Bukan Pisau dan Pedang yang Melukai dan Mematikan (Catatan Singkat Untuk Perjumpaan Dengan Sal Murgiyanto yang Singkat)

Oleh Shohifur Ridho Ilahi


Perasaan macam apa yang kamu alami ketika berjumpa dengan seseorang yang kamu kagumi? Jawabannya bisa bermacam-macam tergantung seberapa penting orang itu bagimu dan bagaimana kamu memaknai perjumpaan itu.

Mungkin kata ‘bahagia’ belum mewakili perasaan saya ketika berjumpa untuk kali pertama dengan Pak Sal Murgiyanto. Sejak lama saya sudah mendengar namanya namun saya tidak mempunyai kesempatan untuk berjumpa dengan beliau. Atau lebih tepatnya saya tidak punya cukup keberanian untuk membuat kesempatan itu ada untuk diri saya sendiri meskipun kami sama-sama tinggal di Yogyakarta. Tetapi saya percaya bahwa ‘keinginan’ adalah doa yang tak terucapkan. Sebagaimana doa, kadang dikabulkan dan kadang tidak.

Doa itu akhirnya terkabul begitu saya mengetahui bahwa Pak Sal Murgiyanto akan menjadi salah satu narasumber untuk kelas kritik seni tari pada pergelaran Indonesian Dance Festival 2016 dari tanggal 30 Oktober sampai 2 November 2016 di Institut Kesenian Jakarta. Saya demikian bersemangat berangkat ke Jakarta meski saya tidak tahu hal apa yang akan saya bicarakan dengan beliau nanti. Sepanjang perjalanan dengan kereta Gaya Baru Malam saya begitu khawatir kalau pertanyaan-pertanyaan bodoh tiba-tiba keluar dari mulut saya. Namun tak perlulah saya mendramatisir bagian ini. Pertanyaan adalah mula pengetahuan, baik pertanyaan pintar maupun pertanyaan bodoh.

Bertemu dengan beliau adalah berkah dan saya percaya di situlah pintu pengetahuan bakal terbuka. Pak Sal adalah rumah pengetahuan dengan sebuah pintu kritik seni tari atau seni pertunjukan. Dan pada tanggal 30 Oktober 2016 akhirnya saya membuka pintu itu dan memasuki ‘rumah’ pengetahuannya. Tetapi tampaknya kata ‘bahagia’ semakin tidak memadai untuk menggambarkan perasaan saya ketika mengetahui bahwa Pak Sal menjadi mentor saya, yang artinya saya memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengenal beliau dengan baik. Tetapi, sudahlah, saya tidak mau larut dalam momen melankolik ini. Selanjutnya saya ingin mencatat tentang pengetahuan yang saya peroleh dari kelas kritik itu, khususnya dari proses mentoring dari Pak Sal.

Pak Sal adalah pribadi yang mudah tersentuh hatinya. Selama tiga hari saya mengikuti kelas, beberapa kali saya melihat Pak Sal bergetar bibirnya ketika berbicara tari, hal itu menunjukkan betapa tari adalah kenyataan yang indah dalam hidupnya. Saya paham sebab tari baginya adalah ibadah di mana beliau bisa khusyuk di dalamnya. Di saat-saat itulah saya seperti menyaksikan seorang munsyi sedang memberi petuah kebijaksanaan hidup kepada murid-muridnya.

Sebagai salah satu begawan kritik seni tari, Pak Sal adalah nama yang patut dihormati. Dunia tari bisa bergerak sedemikian rupa hingga bersesilangan dengan kenyataan tari kontemporer di dunia salah satunya berkat kerja seorang kritikus seperti beliau, suatu kerja mulia di mana wacana, karya, dan praktik artistik seorang seniman mendapat tempat yang terhormat. Di sinilah saya ingat kembali nasihat Pak Sal pada hari pertama kelas kritik tari yang mesti dimiliki oleh penulis atau calon penulis, yaitu ‘pikiran terbuka’.  Pikiran terbuka semacam syarat yang harus dipegang manakala kita hendak menyusuri lebih jauh fenomena atau medan seni tari di Indonesia atau bahkan di dunia. Tetapi saya bisa menangkap bahwa sesungguhnya nasihat ini bukan untuk seni pertunjukan saja, tetapi juga untuk kehidupan yang lebih luas. Demikianlah, apa yang diucapkan beliau di dalam kelas pascasarjana IKJ itu menerobos sekat-sekat dinding kampus hingga ke luar dunia pertunjukan. ‘Pikiran terbuka’ adalah sabda universal.

Nasihat itu kemudian mendapat pantulannya pada kalimat beliau yang lain, “jangan sesekali kita menjelek-jelekkan pertunjukan,” katanya. Karena saya tak memiliki data, maka asumsi segera muncul di kepala, jangan-jangan menganggap buruk sebuah pertunjukan sesungguhnya berjalan seiring dengan lemahnya tradisi kritik seni yang sehat. Kritik yang benar-benar berpijak pada fakta dan disertai argumen yang kuat. Selama ini saya hidup di tengah-tengah tradisi ‘menjelek-jelekkan pertunjukan’ itu dan hal ini masih banyak saya temui di forum-forum diskusi selepas pertunjukan di beberapa daerah. Di tempat-tempat yang saya kunjungi itu, banyaknya karya yang dibuat memang tidak diikuti oleh tradisi kritik seni yang baik. Tidak ada orang yang mau bekerja di wilayah ini. Hampir semuanya ingin menjadi seniman.

Dari Pak Sal saya belajar tentang kerendahhatian. Kalimat di atas disempurnakan oleh beliau seperti sebuah novel yang ditutup dengan baik dan anggun, sebuah kalimat yang bahkan bisa menjelaskan kepribadiannya sebagai manusia, “saya tidak melihat kritik sebagai pisau atau pedang yang melukai dan mematikan.”

Demi kalimat terakhir itu, demi pelajaran yang berharga itu, dan demi penghormatan saya kepada beliau—sebagaimana nasihat orang tua kepada saya ketika masih kanak bahwa pelajaran pertama untuk menempuh ilmu adalah mula-mula menghormati gurunya—, maka tulisan ini adalah bentuk penghormatan saya kepada beliau, sekaligus ungkapan “terimakasih” yang sedalam-dalamnya.

Dan hari itu, pada tanggal 02 November 2016, adalah pertemuan terakhir kelas kritik tari, hari di mana kata ‘bahagia’ belum memadai untuk membahasakan perasaan saya. Tapi saya sudah mengantongi nomor telepon dan alamat email beliau, artinya hubungan kami sebagai guru-murid terus berlangsung, dan Yogyakarta akan menjadi kota tempat di mana kami berjumpa. Di penghujung pertemuan kelas itu, saya melihat wajah beliau memeriakkan sebuah harapan pada anak-anak muda di hadapannya, harapan untuk kritik seni tari di masa depan. Sebagaimana keinginan, harapan adalah doa yang tak terucapkan. Perkara apakah doa itu terkabul atau tidak, kita serahkan saja pada waktu untuk menjawabnya, siapa di antara kami yang bisa bertahan dan menjadi warga di rumah kritik seni pertunjukan Indonesia.


Yogyakarta, 10 November 2016


Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.