Menonton Arsip, Membaca Teater Eska


Menonton Arsip, Membaca Teater Eska

Oleh: Shohifur Ridho Ilahi



Jika setiap momen penting dalam hidup selalu mensyaratkan perayaan untuk mengungkapkan kebahagian, maka peristiwa 35 tahun yang terpacak di kalender 18 Oktober 2015 silam, Teater Eska ingin ada sesuatu yang mesti dilampaui, sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan. Mungkin tibalah saatnya untuk menimbang dan mengkaji ulang apa-apa yang pernah berlangsung selama tiga dasawarsa lebih itu. Dan E(k)SKAvasi adalah salah satu upaya untuk melakukan itu.

E(k)SKAvasi
E(k)SKAvasi adalah tajuk untuk menandai peristiwa perayaan ini. Istilah ini (ekskavasi) ditakik dari disiplin ilmu arkeologi mengenai penggalian di tempat yang mengandung benda purbakala. Ekskavasi dipakai untuk merespon rancang-bangun konsep pameran arsip yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 sd. 14 November 2015.
Mula-mula, saya—sebagai kurator—menyadari ada bentangan jarak konseptual antara ekskavasi dengan apa yang disebut sebagai arsip. Yang disebut pertama berangkat dari suatu disiplin keilmuan yang jelas dengan perangkat teori dan praktik ilmiah yang ketat, sementara yang disebut belakangan merujuk pada manjemen atau metode pengumpulan data yang berupa arsip/dokumen.
Salah satu cara untuk menutup jurang kesenjangan tersebut adalah menduduk-beriringkan tujuan ideal yang disarankan oleh ekskavasi dengan arsip Teater Eska sebagaimana paparan berikut: Jika melalui ekskavasi para arkeolog berusaha membuka kembali “rekaman” kehidupan manusia masa lalu melalui sisa-sisa aktivitasnya yang masih terawetkan sampai sekarang, dengan memperhatikan proses transformasi sejak materi tersebut terdeposisi hingga ditemukan kembali, maka gelaran E(k)SKAvasi adalah upaya untuk (1) membuka ingatan mengenai pergulatan Teater Eska di medan kebudayaan di Yogyakarta, (2) menyusur praktik artistik Teater Eska yang berlangsung dari dulu hingga sekarang, (3) menimbang rumusan visi kerja seni Teater Eska yang berakar pada humanisasi, liberasi, dan transendensi, sekaligus (4) menata kembali apa-apa yang perlu dibangkitkan dan disusun kembali dan apa-apa yang patut dijadikan kenangan saja.
Dengan kata lain, apa yang dibidik dari gelaran ini tak lain adalah sesuatu yang perlu digali dan ditelusuri lagi untuk melihat bentangan sejarah Teater Eska melalui arsip yang terdokumentasi selama 35 tahun.

Dialog
Menggali dan melihat lagi arsip merupakan bentuk refleksi. Pada ruang refleksi yang disediakan arsip itulah anggota Teater Eska generasi kini dapat berdialog dengan para pendahulunya dan masuk-menemu gagasan dari pergulatan panjang sejarah kelompoknya.
            Pada arsip jenis poster dan video pertunjukan, misalnya, para awak Teater Eska generasi kini dapat beroleh informasi dan pengetahuan tentang bagaimana sebuah proses yang riuh dikerjakan dengan penuh-seluruh dan ide-ide diekspresikan melalui panggung teater. Dari situlah upaya berdialog tercipta dan mereka (generasi kini yang dipisahkan jarak spasial dan temporal dengan pendahulunya itu) saling bertukar-tangkap gagasan dan sudut pandang dengan arsip-arsip itu.
            Karena setiap generasi memiliki kebanggaan dan tantangannya masing-masing. Maka, produk kultural diciptakan  untuk merekam suatu zaman dan produk itu juga yang menegaskan bahwa masa lalu itu ada dan masa kini terus bergerak ke masa depan karena masa lalu selalu memberikan warisan kepada anak-anaknya. Di samping teater, tiang penyangga kelompok yang berdiri tahun 1980 ini adalah kepenulisan. Oleh karena itu, arsip jenis buku menemukan momentumnya pada perayaan ini untuk mengabarkan ihwal bagaimana produk kultural diciptakan melalui buku yang sebagian besar berbentuk karya sastra.
Tanpa bermaksud berlebihan, hingga hari ini Teater Eska telah melahirkan banyak penulis dan sastrawan dan buku-buku mereka menerang-jelaskan betapa proses dan penempaan diri yang penuh kekhusyukan itu pernah terjadi di rumah indah yang berbasis di UIN Sunan Kalijaga ini.
            Warisan-warisan berharga itu bisa dilacak mulai dari karya-karya Hamdy Salad, Otto Sukatno CR., Aly D. Musyrifa, Ulfatin Ch., Abidah El-Halieqy, Kuswaedi Syafi’ie, Labibah Zain, M. Faizi Kaelan, Bustan Basir Maras, Paox Iben, dll—untuk menyebut beberapa nama—hingga generasi belakangan seperti Mahendra, Bernando J. Sujibto, Ghoz TE., M. Toyu Aradhana, dan lain-lain.
            Kualitas karya dari nama-nama yang disebut di atas sungguhlah menggembirakan dan beberapa di antaranya bahkan diperhitungkan di lapangan sastra Indonesia. Demi menjelas-terangkan bagaimana pergulatan dan atmosfer sastra di Teater Eska, hingga umurnya yang ke 35 tahun, kelompok ini telah menerbitkan setidaknya sembilan antologi puisi, masing-masing berjudul Nyanyian Kampus (1982), Sebuah Kelahiran (1984), Sangkakala (1987), Kafilah Angin (1990), Museum (1991), Alif Lâm Mîm (1992), Aurora Cinta (1993), Risalah Badai (1996), dan Prosenium (2013). Buku-buku itu menyediakan ruang dialog tentang praktik produksi pengetahuan di Teater Eska.
Setiap arsip yang disebut di atas memiliki wataknya masing-masing sesuai dengan jenis dan persinggungannya dengan kenyataan sosial di sekitarnya. Demikianlah, yang coba dilihat dari arsip-arsip itu bukanlah benda atau barang, melainkan “proses”, sesuatu yang berlangsung dari waktu ke waktu. Dan pada pertengahan November nanti, “proses-proses” itu akan mementaskan dirinya di hadapan pemirsa E(k)SKAvasi; Teater Eska Archive Exhebition di kampus UIN Sunan Kalijaga. Tabik!

(Koran Merapi, 01 November 2015)


Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.