Masegit, Madura, dan Melumernya Identitas
Oleh: Abdul Malik
Ingatan
masa kanak-kanak tentang masjid di desanya menjadi inspirasi bagi
Shohifur Ridho Ilahi (26) untuk menulis puisi dan teks pertunjukan
teater. Ridho lahir dan besar di kampung Masegit Desa Pasongsongan
Sumenep Madura. Di kampung itu pertama kali masjid besar dibangun dan
orang-orang yang hidup disekitar masjid adalah alumni pesanren dan
mereka yang sangat agamis. “Pertama-tama saya terinspirasi dari masjid
tersebut,” kenang Ridho. “Juga
pohon kelapa di sekitarnya dan sungai yang mengalir tak jauh dari
masjid. Tempat saya sholat dan acapkali tidur”. Selepas Madrasah Aliyah
Negeri (MAN), Ridho melanjutkan kuliah di jurusan Teologi dan Filsafat
UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Setamat kuliah, Ridho balik ke desanya.
Dia mencatat adanya pergeseran nilai pada teman-temannya dan orang-orang
di desanya pada masjid di desanya. Teman-teman sepermainan di desanya
banyak yang kuliah dan bekerja.
Hanya orang-orang berusia senja yang aktif beribadah di masjid.
Regenerasi tak berjalan. “Ketika saya membayangkan Masegit, saya tak membayangkan Masegit yang indah”, ucap Ridho.
mungkin sewaktu-waktu pohon kelapa itu akan bertanya,
di manakah saya mesti bermalam, tuan?/ salah satu pelepahnya yang belum
lama kering/ dijatuhkannya juga. mungkin tanah menyambutnya/ dan
mempersilahkannya bermalam barang satu purnama./ mungkin suatu malam
bulan datang dengan sepatu ungu dan sapu tangan langit biru./(masegit)
Puisi
Masegit bersama 33 puisi lain diterbitkan dalam antologi Masegit
(penerbit Kendi Aksara, Yogyakarta) dan dilaunching di kampus STAIN
Pamekasan tahun 2013. Darisana muncul gagasan untuk mengembangkan
Masegit dalam pertunjukan teater.
Proses kreatif
April
2016 Ridho dan kawan-kawan Rokateater bekerjasama dengan Halaman
Indonesia Cultural Forum dan Teater Eska mengundang para peneliti
sebagai bagian dari riset untuk pentas teater masegit. Tema yang dibahas Dangdut,
Identitas, dan Kontestasi Politik di Madura (Irwan Krisdianto), Syiah
di Sampang: Dari Akidah Hingga Konflik Kepentingan (Aziz Faiz), Islam, Mitos, dan Keindahan Madura (Muhammad Ali Fakih), Kosmologi Upacara Laut Madura (Badrul Munir Chair).
Hasil
diskusi dicatat dalam bentuk pointer. Apa-apa yang relevan dimasukkan
dalam pertunjukan teater masegit. Merenungkan dan memikirkan ulang.
Proses selanjutnya adalah presentasi karya. Setiap aktor mengolah
bentuk, penata musik
mengeksplorasi bunyi. Ketika sudah bentuk gerak dan bunyi sudah
ditemukan, masuk ke proses artistik. “Pernah disaat latihan kami
deadlock, maka kami memperbarui informasi.” Setelah orientasi karya,
Ridho memilih bentuk.
“Teman-teman
membuat kata dan saya membuat kalimat.” Yang ditampikan dalam
pertunjukan hanya bagian kecil, hanya10 persen. Sementara yang 90 persen
adalah pondasi. “Kami sedang melakukan percobaan teater berbasis
arsip,” kata Ridho beberapa saat sebelum pementasan di Auditorium STAIN
Pamekasan Madura (Rabu, 31/8/2016). Menurutnya selama ini teater di
Indonesia berangkat dari naskah fiksi semisal cerpen yang dipanggungkan,
atau novel yang diadaptasi
keatas pentas. “Lalu saya berpikir bagaimana jika arsip sejarah menjadi
naskah teater? Pementasan masegit adalah upaya yang saya lakukan untuk
menjawab pertanyaan itu”.
Teater Arsip
Pertunjukan
dibuka dengan sorot lampu yang mengarah pada sebuah meja panjang. Meja
bertaplak putih terletak di tengah panggung. Pada beberapa adegan meja
panjang itu digeser dari panggung.Sepanjang enam puluh menit, penonton
disuguhi ‘arsip’ masyarakat Madura dan relasi kekuasaan. Perlawanan
terhadap kolonial Belanda, kehidupan di pesisir, kasus Syi’ah-Sunni di
Sampang, pembunuhan kiai oleh ninja, euforia sepakbola lewat klub Madura
United, jembatan Suramadu dan tumbuhnya pariwisata Madura, hingga
kegemaran ber-selfie. Sepanjang pertunjukkan dialog-dialog menggunakan
dubbing. Personifikasi orang Madura digambarkan lewat aktor laki-laki
bersarung, memakai kaos singlet dan baju koko putih dan mengenakan
kopiah hitam. Sementara pemain wanita memakai kebaya dan jarit.
Dramaturgi
pementasan Masegit dibentuk oleh “struktur”. Struktur dibuat
berdasarkan hasil penelusuran atas arsip-arsip yang diturunkan menjadi
poin-poin. Alur dan cerita dalam masegit bergantung pada struktur yang
dibuat. Struktur tersebut mewakili naskah (karena pertunjukan tersebut
tidak berbasis naskah drama) dan ia menjadi peta bagi Ridho dan
Rokateater dalam membuat pertunjukan.
Ada beberapa hal menarik
yang dapat saya catat bahwa tata lampu dan musik yang menarik. Adegan
kasus penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga Syi’ah yang terjadi
Sampang, Agustus 2012 digambarkan lewat sosok seorang ibu duduk di
tengah panggung, tangan kanannya memegang sebilah parang, di kanan dan
kiri nya didampingi sosok wanita muda. Dialog-dialog pleidoi-nya
terhadap ketidakadilan yang menimpanya sungguh menyentuh. Dibagian lain
sosok ibu tersebut memegang setangkai mawar merah dan disodorkan pada
lelaki yang sedang menyerangnya dengan clurit. Perdamaian dan cinta
kasih adalah solusi yang ditawarkan sosok ibu tersebut.
Adegan lain yang menarik adalah di bagian akhir pementasan. Meja
panjang dihadirkan lagi ke tengah panggung pementasan. Di atas meja
tersaji tulang sapi dan dari barisan penonton sosok kiai berbaju putih
dan bersurban memasuki panggung.
Sang kiai berbaur dengan 3 pemain laki-laki dan 3 pemain wanita. Sang
kiai tersenyum menatap penonton. Mengingatkan kita pada lukisan The Last
Supper-nya Leonardo da Vinci. Pentas pun ditutup dengan sorot lampu
yang makin meredup pada wajah sang kiai.
Shohifur
Ridho Ilahi, sutradara pementasan Masegit, menguraikan bahwa tulang
sapi berasal dari salah satu gagasan Suvi Wahyudianto, seniman terlibat
Masegit yang fokus pada penciptaan seni rupa. Suvi membawa karya rupanya
yang berjudul Setinggil untuk dimasukkan ke dalam Masegit. Menurut
Suvi, posisi sapi di dalam kehidupan masyarakat Madura sangat penting,
terutama bagaimana sapi menjadi simbol dari relasi kuasa di dalam
gelaran karapan sapi dan sapi sono’. Tulang sapi dihadirkan untuk
memberi sentuhan magis bahwa pada akhirnya (daging-daging) sapi berakhir
di dalam tubuh manusia (menjadi hidangan), atau dengan kata lain,
manusia adalah kuburan sapi-sapi.
Adegan The Last Supper dipinjam dari karya Leonardo da Vinci. The Last Supper juga dimunculkan Suvi Wahyudianto ketika mereka mendiskusikan kemungkinan adegan pada tulang sapi. “Bagi kami, The Last Supper yang dikonversi menjadi perjamuan kiai dan masyarakat menunjukkan hubungan emosional yang sangat intim, terutama ketika lampu menyorot tepat di tengah mereka. Di situ menjelaskan bahwa ada relasi kuasa antara rezim kiai dengan masyarakat.” Di Madura, kiai adalah sosok dimana segala perkara masyarakat ditumpahkan kepadanya, baik kebahagiaan maupun sebaliknya. Yang menarik dari kisah di balik pembuatan lukisan The Last Supper oleh Leonardo da Vinci adalah ketika da Vinci mencari sosok pemuda yang akan dilukisnya sebagai Kristus. Da Vinci menemukan pemuda yang dianggap mewakili sosok Kristus, pemuda yang berwajah tampan dan jujur. Begitu juga ketika da Vinci akan melukis murid-muridnya, ia juga mencari sosok yang dianggap mewakili tiga belas rasul itu. Kisah menjadi sangat menarik ketika da Vinci akan melukis salah satu muridnya (yang berkhianat), Yudas Iskariot. Ia digambarkan sebagai sosok yang jahat. Da Vinci menemukan sosok itu di penjara bawah tanah Roma, ketika selesai dilukis, si Yudas ternyata adalah orang yang sama ketika da Vinci melukis Kristus tujuh tahun yang lalu (lukisan ini dikerjakan bertahun-tahun). “Melalui kisah itu, kami merasa ada hal menarik untuk ditunjukkan dalam satu adegan. Kiai (menakik dari kisah tadi) juga tidak bisa lepas dari sifat dasarnya, ia manusia dan karenanya punya sifat baik dan jahat. Relasi kuasa antara kiai dan masyarakat dalam kasus di Madura belakangan ini menunjukkan bawah ketika kiai memegang kendali kekuasaan (baik di pemerintahan atau tidak) tidak jarang melakukan kekeliruan fatal: menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk merebut pengaruh”.
Antuasisme
penonton pada pentas Rokateater dengan lakon Masegit dapat dilihat dari
penuhnya Auditorium Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan
Jl.Raya Panglegur km 4 Pamekasan. Sekitar 500 penonton dari komunitas
teater dan pondok pesantren dari beberapa kota di Madura, Surabaya,
Malang. Antusiasme komunitas teater di Pamekasan dapat dicatat dari 200
peserta diskusi seusai pentas. Pementasan teater Masegit merupakan salah
satu rangkaian kegiatan yang dihelat Kolom Teater Pamekasan (KTP)
ke-13.
Salah satu
penonton, Untung dari Komunitas Omah Kayu, Sumenep mengapresiasi bahwa
bentuk pertunjukan Masegit berupa fragmen dari beberapa fenomena di
Madura dengan diekplorasi menjadi fragmen tubuh lokal. Dengan bentuk
fragmen inilah butuh kecermatan dalam menata titik-titik permainan.
Sehingga pesan dan kesan bisa sesuai dengan apa yang diharapkan
sutradara. Selain itu permasalahan yang tampak bagi penonton banyak
aktor bergerak lebih kepada teknik. Estetika gerak tubuhnya jauh dari
rasa dan jiwa dari permasalahan yang diangkat. Terlepas dari beberapa
kekurangan dari pementasan Masegit secara garis besar sukses. Mas Ridho
sukses menangkap fenomena, lalu mentransformasikan kepada aktor dan
bagian artistik lainnya, sehingga menjadi pertunjukan yang sukses.
Shohifur
Ridho Ilahi mempunyai dua alasan mengapa memilih Pamekasan sebagai
lokasi pementasan Masegit. Pertama Pamekasan memiliki kedekatan
emosional dengan dirinya sebab di tahun 2008 saat duduk di kelas 2 MAN,
pertama kalinya dia bermain sebagai aktor teater di Pondok Pesantren
Banyuanyar Pamekasan. Judul naskah yang dimainkannya Tuhan Bermuka Dua.
Kedua, letak Pamekasan berada di tengah Madura, diantara Bangkalan dan
Sumenep.
Epilog
Shohifur
Ridho Ilahi (26) meyakini bahwa teater tidak dapat menyelesaikan
masalah. Teater adalah salah satu alternatif alat baca kenyataan sosial.
Parameter berhasil dalam konteks karya bukan pada karya seni namun
karyanya dapat memberi pengetahuan, menyadarkan penonton bahwa ada
sesuatu yang perlu dipikirkan bersama. Semacam pemantik untuk
memproduksi pengetahuan.
Abdul Malik, penulis seni budaya, bermukim di Desa Kebonagung, Malang.
Sumber tulisan: http://www.kelola.or.id/performance-review/detail/?ws_id=166