Kuda Goyang Kursi Goyang

Kuda Goyang Kursi Goyang

oleh Shohifur Ridho Ilahi



Panggung adalah sebuah beranda rumah, hanya ada kursi goyang dan kuda (kudaan) goyang yang tampak seperti bercakap. Tidak ada siapa-siapa di atas kedua benda itu. Baik Kuda Goyang atau Kursi Goyang tampak sedang berharap: si kursi goyang yang lelah dan ingin sekali mengakhiri hidupnya. Si kuda goyang yang girang ingin sekali segera meringkik dan berlari untuk mengukur luasnya dunia. Kedua benda itu terus bergoyang seperti ada seseorang yang duduk dan menunggang di atasnya. Jarak mereka sekitar dua meter. Kursi Goyang maupun Kuda Goyang itu menghadap ke arah depan, mata batin dua benda itu seolah menatap sesuatu yang tidak jelas, seperti suasana langit ketika itu yang masih gelap. Saat itu subuh baru turun dari langit, dari corong TOA masjid suara adzan terdengar sayup. Lampu di beranda redup. Suara angin pagi perlahan bertiup, batuk orang tua, ringkik kuda, dan ketukan tongkat pada lantai datang bergantian. Kemudian sepi berkuasa di beranda.

Black Out

Fade In

Pagi hari (ketika matahari sudah benar-benar bersinar terang). Seseorang sedang duduk di Kursi Goyang dan seseorang lagi sedang menunggangi Kuda Goyang. Mereka menghadap ke depan. Seseorang di Kursi Goyang menatap kosong, seolah mencari sesuatu yang telah pergi dan mati, tetapi dalam keadaan begitu ia selalu berusaha agar kursinya tetap bergoyang. Sementara seseorang lainnya semangat menggoyangkan kuda goyangnya sambil tertawa bangga, seperti seorang prajurit Romawi.

Kuda Goyang: Aku menang! Aku menang! Aku menang! (tertawa)
Kursi Goyang: Apa yang sedang kamu lakukan? (tanpa melihat ke arah si Kuda Goyang)
Kuda Goyang: Perang!
Kursi Goyang: Perang?
Kuda Goyang: Apa kamu tidak melihatku? 
Kursi Goyang: Aku melihatmu.
Kuda Goyang: Memang selalu begitu.
Kursi Goyang: Apa maksudmu? 
Kuda Goyang: Tidak apa-apa.
Kursi Goyang: Kamu menyindirku?
Kuda Goyang: Kecuali kalau kamu merasa disindir.
Kursi Goyang: (diam. Tetap tidak melihat ke arah si Kuda Goyang)
Kuda Goyang: Sangat tidak menarik sekali.
Kursi Goyang: Apa kamu bilang?
Kuda Goyang: Ya. Sangat tidak menarik sekali bicara dengan orang yang….
Kursi Goyang: …bodoh dan tolol.
Kuda Goyang: Aku kira.
Kursi Goyang: Kamu selalu mengucapkan kata-kata itu berkali-kali. 
Kuda Goyang: Oh ya?
Kursi Goyang: Sudah ribuan kali sejak kita senang duduk bersama di beranda ini. 
Kuda Goyang: Betulkah?
Kursi Goyang: Aku sudah bosan mendengar kata bodoh dan tolol dari mulutmu. 
Kuda Goyang: Hem?
Kursi Goyang: Itu anggapan yang tidak berdasar sama sekali. 
Kuda Goyang: Benarkah?
Kursi Goyang: Aku sudah mati rasa dengan kata-kata itu. 
Kuda Goyang: Tidak percaya.
Kursi Goyang: Jadi tidak ada gunanya kamu mengucapkan kata-kata kotor itu lagi.
Kuda Goyang: Tapi itu kenyataan?
Kursi Goyang: Kenyataan apa?
Kuda Goyang: Kau memang bodoh dan tolol.
Kursi Goyang: Buktinya?
Kuda Goyang: Baru saja aku berperang dan kamu tanya kenapa. 
Kursi Goyang: Apa kamu benar-benar menyimak setiap kata-kataku, berikut dengan esensinya?
Kuda Goyang: Semua orang pasti tahu aku sedang ngapain kalau mereka melihatku. Tapi ternyata kamu tidak.
Kursi Goyang: Sinting. Menurutku itu adegan perang. Bukan perang. 
Kuda Goyang: Termakasih. Pendapat yang tidak terlalu buruk.
Kursi Goyang: Pendapat itu sangat bagus.
Kuda Goyang: Tidak terlalu buruk.
Kursi Goyang: Kenapa?
Kuda Goyang: Baiklah. Jadi kamu tidak pernah menganggap kalau dalam setiap waktumu adalah perang? 
Kursi Goyang: Oh. 
Kuda Goyang: Apa yang sedang kamu lakukan selama ini? 
Kursi Goyang: Aku? 
Kuda Goyang: Hanya duduk menunggu mati? Astaga!
Kursi Goyang: Kamu selalu bicara berapi-api dan tidak pernah hati-hati. 
Kuda Goyang: Kamu merasa terganggu?
Kursi Goyang: Apa kamu tidak tahu kalau sewaktu-waktu api itu akan membakarmu dan menjadikanmu abu?
Kuda Goyang: Apa jadinya kalau seandainya dunia hanya diisi oleh orang bodoh dan tolol yang tidak pernah menghayati hidup sebagai suatu peperangan?
Kursi Goyang: Seribu sembilan ratus satu.
Kuda Goyang: Apa? 
Kursi Goyang: Ya?
Kuda Goyang: Kamu menghitungnya?
Kursi Goyang: Kamu kira aku tidak tahu?
Kuda Goyang: Apa pentingnya kamu menghitung kata-kata itu?
Kursi Goyang: Apa pentingnya kamu mengucapkan kata-kata itu?
Kuda Goyang: Tidak penting! (diam) Tidak! Itu Penting!
Kursi Goyang: Kamu bahkan tidak bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Makhluk labil.
Kuda Goyang: Proses pendewasaan aku kira. Dan itu sangat penting.
Kursi Goyang: (tertawa) Tidak berguna.
Kuda Goyang: Apa maksudmu? Kamu menyindirku?
Kursi Goyang: Kecuali kalau kamu merasa disindir. (tertawa)
Kuda Goyang: Aku tidak mengerti.
Kursi Goyang: Ya. Kamu tidak akan mengerti
Kuda Goyang: Aku meyakininya sebagai bagian dari proses pendewasaan.
Kursi Goyang: Sampai kapan kamu mengatakan semua ini adalah proses pendewasaan? (tertawa mengejek)
Kuda Goyang: Selamanya.
Kursi Goyang: Dan tidak pernah menjadi dewasa?
Kuda Goyang: Kamu tidak akan mengerti.
Kursi Goyang: Proses pendewasaan, tiga ribu empat puluh satu kali. 
Kuda Goyang: Aku tidak mengira akan sebanyak itu.
Kursi Goyang: Kamu tidak akan mengerti, lima ribu tujuh ratus sepuluh. 
Kuda Goyang: Aku tidak bisa membayangkan itu.
Kursi Goyang: Lihat, aku mengingatnya dengan baik.
Kuda Goyang: Terimakasih.
Kursi Goyang: Kamu selalu mengatakan kata-kata itu. 
Kuda Goyang: Ya. Tentu saja begitu.
Kursi Goyang: Apanya yang proses kalau kata-kata saja tidak berkembang dan selalu diulang.
Kuda Goyang: Betapa hidup merupakan suatu pengulangan kalau kamu menyadarinya.
Kursi Goyang: Oh. Ya?
Kuda Goyang: Ya. Matahari selalu terbit dari timur dan terbenam di barat. 
Kursi Goyang: Tentu saja begitu.
Kuda Goyang: Malam selalu gelap dan siang selalu terang, mereka datang bergantian. Setiap hari. 
Kursi Goyang: Betul.
Kuda Goyang: Aku tidak yakin kamu bosan dengan mereka yang datang berulang-ulang.
Kursi Goyang: Aku rasa tidak
Kuda Goyang: Jadi kamu tidak punya alasan untuk bosan pada kata-kataku.
Kursi Goyang: Teoritis sekali.
Kuda Goyang: Seharusnya.
Kursi Goyang: Tetapi itu lain perkara.
Kuda Goyang: Kamu tidak akan mengerti mengapa matahari selalu terbit dari timur dan terbenam di barat.  
Kursi Goyang: Aku akan mempelajarinya.
Kuda Goyang: Dan mengapa malam selalu gelap dan siang selalu terang benderang. 
Kursi Goyang: Suatu hari nanti aku akan tahu.
Kuda Goyang: Mereka punya rahasia yang tidak kamu ketahui, dan itu tidak teraba oleh indra yang kamu miliki.
Kursi Goyang: Tetapi itu lain perkara kubilang.
Kuda Goyang: Jadi?
Kursi Goyang: Mereka memberi manfaat pada kita. Matahari memberi kita siang agar kita memeras tubuh untuk menyambung hidup. 
Kuda Goyang: Manusia yang baik.
Kursi Goyang: Malam memberi kita gelap untuk kita lelap. 
Kuda Goyang: Konvensional. Terlalu umum.
Kursi Goyang: Kamu tahu, kata-kata yang selalu kamu ulang memberi apa kepadaku? 
Kuda Goyang: Menurutmu?
Kursi Goyang: Tidak ada! 
Kuda Goyang: Aku tidak percaya.
Kursi Goyang: Setiap hari kamu menumpahkan kata-kata tidak berguna itu ke wajahku tetapi tidak membuat wajahku lebih cerah dan tampan.
Kuda Goyang: Sekali waktu aku akan membawamu ke salon.
Kursi Goyang: Kata-katamu tidak pernah membuatku keluar dari beranda ini.
Kuda Goyang: Musuh hidup yang mesti kamu bunuh adalah keras kepala. 
Kursi Goyang: Apa maksudmu?
Kuda Goyang: Kepalamu lebih keras dari batu granit. 
Kuda Goyang: Kepalaku ringan seperti batu apung.
Kuda Goyang: Kamu tahu batu granit itu adalah merasa bosan kepada sesuatu yang terus berulang. Maaf bukan maksud untuk menggurui.
Kursi Goyang: Bahkan sejak pertama kamu bicara kamu seolah nabi yang datang membawa sekarung nasehat.
Kuda Goyang: Aku tidak percaya?
Kursi Goyang: Oh. Ya Tuhan, bahkan kamu tidak merasa kalau khotbahmu sangat memuakkan. Sinting.
Kuda Goyang: Sebenarnya aku tidak pantas bicara itu padamu.
Kursi Goyang: Sangat tidak pantas bahkan.
Kuda Goyang: Tetapi aku cuma ingin memecahkan keras kepalamu. Itu saja.
Kursi Goyang: Kengototanmu itu melebihi keras kepala, sinting.
Kuda Goyang: Seharusnya aku tidak menghabiskan waktuku pagi ini denganmu. 
Kursi Goyang: Seharusnya aku tidak mengenalmu.
Kuda Goyang: Kamu bukan apa-apa tanpa aku.
Kursi Goyang: Keberadaanmu sama sekali tidak berguna.
Kuda Goyang: Kamu tidak bisa hidup sendiri.
Kursi Goyang: Aku bisa hidup dengan terus menggoyangkan kursiku, dan aku tidak akan merasa kesepian.
Kuda Goyang: Kursimu akan memabukkanmu. 
Kursi Goyang: Aku bisa menjaga diriku.
Kuda Goyang: Dan kamu akan mati dalam sendiri yang sepi. 
Kursi Goyang: Aku tidak akan merasa kesepian.
Kuda Goyang: Jika kamu mati bagaimana kamu berkubur?
Kursi Goyang: Aku belum mau mati. Maka aku tidak akan mati. Jadi aku tidak perlu berkubur.
Kuda Goyang: Bagaimana itu bisa terjadi?
Kursi Goyang: Kamu kira mati hanya perkara tercabutnya nyawa dari tubuh?
Kuda Goyang: Kurasa begitu.
Kursi Goyang: Kurasa sekarang aku tahu siapa yang sebenarnya bodoh dan tolol.
Kuda Goyang: Baiklah. Suatu waktu aku akan pergi meninggalkanmu sendirian. 
Kursi Goyang: Kapan hari bahagia itu tiba?
Kuda Goyang: Dan suatu waktu yang lain aku akan kembali ke sini untuk melihat mayatmu yang telah membusuk.
Kursi Goyang: Pergilah! 
Kuda Goyang: Duduk berlama-lama tanpa melakukan apa-apa lebih baik mati saja.
Kursi Goyang: Aku bisa melakukan apa-apa, melukis misalnya.
Kuda Goyang: Sebaiknya kamu pikirkan semua itu.
Kursi Goyang: Atau menulis puisi. Ya. Sepertinya menulis puisi lebih baik. Aku ingin sekali menjadi penyair.
Kuda Goyang: Dan puisi-puisimu akan mengilhamiku untuk membunuhmu.
Kursi Goyang: Puisi-puisiku tidak akan berbicara tentang kematian, kau tahu.
Kuda Goyang: Kita lihat saja nanti.
Kursi Goyang: Aku bukan Edgar Allan Poe.
Kuda Goyang: Sebelum hari itu tiba, bagaimana kalau aku siapkan gantungan tali di pohon jauh-jauh hari, dan kamu tinggal memasukkan kepalamu. 
Kursi Goyang: Kamu baik sekali.
Kuda Goyang: Atau kalau kamu terbiasa dengan darah, maka aku siapkan belati paling tajam, kamu bisa memutus urat nadimu.
Kursi Goyang: Aku tidak butuh pertolonganmu.
Kuda Goyang: Apa kamu tidak ingin meminta padaku supaya membunuhmu? 
Kursi Goyang: Tidak perlu repot-repot.
Kuda Goyang: Aku janji, aku akan kubur mayatmu dengan cara paling terhormat.
Kursi Goyang: Tidak perlu.
Kuda Goyang: Baiklah. Aku rasa Tuhan tidak akan tinggal diam terhadap orang sepertimu.
Kursi Goyang: Aku rasa Tuhan keliru menciptakan makhluk macam kamu.
Kuda Goyang: Dia akan segera mengambil nyawamu.
Kursi Goyang: Kamu tidak perlu menakut-nakutiku. 
Kuda Goyang: Aku tidak menakut-nakutimu.
Kursi Goyang: Jangankan mati. Hidup saja aku berani.
Kuda Goyang: Apa yang telah kamu lakukan pada hidup?
Kursi Goyang: Apa yang telah hidup lakukan pada diriku?
Kuda Goyang: Terserah padamu.
Kursi Goyang: Ya. Tentu saja terserah padaku.
Kuda Goyang: Menurutmu apa yang sedang kita lakukan di sini? 
Kursi Goyang: Duduk.
Kuda Goyang: Sesederhana itukah?
Kursi Goyang: Memang harus sederhana.
Kuda Goyang: Menurutmu kita duduk di sini untuk menunggu siapa?
Kursi Goyang: Tidak menunggu siapa-siapa.
Kuda Goyang: Lalu?
Kursi Goyang: Lalu apa yang kamu lakukan di sini?
Kuda Goyang: Bicara denganmu.
Kursi Goyang: Meski sebenarnya aku tidak mau bicara denganmu.
Kuda Goyang: Meski sebenarnya aku malas bicara denganmu.
Kursi Goyang: Maka pergilah.
Kuda Goyang: Aku akan pergi. Suatu waktu aku akan pergi.
Kursi Goyang: Tidak bisakah itu dipercepat?
Kuda Goyang: Tergantung.
Kursi Goyang: Tidak bisakah kamu diam meski beberapa saat?
Kuda Goyang: Aku bisa. Tetapi aku pikir itu akan membuang waktu yang mahal ini.
Kursi Goyang: Aku bisa membayar waktumu kalau kamu bisa diam.
Kuda Goyang: Kebetulan aku tidak butuh uang. Jadi aku tidak perlu diam dan kamu tidak perlu membayarku.
Kursi Goyang: Aku akan membayarmu berapapun kamu mau.
Kuda Goyang: Sudah kubilang aku tidak butuh uangmu.
Kursi Goyang: Aku akan diam.
Kuda Goyang: Aku akan terus bicara.
Kursi Goyang: Aku muak dengan khotbahmu.
Kuda Goyang: Tidak apa-apa. Kebaikan memang sulit diterima. Dan pada saatnya nanti kamu akan lunak.
Kursi Goyang: Kamu kira kamu nabi?
Kuda Goyang: Tidak seekstrem itu mungkin.
Kursi Goyang: Aku akan diam.
Kuda Goyang: Maka diamlah. 
Kursi Goyang: (diam. Sedikit menoleh kepada Kuda Goyang. Kemudian menghadap ke depan lagi)
Kuda Goyang: Kamu suka cerita rakyat?
Kursi Goyang: (diam. Dengan tanpa suara ia menarik napas panjang, pada saat yang sama kedua tangannya merentang dan perlahan naik ke atas, kemudian telapak tangannya bertemu tepat di atas kepalanya, ia menghembuskan napasnya perlahan sambil menurunkan tangannya kembali)
Kuda Goyang: Kamu pernah mendengar cerita Malin Kundang?
Kursi Goyang: (diam. Kali ini dengan suara (napas) ia menarik napas panjang dengan gerakan tangan yang sama dan ketika menghembuskan bibir atas dan bibir bawah bertemu sehingga menimbulkan suara yang berpusat pada bibir)
Kuda Goyang: Aku punya versi yang lain cerita Malin Kundang. Versi yang tidak berakhir pada kutukan sang Ibu dan badai yang mengkaramkan kapalnya. Dapatkah kamu bayangkan itu, sebuah cerita yang melenceng jauh dari versi yang diyakini masyarakat selama ini?  
Kursi Goyang: (diam. Dengan mata terpejam ia menarik kakinya ke atas dan bersila di atas kursinya. Kemudian menarik napas panjang dengan gerakan tangan yang masih sama lalu menghembuskan napasnya dengan bunyi pada bibir seperti sebelumnya)
Kuda Goyang: Malin Kundang masih hidup. Kamu pasti sulit percaya. Tetapi aku bersedia mengantarmu jika kamu ingin bertemu dengannya.
Kursi Goyang: (diam. Dalam terpejam ia berkomat-kamit tanpa suara seperti orang merapalkan mantra. Lebih cepat. Lebih cepat. Dan cepat. Berhenti. Dan matanya terbuka kemnbali)
Kuda Goyang: Sekarang dia hidup di Jakarta dengan istri dan anak serta cucu-cucunya. Menurutmu apakah mereka keluarga yang bahagia?
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: Dengan kekayaannya yang berlimpah, dapat kamu bayangkan bagaimana sebuah keluarga hidup di belantara Jakarta. (tertawa) Kamu tahu, Malin Kundang berencana mendirikan sebuah universitas. Ia ingin menjadi bagian dalam mencerdaskan anak bangsa. Ia ingin berbakti pada negara sekaligus mematahkan cerita-cerita klasik yang selalu menyudutkan dirinya, begitu salah satu alasan pendirian universitas itu. Tetapi apakah kamu sepakat jika namanya Universitas Malin Kundang dan disingkat menjadi UMK?  
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: (tertawa) Sepakat atau tidak sepakatnya kita Malin Kundang tetap kaya raya. (tertawa) Kamu tahu di mana gedung universitas itu akan dibangun? 
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: Di kawasan Depok, kau tahu. Bersebelahan dengan Universitas Indonesia. (tertawa) Aku rasa di situ sudah sesak dan tidak ada lagi lahan bagi bangunan baru. (tertawa) Apa menurutmu penempatan itu adalah bagian dari strategi politik tata ruang?
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: Entahlah. Aku juga tidak tahu. Oh ya, kamu tahu, Sekali waktu Malin Kundang pernah menjadi anggota dewan, penghuni gedung pantat sungsang Senayan. (tertawa) Kamu boleh berprasangka kalau dana pendirian universitas itu sebagian besar didapat dari gaji selama ia menjadi dewan. Tetapi apakah kamu percaya dengan hanya gaji dewan seseorang bisa mendirikan universitas? 
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: (tertawa) Semua bisa terjadi, bukan? Sekali waktu Malin Kundang dikabarkan terlibat dalam kasus korupsi. Namanya menjadi topik besar di seluruh media massa besar Tanah Air. Tetapi kemudian tidak terbukti. (tertawa) Aku kira ada dan tidak adanya bukti belum menjamin kebersihan seseorang. Bukankah dengan sedikit menyedot tabungannya saja bisa membuat siapa saja bungkam? (tertawa)
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: (tertawa) Kok rasa-rasanya kita sedang di warung kopi ya. Aku tidak percaya kalau baru saja aku bicara politik (tertawa).
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: Atau Sangkuriang? (tertawa) kamu punya versi cerita sangkuriang yang tidak maenstrem?
Kursi Goyang: (diam. Mata terbuka lebar menatap tajam. Tidak bergerak sama sekali. Diam sediam-diamnya)
Kuda Goyang: Atau cerita nabi? Ya. Aku ingat kamu pernah bercerita padaku tentang kisah nabi-nabi dan rasul-rasul. (tertawa) Aku sangat yakin kamu masih ingat itu. (tertawa) Ceritakan bagaimana Nabi Musa membelah laut! Bagaimana perahu Nuh memuat segala macam hewan? Apakah sepasang tikus juga ikut serta dalam rombongan itu? Ceritakan padaku juga bagaimana Nabi Isa lahir! Atau berkisahlah tentang Nabi Muhammad ketika menerima wahyu pertama. Atau Ismail, Ibrahim, terserah padamu. Maukah kamu bercerita untukku?
Kursi Goyang: (menguap. kemudian melemaskan otot-otonya sebagaimana orang bangun tidur. menguap lagi) 
Kuda Goyang:  Apa yang kamu lakukan?
Kursi Goyang: Aku tidur.
Kuda Goyang: Bagaimana kamu bisa lakukan itu dengan mata terbuka? 
Kursi Goyang: Aku sering melakukannya.
Kuda Goyang:  Astaga. Jadi kamu tidak mendengar ceritaku tadi?
Kursi Goyang: Kecuali bagian awalnya saja.
Kuda Goyang menatap nanar Kursi Goyang. Matatanya berkaca-kaca. Lalu ia pun menangis meraung-raung. Menangis sejadi-jadinya. Tangisan mirip anak kecil yang sedang minta permen.
Kursi Goyang: Aku tadi bermimpi. (dengan suara yang agak keras)
Kuda Goyang: (tangisnya lebih keras)
Kursi Goyang: Aku tadi bermimpi. (dengan suara yang lebih keras)
Kuda Goyang: (ia masih menangis)
Kursi Goyang: Maukah aku bercerita untukkmu? (dengan suara yang lebih keras lagi)
Kuda Goyang: (secara tiba-tiba tangisnya berhenti. Susana mendadak sunyi. Kemudian melihat ke arah Kursi Goyang)
Kursi Goyang: Maukah Aku bercerita untukmu? (kali ini suaranya pelan sebagaimana biasanya)
Kuda Goyang: Ceritakan mimpi itu untukku!
Kursi Goyang: Kamu pasti tidak percaya.
Kuda Goyang: Aku percaya. Setiap kisahmu selalu bagus. Aku menyukai kisah-kisahmu.
Kursi Goyang: Kamu pasti tidak percaya kalau aku pernah tidur dengan Dayang Sumbi, Ibunda Sangkuriang.
Kuda Goyang: Sudah aku duga. Pembuka yang menawan. Kamu selalu berhasil dengan kalimat pembuka.
Kursi Goyang: Ya. Sebaiknya kamu berguru padaku.
Kuda Goyang: Tak adakah istilah yang lebih halus ketimbang kata ‘berguru’?
Kursi Goyang: Apa kamu tidak mau menjadi muridku?
Kuda Goyang: Kamu tidak pantas menjadi guruku.
Kursi Goyang: Sebaiknya aku lanjutkan ceritaku.
Kuda Goyang: Sebaiknya begitu.
Kursi Goyang:  Kamu pasti menduga aku adalah Si Tumang Anjing itu. (diam) Aku bukan bagian dari kisah yang hidup di pikiran Masyarakat. Namaku tidak pernah tercatat dalam hikayat itu. Aku tidak pernah diakui.
Kuda Goyang: Bukankah kisah itu kamu dapat saat tidur tadi?
Kursi Goyang: Benar.
Kuda Goyang: Kamu perlu bermimpi lagi dan kembali ke masa berabad lampau sebelum kisah itu diwartakan kepada masyarakat.
Kursi Goyang: Tetapi pada saat itu aku belum lahir.
Kuda Goyang: Kamu bisa melakukannya dalam mimpi. Merevisinya dengan mimpi yang baru.
Kursi Goyang: Aku akan melakukannya di lain waktu. 
Kuda Goyang: Lakukanlah.
Kursi Goyang: Kisah yang datang saat bermimpi memang lebih murni ketimbang kisah yang kamu dapatkan dari masyarakat. Karena ia datang seperti wahyu dan belum terkotori oleh bau mulut masyarakat yang gemar menambal sulam kisah agar terdengar lebih menarik. Jadi kamu tidak perlu risau soal apakah kisah ini benar-benar sahih atau palsu. 
Kuda Goyang: Aku bisa menebaknya.
Kursi Goyang: Kamu juga tidak bisa menuduhku sebagai sangkuriang. Aku tidak pernah jatuh cinta kepada Ibuku.
Kuda Goyang: Sejak mula itu bisa dipastikan. Sangkuriang lebih tanpan dari kamu.
Kursi Goyang: Akan aku ceritakan bagimana aku mengelabui Si Tumang anjing jelek itu.
Kuda Goyang: Ceritakanlah.
Kursi Goyang: Saat itu, aku melihat Sumbi di Mall. Tentu saja ia bersama anjing itu. Aku tidak tahu bagimana anjing bisa masuk mall. Kamu tahu kenapa anjing bisa masuk mall?
Kuda Goyang: Tidak tahu.
Kursi Goyang: Aku juga tidak tahu. Aku membawa buntalan kain yang berisi tulang yang masih segar. Tentu saja buntalan kain itu aku masukkan dalam ransel. Aku tidak mau diusir oleh satpam karena dikira Wiro Sableng yang baru turun gunung untuk membasmi praktik kapitalisme di mall. Aku sapa dia, aku jabat tanganya. Apa menurutmu anjing itu curiga padaku?
Kuda Goyang: Tidak tahu.
Kursi Goyang: Goblok. Ternyata anjing itu terlalu bodoh untuk berprasangka buruk padaku. Kamu tahu, betapa lembut tangan itu, tidak berlebihan bila aku kiaskan kelembutan tangannya dengan sutra nomor wahid. 
Kuda Goyang:  Itu analogi yang terlalu maenstrem.
Kursi Goyang: Tidak apa-apa. Aku tidak punya banyak simpanan kata-kata. Oh… Sumbi. Darahku mendidih, otot-ototku menegang. Kamu tahu apa yang kemudian aku lakukan?
Kuda Goyang: Meminta nomornya.
Kursi Goyang: Itu bagian nanti. Aku buka ranselku dan mengambil buntalan itu dan mempersilahkan anjing itu menikmati tulang yang aku berikan. Sementara aku dan Sumbi pergi. Kamu tahu kami pergi kemana?
Kuda Goyang: Bioskop.
Kursi Goyang: Bodoh sekali kamu. Tentu saja aku tidak mau buang-buang waktu untuk menonton film. Kami pergi ke hotel terdekat, dan kamu tahu apa yang kami lakukan di hotel?
Kuda Goyang: Bercinta.
Kursi Goyang: (tertawa) Betul sekali. Oh… Sumbi. Aku mambuk kepayang. Setelah bercinta aku minta nomornya. Itu hari paling indah dalam hidupku. Bercinta dengan tokoh yang bertahun-tahun kecantikannya bergentayangan di kepalaku.
Kuda Goyang: Kamu tidak menceritakan detailnya saat bercinta.
Kursi Goyang: Bagaimana itu bisa aku lakukan. Negara kita sangat ketat sekali dalam urusan sensor. Jadi tak ada gunanya aku menggambarkan detailnya.
Kuda Goyang: Baiklah. Aku bisa membayangkan itu.
Kursi Goyang: Darahmu merasa mendidih dan otot-ototmu menegang saat aku bercerita tadi?
Kuda Goyang: Darahku mendidih dan otot-ototku menegang.
Kursi Goyang: Itu ceritaku. (tertawa) 
Kuda Goyang: Sampai di mana kita?
Kursi Goyang: Masih di sini. Aku di atas kursiku.
Kuda Goyang: Dan aku di atas kudaku. (tertawa) Kita akan bicara tentang apa?
Kursi Goyang: Tentang otakmu yang sinting itu.
Kuda Goyang: Otakku baik-baik saja. Bagaimana kalau tentang Cinta. Sepakat?
Kursi Goyang: Seberapa panjang pengetahuanmu tentang Cinta?
Kuda Goyang: Sangat panjang sekali. Boleh kamu mengukurnya kalau kamu mampu. Kamu tidak perlu khawatir dengan itu.
Kursi Goyang: Heh. Aku tidak punya alasan untuk tidak khawatir.
Kuda Goyang: Aku sudah banyak menulis surat Cinta kepada orang yang aku cintai.
Kursi Goyang: Meski akhirnya kamu tidak mendapat apa-apa kecuali penolakan demi penolakan?
Kuda Goyang: Itu bukan sesuatu yang buruk.
Kursi Goyang: Tentu saja itu buruk.
Kuda Goyang: Proses pendewasaan aku kira.
Kursi Goyang: Tiga ribu empat puluh dua.
Kuda Goyang: Terimakasih. Aku sangat terharu sekali. Kamu bekerja dengan baik. Aku berjanji akan menghadiahkanmu.
Kursi Goyang: Terimakasih. Aku tidak membutuhkannya. Hadiahmu tidak cukup membuatku bahagia.
Kuda Goyang: Maka aku tidak akan memberikanmu hadiah.
Kursi Goyang: Simpanlah.
Kuda Goyang: Kita sudah sampai dimana?
Kursi Goyang: Masih di sini. Di tempat ini. Aku di atas kursi goyangku.
Kuda Goyang: Dan aku di atas kudaku. Hehe….
Kursi Goyang: Kita seperti anak kecil, kau tahu.
Kuda Goyang: Memang adakalanya kita harus jujur pada diri sendiri dan orang lain.
Kursi Goyang: Bukan itu maksudku. Aku selalu muak dengan pelajaran moral, kau tahu. Khotbah-khotbah tentang bagaimana berbicara, bersikap dan bertindak yang baik dan benar. Khotbah-khotbah tentang indah surga dan kejam neraka misalnya, tak lebih dari rayuan gombal remaja yang baru mengalami masa pubertas. 
Kuda Goyang: Lalu?
Kursi Goyang: Kenapa kita selalu bicara hal remeh temeh yang tidak berdampak apa-apa pada kehidupan yang lebih besar?
Kuda Goyang: Kau ingin bicara tentang bangsa, idiologi, perang, politik, filsafat dan seni? Sesuatu yang membuat kita akan nampak selalu tua kerena kening selalu berkerut karena tak sudah-sudah memikiran konsepsi besar dalam hidup yang sebenarnya direkayasa oleh manusia agar seolah-olah hidupnya tidak selalu melankolik? Begitu maksudmu?
Kursi Goyang: Aku kira.
Kuda Goyang: Baiklah. Tetapi perlu kamu ketahui, kamu tidak akan dapat berlari sebelum kamu mengetahui bagaimana caranya berguling, merangkak dan berjalan.
Kursi Goyang: Tetapi kamu tidak perlu belajar memegang belati untuk tahu bagaimana membunuh orang yang benar, bukan?
Kuda Goyang: Ya. Tentu saja dirimu sendiri yang terbunuh lebih dahulu. Konyol sekali pikiranmu. Kita tidak akan bicara hal-hal besar tentang bangsa, idiologi, perang, politik, filsafat dan seni kalau kita belum selesai dengan perkara apakah kamu sudah sarapan, bagaimana hubunganmu dengan pacarmu, kamu  tidak bekerja hari ini, bagaimana liburanmu, kapan kamu akan melamar gadismu, dan seterusnya.
Kursi Goyang: Bukankah kita selalu bicara tentang itu?
Kuda Goyang: Ya. Tentu saja. Dan selalu bicara tentang itu
Kursi Goyang: Sampai kapan?
Kuda Goyang: Selamanya.
Kursi Goyang: Maka kita tidak akan pernah berbuat apa-apa.
Kuda Goyang: Tentu saja berbuat apa-apa. Kamu kira dengan tidak membicarakan hal-hal besar itu kita adalah kambing betina yang dungu? Jangan tiru prilaku kaum narsis yang bergenit ria dengan intelektualitas yang tinggi, seolah-olah dunia hanya setitik telunjuk jemarinya. Dan apa yang terjadi, ternyata manusia tidak perlu menjelma Hitler untuk membunuh banyak manusia. Tanpa pedang dan perisai, tanpa pistol dan mesiu pembunuhan bisa dilakukan dengan cara yang paling halus, seperti angin pagi. Menurutku, karena mereka tidak pernah bicara seperti apa yang selama ini kita bicarakan.
Kursi Goyang: Menurutmu apa yang telah kita bicarakan? Bahkan aku tidak tahu apa yang telah kita bicarakan. Bukankah pembicaraan kita tidak pernah jelas alias asal keluar dari mulut?
Kuda Goyang: Kata siapa, goblok. Kita berbicara tentang hal-hal yang paling mendasar, yang lebih substantif, yang esensial. Dan itu sangat berarti.
Kursi Goyang: Rupanya kamu terpancing.
Kuda Goyang: Makanya jangan memancingku. Kamu tidak akan mendapatkan ikan.
Kursi Goyang: Aku senang kamu terpancing.
Kuda Goyang: Jangan sekali-kali memancingku lagi.
Kursi Goyang: Baiklah. Kamu tidak pantas disebut ikan.
Kuda Goyang: Pemancing yang baik selalu menyiapkan kail yang banyak. Tidak sepertimu yang bahkan menyiapkan dirimu untuk kematian pun tak pernah.
Kusi Goyang: Aku memang bukan pemancing yang baik. Tetapi aku bisa mendapatkan banyak ikan dengan cara yang lain.
Kuda Goyang: Sampai di mana kita?
Kursi Goyang: Masih di sini. Aku di kursi goyangku.
Kuda Goyang: Dan aku di kudaku.
Kursi Goyang: Kita belum sampai kemana-mana.
Kuda Goyang: Kita lanjutkan pembicaraan.
Kursi Goyang: Aku ingin diam.
Kuda Goyang: Maka diamlah.
Kursi Goyang: Tapi aku takut kamu akan merasa kesepian.
Kuda Goyang: Itu bukan perkara yang perlu kamu takutkan.

Kuda Goyang menggoyangkan kudanya. Kemudian semakin cepat. Cepat. Cepat. Tangannya memukul salah satu tubuh kudanya. Seperti prajurit sedang menyerang atau berlari dan menghindar dari kejaran musuh. Lalu kepalanya ia jatuhkan pada kepala si kuda. Tubuhnya lunglai seketika. Ia merasa lelah. Sementara Kursi Goyang tidak melihat ke arah si Kuda Goyang ketika si Kuda Goyang menggoyangkan kudanya dengan penuh semangat. 

selesai

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.