Serenade Sepasang Rel

Railway Train Tracks Street Art by Artur Bordalo

Serenade Sepasang Rel

di stasiun kekasihku, mungkin kereta hanya mengenal pergi—sementara keberangkatan dan kepulangan bukan milik kita, mungkin juga seorang masinis acuh dengan rindu yang memenuhi gerbong-gerbongnya: gelisah yang sewaktu-waktu berubah jadi ular dan anjing, tetapi semoga para penumpang berusaha belajar tahu bagaimana menangkap ingatan dari jendela saat kereta melesat pergi

pohon dan rumah-rumah yang seolah mundur bisa saja mencuri setitik demi setitik debu di tubuh penumpang yang sedikit menahan cemas pada stasiun-stasiun berikutnya

di stasiun kekasihku, mungkin ada ungkap yang tidak didengar oleh siapapun: “bila siang dan malam langit bisa kita padamkan tanpa matahari dan bulan,” mungkin itu katamu, mungkin juga kataku, tapi tentu bukan kata calon penumpang yang menghitung nasibnya sendiri di antrean panjang loket karcis

di stasiun, mungkin sebagian orang tidak mengenal kita, mungkin juga mereka pura-pura tidak melihat kita, atau mungkin hanya kursi panjang dan antrian panjang di loket karcis mereka perhatikan, mungkin mereka tidak tahu—setidaknya belum tahu—bahwa kita hanya sepasang rel yang terus memanjang

ke kota mereka masing-masing.

2012


Langit-Langit Sebuah Kamar
:120

dulu kita memang tidak sempat menggambar kota pada kanvas. tetapi kini, kota kita gagahi seperti perempuan dan pasar malam, merebut lenguh sampai subuh

kamu begitu lincah merapal warna apa yang cocok buat langit-langit kamar yang sedang mendung, pasti bukan cokelat, merah juga bukan, ataupun biru, apalagi hijau, dan ungu tidak mungkin

kamu juga pernah bertanya, apakah langit-langit kamar juga menyimpan hujan dan petirnya? kujawab punya, karena semua yang bernama langit pasti ada kitab dan malaikatnya

kemudian kamu memandang lekat langit-langit kamar, tak mau lelap, entah sampai kapan, mungkin sampai tahun depan. selanjutnya kamu termenung di balik gorden, kamu perlu telanjang untuk mengenal tuhan, tetapi kamu bilang tuhan tidak datang saat pagi menjelang siang, “biasanya tuhan mengintip di lipatan gorden atau di atas lemari yang berdebu saat kamu merayakan ulang tahun,”

entah mengapa, tiba-tiba kamu bahagia dengan apa saja, termasuk membaca musim di langit-langit kamar, apalagi menggambar kota lengkap dengan langit, hujan, dan petirnya, kamu selalu tersenyum

entah sampai kapan, mungkin sampai tahun depan.

2012-06-02


Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.