Lukisan karya Pablo Picasso, “Portrait of a Poet” (1902)
Penyair
ia bisa menyiapkan segalanya
pisau bagi luka dan puisi bagi yang terluka
pisau bagi luka dan puisi bagi yang terluka
ia yang sendiri dan ia yang diberkati
menulis puisi yang kelak disebut janji
menulis puisi yang kelak disebut janji
ia ingin menjadi lebih bijaksana
seperti semesta yang ditiupkan bahasa
seperti semesta yang ditiupkan bahasa
ia merenungi segala bentuk dan inti
segala kutuk dan remuk hati
segala kutuk dan remuk hati
kata-kata, demikianlah ia mungkin ada
demikianlah ia mungkin doa, mungkin dosa
maka puisi
sesungguhnya ia birahi
2014
Penyair
dan Restoran
seorang penyair di
restoran
melihat jam tangan,
selanjutnya cuma diam
di dinding cuma
sejenis lukisan mooi indie
yang sendirian
si penyair memesan
kursi kosong di hadapannya
tanpa anggur, tanpa
pelipur, tanpa teman tidur
meja cuma menyisakan
bunga plastik dan hijau
yang sakit
dari saku bajunya puisi-puisi
kumal berloncatan
pada kalimat ciptaannya
nasib bangsa dipertaruhkan
tetapi si penyair
sedang curiga pada yang silam dan
masa depan
dompetnya lengang dan
hidup tanpa rahasia
sejumlah foto seksi para
mantan berdesakan
dengan catatan
kesedihan dan kelaparan
yang mengerikan
semestinya meja tumbuh
jadi gelanggang pertempuran
tempat di mana roti, birahi,
puisi, rakyat yang dikhianati,
istri yang ditinggal
pergi, berubah
menjadi belati
si penyair tahu tuhan
pernah jadi kenangan
ia pun tahu restoran tak
memiliki daftar menu doa dan harapan
sementara kursi kosong
di hadapan bukan sekadar bayangan
bahwa dirinya adalah
sisa penghabisan dari bahasa
masa silam
2015