktu-waktu mogok. Dan jika hal ini terjadi dekat main, bagaimana? Repot kan? TUkang layar seperti dikatakan Busje termasuk uratnadi. Jangan terulang lagi, layar terbuka sebelum ada perintah. Lalu, pelaku-pelaku karena belum siap, terpaksa layar ditutup lagi. Tukang layar jangan asal diambil dan disuruhkan pada sembarang orang, bisa cilaka.

Pada malam itu Sofleur (pembisik), tidak menguasai hal-hal yang mengecewakan. Ketika ada pelaku lupa sofleur hendaknya bisa mengimbangi suasana. Ia mengerti cerita. Jadi kan betul juga ceramahnyaBusje bahwa sofleur jangan dipandang enteng? Penonton yang berteriak-teriak itu adalah keadaan spontan. Ditambah satu hal: Mereka belum mencintai drama sedekat-dekatnya. Belum tahu kesukaran-kesukaran dan panik di panggung seperti diceramahkan sahabat kita tu.

Jadi kesimpulanku: Sekiranya saya datang lagi ke Madura, baik kawan-kawan pekerja-pekerja drama maupun penonton, hendaknya telah mencapai saling mengerti. Saling tidak merusak suasana. Dan kemudian saling membutuhkan, sehingga tercapailah titik pusar yang berkobar-kobar seperti semangat seniman-seniman Madura. Salam saya buat sutradara Arifin Sumardan, Supervisor Suprapto yang dewasa itu, dan saudara Mahally Noor serta Jusuf Tharnum yang baik.


Sumber: Majalah Minggu Pagi, nomor 44 tahun XII, 31 Januari 1960.




Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.