Macbeth dan Nubuat Dari Panggung Melati

Oleh Shohifur Ridho Ilahi

Peristiwa dibuka ketika lampu kali pertama menyorot perempuan bergaun merah. Ia seperti baru datang dari tempat jagal, segumpal hati segar sebesar bantal dipegang dengan dua tangannya. Ia berdiri di tengah ruang, tatapan matanya seperti berusaha membikin ruang terasa penuh. Segumpal jeroan di tangannya mengirim kecamuk ke dalam pikiran penonton. Ia masih diam di bawah terang cahaya, seperti nabi yang hendak menerima wahyu. Musik perkusi berbunyi pelan ketika perempuan itu mundur sampai ke batas undakan paling atas. Di situ ia berdiri lagi ketika suara perkusi mulai menguasai panggung. Sekitar tiga menit pertama ia hadir seorang diri sebelum kemudian lima penari masuk dari arah kiri. 

Perempuan itu bernama Melati Suryodarmo, sang nabi dalam pertunjukan ini. Itulah visual adegan pembuka pada pertunjukan Tomorrow, as Purposed (TaP) buah karya Melati pada 01 November 2016 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pertunjukan yang juga menandai dibukanya gelaran Indonesian Dance Festival (IDF) 2016 ini menakik inspirasi dari sandiwara tragedi berjudul Macbeth karya William Shakespeare. Dari lakon klasik itu Melati hanya mengambil sejumput gagasan tentang ‘hasrat kuasa di bawah kekuatan supranatural’ yang ada pada diri Macbeth setelah menerima nubuat dari Tiga Nenek Penyihir.

Ramalan Tiga Nenek Penyihir itulah pangkal dari ambisi Macbeth untuk meraih kekuasaan dengan cara membunuh raja Duncan. Sang istri Lady Macbeth juga punya peranan penting dalam kisah dendam kesumat dan penghianatan itu. Dialah yang meyakinkan Macbeth untuk mengahabisi raja Skotlandia itu dan mengambil alih kekuasaannya. Demikianlah, sandiwara yang ditulis pada awal Abad 17 itu menegaskan bagaimana pedang dan kekuatan gaib menjadi cara paling ampuh untuk meraih tahta.  

Kisah yang datang dari akhir Abad Pertengahan ini menarik Melati untuk melakukan kerja tafsir dan merefleksikannya pada konteks sekarang. Ramalan Tiga Nenek Penyihir menjadi titik tolak Melati dalam mencari hubungan antara kekuasaan dan dunia supranatural. Bahkan, judul pertunjukan ini pun diambil dari salah satu dialog Tiga Nenek Penyihir. Bagi Melati, apa yang terjadi pada Macbeth masih relevan dengan perebutan kekuasaan di Indonesia yang selalu tidak lepas dari ramalan-ramalan gaib. Kita kerapkali melihat seorang calon pemimpin bukan dari program kerjanya, melainkan dari keterhubungan dirinya dengan legenda dan mitos masa lalu.

Apa yang dilakukan Melati menarik disimak karena bukan saja karena ia menggambarkan betapa terbelakangnya kita, betapa Indonesia hari ini nyaris menyerupai Abad Kegelapan di Eropa seperti dalam sandiwara tragedi itu. Melainkan juga bagaimana teks Macbeth diambil saripatinya untuk kemudian dikerjakan dengan strategi pemanggungan yang khas dirinya sebagai seniman performance art.

Melati menggabungkan seni tarik suara, tari, teater, musik, dan performance art menjadi satu jalinan pertunjukan yang utuh. Ia juga merajut pertunjukannya dari beberapa bagian teks Makbet hasil kerja terjemahan/tafsir WS. Rendra atas Macbeth, lirik lagu yang dibuatnya sendiri, dan dua potong quotes dari Soekarno dan Bung Hatta. Pertunjukan bergerak dari performance art ke teater, lalu ke tari, kemudian tarik suara, dan musik. Elemen-elemen itu terus berjejalin sepanjang pertunjukan.

Dalam sejumlah karyanya, Melati tidak jarang membuat pertunjukan yang membikin ngeri mata penonton. Dalam TaP ini, ketika lima penari sedang berdiri di sisi depan panggung, mereka membuka stocking yang membungkus kaki dan pahanya dengan gerakan pelan. Jika mata penonton tidak silap, ratusan paku keluar dari tubuh lima penari itu ketika stocking dibuka. Paku-paku itu rontok dan menimbulkan bunyi gemerincing di lantai.

Paku-paku itu tidak sekadar membangun narasi tentang rasa sakit, tetapi juga mengabarkan kekuasaan yang dijalankan dengan cara kekerasan. Praktik kekerasan kerap berseiring dengan tertutupnya partisipasi politik dari masyarakat. Di situlah kita bisa melihat secarik kain menutup kepala delapan belas orang pemeran. Dengan kondisi tertutup, tentu saja mereka tidak bisa mengontrol dan melakukan kritik terhadap kerja pemerintahan. Dan hal ini lumrah belaka apabila kita melihat satu periode dalam sejarah politik di Indonesia di mana Orde Baru sedang berkuasa.

Pertunjukan TaP tidak hanya mempresentasikan gagasan, kemahiran Melati menyusun komposisi gerak dan bunyi, mengatur ritme dan tempo permainan membuat pertunjukan ini menarik. Sekali waktu panggung yang luas itu dibiarkan lapang dengan lima penari dan sekali waktu dibikin penuh dengan dua puluh tiga pemeran. Melati juga berhasil membuat panggung demikian magis dengan nyanyian khas musik Gregorian Chant di Abad Pertengahan. Suara koor para pengabdi Macbeth yang diperankan oleh kelompok Paduan Suara Voca Erudita dari Surakarta itu membuat penonton seperti dibawa ke peristiwa Misa di sebuah gereja Katolik. Adapun tata suara yang dikerjakan Naoki Iwata, seorang komponis elektronik Jepang tak membuat bunyi mubazir belaka. Semuanya mengalir memenuhi gendang telinga penonton. Sesekali pula kami diberi waktu untuk tidak mendengar apa-apa kecuali dikuasai oleh kesunyian. 

Hingga akhirnya, ketika rakyat yang diperankan kelompok paduan suara itu terbelah menjadi dua antara yang setia dan mangkir pada Macbeth, kita pun mengerti, kekuasaan adalah fana, kelaliman penguasa harus segera diakhiri demi menyongsong perubahan yang lebih baik, dan mangkuk cokelat di tangan rakyat pengabdi Macbeth itu pun dipecahkan. 








Tulisan isi dimuat di Jawa Pos edisi Minggu, 06 November 2016

Arsip:




Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.