Alam Takambang Jadi Guru

Oleh Shohifur Ridho'i

Phase karya Jefriandi Usman

Sebermula adalah alam dan kita akan kembali pada alam. Renungan semacam inilah yang aku rasakan pada satu sore 30 Oktober 2016, ketika bus yang kami tumpangi bergerak meninggalkan halaman TIM menuju kawasan Hutan Kota, Pesanggrahan Kali, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ada tiga bus yang berangkat dan masing-masing bus berisi sekitar dua puluh orang.

Tanah di kawasan Lebak Bulus telah basah sejak sore. Jalanan Jakarta cukup lancar meski tidak lengang. Kami tidak terjebak kemacetan namun sesekali juga tersendat akibat antrian panjang di lampu merah. Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke tempat digelarnya acara pra pembukaan Indonesian Dramatic Festival (IDF) 2016. Ketika turun dari bus, panitia membagikan mantel plastik untuk rombongan, sebagian besar adalah seniman pertunjukan, pengkhusyuk budaya, dan sebagian wartawan dan akademisi.

Begitu kami mengenakan mantel, aku merasa pertunjukan telah dimulai. Kami bergerak ke hutan dengan seragam plastik warna-warni. Gerimis mempercepat kelam ketika kami mulai masuk kawasan hutan seluas kurang-lebih 120 hektar, merentang sepanjang 38 kilo meter mengikuti tubuh sungai Pesanggrahan. Informasi ini aku peroleh dari Babeh Idin (H. Choirudin), sang tetua kampung sekaligus juru kunci Hutan Kota. Aku cukup kaget sebab ternyata Jakarta juga memiliki hutan.

Aku seperti menuju lorong gelap penuh rimbun daun-daun ketika memasuki hutan. Pohon-pohon seperti pemuda tangguh yang ikhlas menerima dingin. Tiup angin membikin bunyi derak pada pokok bambu yang bergesekan. Bau tanah memberi jeda pada hidung untuk istirahat sejenak dari aktivitas mencium polusi asap knalpot. Sepanjang jalan tentulah licin dan becek. Sesekali salah satu di antara kami terpeleset. Yang lain merespon untuk membantu. Sebelumnya, kami tidak saling mengenal. Namun situasi hutan membuat kami terasa dekat: perasaan komunal tumbuh dalam diri kami.

Di beberapa titik di dalam hutan, beberapa penari ambil bagian. Bergerak pelan, berputar lembut seolah menyambut kami para tamu. Pengalaman itu menarik sebab selain musik yang dibunyikan alam, kami bisa menikmati tarian-tarian, atau teater tubuh dari dunia di luar hutan. Sebuah kombinasi yang ganjil namun menarik. Lagi-lagi aku merasa para rombongan adalah bagian dari pertunjukan sebab bukan saja kostum mantel di tubuh kami cukup mengubah hutan menjadi panggung terbuka, namun juga peristiwa berjalan di dalam hutan adalah dramaturgi yang strukturnya dibentuk oleh alur jalan tikus yang becek dan berkelok-kelok. Sementara kecamuk perasaan tiap-tiap orang, kehati-hatian melangkah, mengatur keseimbangan, pandangan menyapu sekitar hutan, juga dialog yang terjadi adalah sejumlah adegan yang muncul akibat interaksi dengan ruang.

Lalu, langit sepenuhnya gelap. Hujan masih mengirim dingin. Kami menikmati kopi dan teh hangat untuk mengusir dingin. Kemudian, selamatan untuk gelaran IDF 2016  dimulai: sambutan dari tuan rumah dan perwakilan IDF, dua potong tumpeng, sejumlah fatihah untuk para leluhur, sejumlah harapan-harapan untuk Jakarta ke depan, dan doa-doa kepada Sang Pemilik Alam. Beberapa saat kemudian, kami menikmati makan malam ketika suara azan isya’ mengalun sayup dari kampung sebelah. Dua pertunjukan berjudul Phase karya Jefriandi Usman dan Suluk Sungai gubahan Abdullah Wong akan dimulai.

Dua pertunjukan itu seperti refleksi atas harapan-harapan yang tergelar dalam doa tadi. Pertunjukan itu membawa wacana ekologis, dan wacana ini tampaknya respon terhadap perkara lingkungan di Jakarta, tempat digelarnya festival dua tahunan ini. Barangkali tidak hanya di Jakarta, persoalan yang sama bisa terjadi di mana saja. Pembakaran hutan, penebangan pohon dan kemudian berdampak pada banjir kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tetapi, demi menyadari bahwa pertunjukan ini digelar di Ibu Kota, tetap saja ‘Jakarta’ memberi konteks. Selanjutnya, dua pertunjukan ini hadir seperti esai tentang persoalan lingkungan di Jakarta.

Phase dan Suluk Sungai membuat aku mengingat-ingat lagi jejak arsip seni pertunjukan Indonesia yang mengambil tema ekologi. Jejak itu terantuk pada almanak 1979 di mana Sardono W. Kusumo membuat karya berjudul Meta Ekologi. Tampaknya hanya Sardono yang paling khusyuk menggali dan terus mengeksplorasi kemungkinan artistik dari tema-tema ekologi waktu itu. Nomor-nomor seperti Hutan Plastik (1983) dan Hutan yang Merintih (1983) semakin menegaskan kekhusyukannya.

Dua pertunjukan site-specific ini juga membuat pantulan dengan pengalamanku sebagai pegiat seni pertunjukan yang berdekatan dengan alam. Itu membuat aku tergoda mengingat lagi masa-masa ketika aku mulai masuk ke dunia teater pada tahun 2007 di sebuah pesantren di Pamekasan, Madura. Setiap kali pentas, lumpur, sungai, daun-daun selalu menjadi bagian dari pertunjukan kami. Namun tentu saja apa yang dilakukan Sardono 37 tahun lalu, pengalaman berteaterku beberapa tahun lalu, dan karya Jefriandi Usman dan Abdullah Wong pada IDF 2016 ini punya konteks isu yang berbeda.

Isu lingkungan dan konservasi hutan tidak saja menyembul dari “tempat” digelarnya acara pra-pembukaan ini, melainkan juga Phase dan Suluk Sungai adalah interfensi atas relasi manusia dan alam dalam kehidupan kita sehari-hari. IDF 2016 hendak mengajak kita untuk kembali merawat alam ketika eksploitasi terhadap tanah, hutan, dan semacamnya membuat kita berjarak dengan lingkungan muasal kita.

Namun, serupa jalanan yang licin ketika memasuki hutan, frasa “Tubuh Sonik” yang membingkai gelaran tari ini terasa remang-remang ketika aku menonton dua pertunjukan itu dan kemudian berusaha membacanya dengan kerangka kuratorial yang dibuat panitia. Atau dua pertunjukan ini sengaja dipisahkan dari barisan pertunjukan sebab lepas dari kerangka “Tubuh Sonik”? Entahlah. Aku belum bisa berkomentar soal ini sebab pertunjukan lainnya baru digelar pada tanggal 01-05 November 2016.

Dalam kerangka kuratorial IDF, “Tubuh Sonik” hendak membicarakan segala kemungkinan artistik yang merujuk pada tubuh manusia bersama gelombang suara di berbagai ruang dan dimensi-dimensinya yang saling berinterferensi satu sama lain. Baiklah, hal ini aku ambil sebagai pegangan untuk bekal menonton Tomorrow, as Purposed karya Melati Suryodarmo sebagai pertunjukan pembuka pada malam ini, dan dilanjutkan dengan pertunjukan selama lima hari berturut-turut dari sejumlah seniman Indonesia, Asia, dan Eropa yang kesemuanya tampil di dalam gedung. Mulai dari seniman Park Je Chun (Korea Selatan), Antony Hamilton (Australia), Aguibou Bougobali Sanou (Burkina Faso), Filastine (Spanyol-Indonesia), Punkasila & Fitri Setyaningsih  (Indonesia), Fitri Anggraini (Indonesia), Andara Firman Moeis (Indonesia), Ari Ersandi (Indonesia), Rianto (Indonesia), Nihayah (Indonesia), Darlene Litaay (Indonesia) & Tian Rotteveel (Belanda), sampai dan Jecko Siompo & Animal Pop Family (Indonesia).



Suluk Sungai karya Abdullah Wong

Namun, di luar itu, Phase dan Suluk Sungai tetap saja mengetuk-ngetuk perasaan untuk mengajak kita memperhatikan lingkungan agar alam kembali terkembang.

Sembari menonton pertunjukan IDF 2016 di malam hari, pada siang hari aku dibimbing oleh salah satu begawan kritik seni pertunjukan di Indonesia, Pak Sal Murgiyanto dalam kelas Kritik Seni Pertunjukan di ruang kelas pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Tentu aku bahagia memperoleh ilmu dari beliau, dan lebih bahagia lagi ketika aku boleh ‘mengganggu’ beliau untuk satu-dua konsultasi/bimbingan lewat telepon, email, dan bahkan berkunjung ke rumahnya.

Jakarta, 30 November 2016







Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.