Berdua

Oleh Shohifur Ridho Ilahi


I
“Dia sudah datang!”
“Oh. Benarkah? Apakah dia memakai sepatu?”
“Sepatu, koper, dasi dan setelan jas yang bagus.”
“Dan sebuah handuk kecil di tangannya?”
“Juga beberapa tas kresek warna-warni di tangan satunya.”
“Menurutku dia sedang kelelahan.”
“Menurutku dia membutuhkan pohon.”

II
“Baiklah, kita diam.”
“Diam!”
“Baiklah, aku diam”
“Diam”

III
“Menurutmu kita adalah sepasang kekasih?”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Menurutmu kita adalah musuh?”
“Aku tidak membencimu.”
“Menurutmu kita sebagai apa?”
“Dia sudah datang!”
“Oh. Benarkah? Apakah dia memakai sepatu?”

IV
“Aku akan pergi.”
“Mencari pohon yang lain?”
“Menyingkir dari hidupmu.”
“Kamu hanya perlu waktu yang singkat.”
“Tapi aku tidak percaya.”
“Dia sedang berjalan kemari.”
“Beri aku alasan mengapa aku harus percaya padamu!”
“Dia sedang berjalan kemari.”
“Aku akan melakukan pekerjaan terbaik yang pernah ada.”
“Duduk di sini?”

V
“Sepatu, koper, dasi dan setelan jas yang bagus.”
“Dan sebuah handuk kecil di tangannya?”
“Juga beberapa tas kresek warna-warni di tangan satunya.”
“Menurutku dia sedang kelelahan.”
“Menurutku dia membutuhkan sebuah pohon.”
“Kita membutuhkan sebuah pohon.”
“Seandainya pohon itu tidak aku tebang.”
“Mungkin hari ini ia telah tinggi?”
“Mungkin hari ini ia telah tinggi dan kita bisa belajar bunuh diri yang baik.”
“Kamu tidak perlu memikirkan dan menyesali pohon yang sudah kamu tebang.”
“Dan terus duduk di sini?”
“Itu pekerjaan terbaik yang pernah ada.”
“Aku akan pergi.”
“Mencari pohon yang lain?”

VI
“Seandainya saja kita tidak pernah bertemu.”
“Boleh saja kita tidak pernah bertemu. Dan kita tidak akan pernah berpikir tentang mati. Tapi hari ini kita bertemu meski pura-pura sebagai orang yang tidak saling kenal.”
“Lalu kita berkenalan?”
“Maka kita berkenalan.”
“Tidak. Kita diam saja.”
“Baiklah, kita diam.”
“Diam”
“Baiklah, aku diam”
“Diam”

VII

“Menurutmu kita adalah sepasang kekasih?”

VIII
“Jangan lagi kamu mengacaukan hidupku.”
“Maka aku pergi.”
“Aku akan merindukanmu.”
“Kita tidak pernah saling mengenal, atau kita pura-pura tidak saling kenal.”
“Lalu kamu anggap apa pertemuan ini?”
“Pertemuan ini hanya satu kemungkinan dari sekian kemungkinan yang lain.”
“Tentang kita?”
“Tentang petemuan kita yang tidak pernah terjadi.”
“Jadi kamu akan pergi?”
“Dan tidak akan pernah ada rindu.”
“Seandainya saja kita tidak pernah bertemu.”
“Boleh saja kita tidak pernah bertemu. Dan kita tidak akan pernah berpikir tentang mati. Tapi hari ini kita bertemu meski pura-pura sebagai orang yang tidak saling kenal.”

IX
“Itu membutuhkan waktu yang lama. Waktu akan mengubah pikiranku. Kamu punya usul?”
“Sementara ini tidak.”
“Aku punya.”
“Ide bagus.”
“Bersediakah kamu mendengarkannya?”
“Ya. Aku mendengarkan.”
“Apakah kamu bersedia membunuhku?”
“Aku tidak mengerti.”
“Kamu akan membunuhku?”
“Aku tidak mengerti.”
“Kamu akan membunuhku!”
“Aku tidak mau.”
“Aku yang minta.”
“Aku merasa terhormat.”

X
“Kita akan bunuh diri.”
“Bukan kita. Kamu saja.”
“Mengapa?”
“Kalau kita mati bersama sementara tidak ada orang lain yang melihat, siapa yang akan berdoa?”
“Jadi kamu tidak usah mati.”
“Mungkin.”
“Lalu kamu akan mencatat aku sebagai apa?”
“Terserah aku.”
“Aku tidak percaya itu.”
“Percaya adalah makhluk paling tolol di dunia kalau kamu mau tahu.”
“Aku mau kamu mencatatku sebagai yang lain.”
“Sebagai yang kelak akan dipelajari oleh anak-anakku?”
“Di mana ada pohon lagi?”
“Sudah tidak ada pohon lagi. Semuanya sudah kamu tebang.”
“Maka kamu tidak akan mencatatku sesuai dengan keinginanmu.”
“Kamu bisa saja menjatuhkan diri dari gedung yang sepi. Dunia menawarkan banyak alternatif. Akan kucarikan kamu gedung.”
“Itu membutuhkan waktu yang lama. Waktu akan mengubah pikiranku. Kamu punya usul?”
“Sementara ini tidak.”

XI
“Apa dia sudah dekat?”
“Menurutmu apa dia sudah dekat?”
“Tetap sama.”
“Dia masih di titik paling jauh.”
“Sampai berapa hari lagi kita di sini?”
“Aku lapar.”
“Sebaiknya salah satu di antara kita harus mati.”
“Sebaiknya salah satu di antara kita memangsa yang lain?”
“Dalam hal ini pembunuhan dibenarkan.”
“Seandainya saja kita tidak pernah bertemu.”
“Boleh saja kita tidak pernah bertemu. Dan kita tidak akan pernah berpikir tentang mati. Tapi hari ini kita bertemu meski pura-pura sebagai orang yang tidak saling kenal.”
“Lalu kita berkenalan?”
“Maka kita berkenalan.”
“Tidak. Kita diam saja.”
“Baiklah, kita diam.”

XII
“Pohon”
“Maksudmu?”
“Ya. Itu ide bagus.”
“Maksudmu?”
“Kenapa kamu tidak bertanya mengapa aku selalu mendapat ide bagus?”
“Maksudmu?”
“Mengapa ide-ide bagus selalu lahir dari kepalaku?”
“Sejak kapan?”
“Jauh sebelum kita pura-pura tidak saling kenal.”
“Ide bagus selalu mengalir dari kepalaku dan kau mencurinya.”
“Pohon. Kamu tidak pernah berpikir tentang pohon.”
“Apa yang kamu pikirkan tentang itu?”
“Kita akan bunuh diri.”
“Bukan kita. Kamu saja.”
“Mengapa?”
“Kalau kita mati bersama sementara tidak ada orang lain yang melihat, siapa yang akan berdoa?”

XIII
“Aku punya usul.”
“Jangan lagi kamu mengacaukan hidupku.”
“Maka aku pergi.”
“Aku akan merindukanmu.”
“Dia sudah datang!”
“Oh. Benarkah? Apakah dia memakai sepatu?”

2014-2015-2016



Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.