Puisi
di Tengah Masyarakat Krisis
PUISI
tidak lahir dari kekosongan. Ia lahir dari totalitas pengalaman estetika
manusia dalam relasinya dengan realitas dunia, yang kemudian dimaterialkan
dalam bentuk jalinan kata-kata (yang indah), yang memiliki daya guna bagi
kelangsungan hidup peradaban manusia. Antara puisi dan di dunia ia dilahirkan
senantiasa memiliki hubungan yang tak terpungkiri. Suatu pertalian yang sangat
erat dan saling bersikait antara satu dengan lainnya.
Realitas dunia adalah tempat pengetahuan-pengetahuan, pengalaman-pengalaman artistik dan kreatif milik seorang penyair ditempa dan dimatangkan. Untuk kemudian dilebur menjadi satu manifestasi total yang baru, yang dengan “campur tangan” realitas dunia menjadi satu material yang mencakup seluruh eksistensi manusia dalam relasi dan keberadaannya dengan dunia. Oleh sebab itu usaha untuk meniadakan relasi antara puisi dan dunia dengan realitasnya adalah hal yang sangat naif dan mengaburkan kebenaran yang ada.
Meskipun
demikian kita tidak boleh secara gegabah dan serampangan menyatakan bahwa puisi
adalah sekedar “tiruan” atau “refleksi” dari alam. Sebab, merujuk pada Karl
Marx, seorang pemikir besar zaman modern, puisi sebagai bagian dunia yang perlu
dibedakan dari kerja manusia, tentu bukanlah sekedar “tiruan” atau “refleksi”
atas relitas eksternal, melainkan lebih jauh merupakan upaya memasukkan
realitas ke dalam tujuan-tujuan manusia, karena ia melukiskan manusia yang
secara alamiah, menjadikan aktivitas hidup manusia sebagai obyek kesadarannya.
Dalam kata lain, puisi senantiasa berelasi dengan relitas dunia. Ia tidaklah
semata-mata merupakan mimetik dari dunia eksternal, karena dalam puisi realitas
internal, yang merupakan totalitas pengalaman estetika manusia, lebur dengan
realitas eksternal yang merupakan kenyataan yang ada di luar manusia sebagai
diri. Hal ini tak lain dan tak bukan karena puisi, sebagaimana seni pada
umumnya, tidak hanya mimetik dengan maksud utilitarian secara langsung, selalu
saja ada unsur-unsur di dalam puisi yang mengandung tujuan di dalam dirinya sendiri.
Di
dalam peradaban masyarakat krisis, di mana segala nilai sosial, politik, dan
kebudayaan tengah mengalami degradasi dan kerunyamannya seperti saat ini, kita
tidaklah dapat menyatakan secara diktatoris-dogmatis bahwa puisi-puisi yang
muncul seharusnya berpegang pada komitmen sosial yang berpegang pada
kegelisahan yang muncul dari realitas keseharian, sebab pemikiran semacam ini
sama saja dengan mengingkari keberadaan realitas internal sebagai salah satu
faktor yang juga penting dan utama dalam fakta dan proses penciptaan puisi.
Masyarakat
krisis adalah masyarakat yang telah tercerabut dari nilai-nilai dan norma-norma
yang telah dipercayainya. Nilai-nilai ataupun norma-norma yang dulu menjadi
pegangan hidup dalam menjalani kehidupan kini seakan-akan tak lagi dapat
dipercaya, bahkan dapat dikatakan telah hilang dan menemukan pengasingannya
dalam realitas keseharian. Ini berdampak pada hilang dan terasingkannya
eksistensi yang telah mereka bangun dan miliki selama ini, sehingga ia
mengalami semacam kebuntuan, kesesatan, bahkan kegelapan dalam menjalankan
tugasnya sebagai “pejalan di muka bumi”.
Bagi
puisi, keadaan yang demikian tersebut mengakibatkan munculnya dua dampak yang
tak terelakkan, yakni: (a) di satu sisi ingin melarikan diri dan lebur dalam
keasingan, dan (b) di lain sisi berada pada jalur pencarian kembali eksistensi
dengan jalan mempertanyakan kembali keberadaannya, dunia dan realitasnya secara
frontal. Akan tetapi meski kedua dampak tersebut terlihat agak berseberangan,
sebenarnya, keduanya masih menyimpan satu persamaan yang tak dapat dipungkiri,
yakni: bahwa keduanya mengandung semangat dan nilai resistensi atas dunia dan
realitasnya yang mengingkari dan mengasingkannya.
Ya.
Nilai dan semangat resistensi atas dunia dan realitasnya adalah hal yang khas
yang muncul dalam peradaban masyarakat krisis. Dalam pemikiran kaum neo-marxis,
nilai dan semangat resistensi yang tumbuh kembang dalam peradaban masyarakat
krisis pada akhirnya senantiasa memunculkan dua tipologi pemahaman estetika.
Yang pertama, adalah estetika sebagai ruang bebas otonom, tempat orang
berekspresi di tengah segala macam penindasan dan keterkungkungan. Pada
tipologi ini, puisi menjelma sebuah wilayah “tak bertuan” tempat manusia
menjadi kreator yang bisa menciptakan makna yang nampaknya tak ada dalam dunia
empiris yang sedang kacau balau dan penuh kontradiksi.
Di
dalam wilayah ini, seorang penyair bisa merekonstruksi makna secara subyektif,
tanpa terlalu peduli pada objektivitas dan relevansi langsung dari momen-momen
realitas dunia. Hal ini menjadikan puisi dapat dipahami sebagai jalan
pembebasan, suatu wahana kreatifitas manusia yang ditolak oleh sistem hidup
sehari-hari. Sebab ia memuat kekuatan-kekuatan dan daya transendensi, serta
kekuatan untuk mengambil jarak dengan kehidupan sosial yang represif, serta
mengemban nilai otonomi dalam dirinya sendiri, dan senantiasa tidak berpretensi
untuk membawa perubahan atau revolusi masyarakat. Pendeknya, puisi menjadi
mimpi masyarakat ideal. Suatu kondisi yang begitu diidam-idamkan oleh
masyarakat krisis.
Tipologi
yang kedua adalah estetika sebagai alat untuk meneriakkan resistensi, momen
korektif dan protes terhadap masyarakat, dan pendorongan ke arah perubahan.
Dalam pemahaman tipologi ini, puisi berdiri pada titik di mana ia menjadi
sarana untuk mewujudkan kembali dunia yang utuh. Di sini, penyair tidak
tenggelam dalam kesempitan dunianya sendiri, karena ia tidak menjadi pasif, dan
tidak hanya memperhatikan gerak perubahan jiwanya sendiri. Di sini setiap
perubahan gerak jiwa seorang penyair dibarengi dengan perubahan gerak jiwa
zaman di mana penyair tersebut hidup dan pernah, serta akan, hidup.
Dalam
pemahaman ini, puisi senantiasa terlibat dalam gerakan resistensi, senantiasa
memuat kontradiksi masyarakat, memprotes keadaan, memuat pesan utopis-mesianik
untuk melawan reifikasi total, komodifikasi, hilangnya aura, dan budaya fetish
dari masyarakat krisis. Dalam pemahaman ini puisi berfungsi sebagai alat
komunikasi politik yang menampakkan tanggung jawab sosialnya. Ia
menginspirasikan sebuah gerakan sosial demi perubahan, dan ia menjadi
inspiratif karena diangkat dari situasi sosial masyarakat, tidak diisolasi dan
tidak ditaruh di puncak mercusuar yang indah.
Hanya
saja pemahaman tersebut juga menimbulkan beberapa efek yang lain, semisal
semakin menyempitnya ruang transendensi manusia, dan semakin jauhnya penyair
dari sebuah kosmos tunamakna yang memberi kelebihan padanya dalam membentuk
ruang pemaknaan yang sebebas-bebasnya. Akibatnya puisi-puisi yang lahir dari
tipologi
pemahaman
estetika ini kerap terjerembab dalam kompromi terhadap situasi sebab, dalam
pemahaman ini, puisi berada dalam kerangka besar untuk perubahan masyarakat.
Namun,
sangat beruntung bagi kami dan Anda sekalian, sebab kumpulan puisi Rokat
Perahu Mawar karya Shohifur Ridho Ilahi dan Tanggulendut karya F
Aziz Manna yang sampai di tangan kami dan Anda sekalian ini tidak tersungkur
pada kondisi tersebut. Kedua kumpulan puisi tersebut menyajikan perspektif
kritis atas realitas sosial yang berada di sekitarnya, tetapi tanpa melupakan
semangat transendensi sastrawi. Pada puisi karya Shohifur Ridho Ilahi tampak
pada puisi yang berjudul Surat Garam 4:
dengan
apa kunamai perahu ini bila lautku dilelapkan? akhirnya kupahat jua peristiwa
dan nama-nama. kuukir jua riwayat tentang bagaimana perahu ini bisa punya malam.
lautku
mencari teluk pulau risauku, ruas jalan khidmatku.
di
pelabuhan itu langit berawan, bulan mencari kenangan. di atas geladak perahu
seseorang bertanya, apa telah diberangkatkan ombak-ombak?”
Adapun
pada puisi F Aziz Manna, hal tersebut tampak pada puisi yang berjudul Orang-Orang
Tanggul XI:
sedikit
dusta, sedikit tawa, selebihnya tak ada urusan dengan dunia, selalu seteguk dan
terus seteguk, cinta yang tuntas ataukah kandas adalah cangkir kering tinggal
ampas, betapa menyedihkan, mulut sebatang kara tanpa kecup, lumpur, cinta,
tiada guna, sampah, menambah buruk sejarah, kenangan kelam hanyutkan, lupakan,
terjunlah ke warung-warung, renang-reguklah bebibir cangkir, sebelum tandas
tersisa ampas, lambaikan tangan, bunyikan siulan, undang cecangkirmu yang lain,
rengkuh, kerlingkan mata dan katakan: selamat tinggal sekaligus selamat datang
Pada
puisi Shohifur Ridho Ilahi, perspektif kritis tentang perubahan realitas sosial
yang terjadi di Madura disikapinya dengan perspektif yang kritis tetapi tetap
melandasinya dengan semangat transendensi. Akibatnya, pembaca dihadapkan pada
ruang perenungan atas kondisi yang terjadi, bukan pada situasi emosional yang
membuat pembaca terlonjak marah. Balutan gaya bahasa yang halus, membuat puisi Shohifur
Ridho Ilahi seakan-akan memang bertujuan untuk menggoda dan menghantui perasaan
dan pikiran pembacanya. Hal yang sama juga dilakukan oleh F. Aziz Manna melalui
puisinya tersebut. Usaha untuk mengembalikan puisi pada ruang perenungan
menjadi tujuan yang tidak terelakkan meski tema yang diusung adalah kritik
sosial. Inilah yang menarik dari karya-karya puisi yang diciptakan oleh kedua
penyair tersebut.
Bukan
hal yang mudah untuk sampai pada taraf seperti yang telah dicapai oleh kedua
penyair tersebut. Butuh kualitas yang mantap agar seorang penyair dapat sampai
pada taraf yang telah dicapai oleh kedua penyair tersebut. Ada kematangan dalam
pemahaman sastra yang dimiliki oleh kedua penyair tersebut. Kemantapan dan kematangan
dalam taraf yang telah dicapai kedua penyair itulah yang tidak kami temukan
dalam naskah-naskah kumpulan puisi yang lain yang sampai di tangan kami.
Kalaupun ada kemantapan dan kematangan yang diperlihatkan oleh puisi-puisi yang
lain, itupun, menurut kami, masih di bawah taraf yang telah dicapai oleh kedua
penyair tadi. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk memilih naskah kumpulan
puisi dari dua penyair tersebut sebagai pemenang dalam sayembara sastra yang
diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jawa Timur pada tahun 2013.
Pada
akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Selamat menikmati pengalaman
intelektual dan estetis yang dihadirkan oleh Shohifur Ridho Ilahi dan F Aziz
Manna.
Surabaya,
Desember 2013