Membaca
Madura Melalui Masegit
Oleh: Mohammad Tohir
Adegan The
Last Supper atau Perjamuan Terakhir menjadi pembuka pertunjukan Masegit karya Shohifur Ridho Ilahi,
Minggu (28/08/2016) di Gedung Budaya Cak Durasim, Surabaya. Adegan ini juga
menjadi pertunjukan penuh simbol ini.
Dalam The
Last Supper kali ini, bukan Yesus yang tengah berdiri dikelilingi para
pengikutnya di sana, melainkan seorang kiai yang dikelilingi para santrinya. Dan
bukan makanan dan anggur yang tersaji di meja perjamuan, melainkan tulang
belulang dan tengkorak sapi, binatang yang begitu dekat dengan masyarakat
Madura.
Pertunjukan Masegit ini merupakan sajian penutup dari Parade Teater Jawa Timur
2016 yang digelar selama tiga hari. Parade tahun ini banyak diwarnai oleh
kelompok teater asal Madura. Sekalipun Shohifur Ridho Ilahi sedang mukim dan
bergiat di Yogyakarta, pertunjukan Masegit
diinisiasi oleh para seniman asal Madura.
Masegit
adalah
bahasa Madura yang berarti masjid. Shohifur Ridho Ilahi lewat pertunjukan ini
ingin menunjukkan bahwa begitu pentingnya masjid bagi masyarakat Madura. Di Indonesia,
Jawa khususnya, ada dua jenis masjid. Masjid besar yang biasa digunakan untuk
salat Jumat dan masjid kecil atau yang biasa disebut suarau atau langgar. Keduanya memiliki
fungsi yang sangat penting bagi masyarakat. Masjid atau masegit merupakan
keriuhan di mana segala aktivitas manusia Madura dilaksanakan. Hampir segala
persoalan selalu disandarkan pada masjid atau sesuatu yang dekat dengannya,
seperti kiai atau ulama. Sebelum dan sesudah laku kebudayaan orang Madura,
konsultasinya adalah kiai.
“Bukan bangunannya saja yang penting. Melainkan
juga segala aktivitas yang berhubungan dengan masegit,” kata Shohifur Ridho
Ilahi, sutradara Masegit.Menurutnya,
pertunjukan masegit merupakan sebuah usaha untuk melihat dan memapar kenyataan
atas isu-isu sosial dan kebudayaan yang pernah dan tengah berlangsung di
Madura.
Masegit
banyak
melibatkan banyak tokoh dan telah melalui proses yang cukup panjang dan serius.
Dimulai bulan April, proses Masegit menggelar
rangkaian diskusi untuk membahas isu-isu yang ditunjuk oleh sutradara. “Masegit ini melibatkan banyak pihak,
sejarawan, penyair, perupa, peneliti, dan buku-buku yang memapar Madura. Kami diskusi
tidak hanya sekali dua kali. Kami menampung segala masukan dari banyak orang,”
kata Ridho menerangkan.
Seniman yang terlibat antara lain Abdul
Ghofur, Efendy Mazila, Eka Wahyuni, Habiburrahman, Neneng Hanifah Maryam, Radha
Puri, Imam Syaifurrahman, Suvi Wahyudianto, Giarian Harik, Oong M. Pathor,
Rahmat Hidayat, Lubet Arga Tengah, Ridho Nugroho, Latifah Arifiyah, dan Rokhmat
Joko Pradopo. Mereka terlibat cukup aktif dan penting dalam lahirnya Masegit. Misalnya, adegan seperti The Last Supper seperti disebut di awal
tadi, merupakan ide seorang perupa asal Bangkalan Suvi Wahyudianto. Pada awal
tahun 2016, Suvi menggelar pameran tunggal pertamanya yang bertajuk Homo
Sapirin. Karya yang dipamerkan, salah satunya, adalah instalasi tulang sapi
berjudul ‘Setinggil’. “instalasi itu ingin menunjukkan bahwa sapi, pada
akhirnya akan berkubur di dalam tubuh manusia, menjadi hidangan kuliner di meja
makan,” kata Ridho mengulang paparan Suvi.
Itu adalah salah satu yang ingin
ditunjukkan oleh Masegit kepada
penonton. Dan yang lebih penting, kata Ridho, dia ingin pertunjukkannya tidak
berhenti sebagai sebuah pertunjukan di atas panggung, melainkan bisa menjadi
refleksi bersama. Penonton diharapkan dapat menangkap sesuatu dari wacana dan
isu-isu yang mereka temukan di masyarakat.
“Saya sepakat dengan pernyataan bahwa teater
juga berfungsi sebagai alat baca kenyataan,” ucap Ridho mempertegas. Sebagai sebuah
alat, ada hal yang tak selesai di dalamnya. Banyak adegan yang justru berupa
sebuah pertanyaan. Misalnya, adegan para aktor melambai-lambaikan gayung yang
menunjuk pada peristiwa orang-orang meminta amal di jalan raya untuk
pembangunan masjid.
Afrizal Malna, dari komite teater Dewan
Kesenian Jakarta, yang juga hadir saat pertunjukan di Cak Durasim, menulis di
Jawa Pos tentang teater Madura yang cukup mewarnai pentas teater nasional saat
ini. Menurut Afrizal, teater seperti yang dipertunjukkan di Parade Teater Jawa
Timur 2016, tengah membawa medan baru dalam teater. Yakni kecenderungannya
menggunakan tubuh lokal, bukannya tubuh urban atau budaya kota yang lebih
banyak mewarnai teater modern Indonesia saat ini. “Sebuah post-teater modern
Indonesia. Bahwa teater Indonesia tidak ada dalam arti platform yang harus
diikuti. Yang ada adalah berbagai kemungkinan teater yang digali dalam
lingkungan lokalitas dengan mata rantai budaya masing-masing sebagai
laboratorium utamanya,” demikian tulis penulis buku Sesuatu Indonesia itu. (*)
Sumber tulisan (versi lain) ini ada di: https://beritabojonegoro.com/read/6846-membaca-kehidupan-madura-melalui-pertunjukan-masegit.html