Teater Statistik: Sebuah Jurnal Tentang Kota
Oleh:
Shohifur Ridho Ilahi
Foto: Iwan Pribadi
Seseorang yang
naik ke atas panggung hijau bulat di penghujung Oktober dan awal November itu
bernama Istato Hudayana, seorang petugas di pusat statistik provinsi DIY. Di
depan mikropon, Istato menceritakan pengalaman sehari-harinya yang bersibuk-khusuk
dengan angka-angka statistik. Melalui kisah lelaki yang suka memperhatikan plat
nomor kendaraan di jalan ini gambaran demografi kota Jogja dipertunjukkan, dan
melalui dirinya juga pertunjukan “100% Yogyakarta” mengalir.
Aliran
permainan mulai menarik ketika Istato memperkenalkan kawannya yang bernama Ade
M Wirasenjaya. Ade menceritakan dirinya sebagai dosen Hubungan Internasional
dan menuturkan pandangannya terhadap Jogja. Ade mengajak temannya, Ratih, dan
Ratih membawa anaknya, dan anaknya mengajak serta Maria, pengasuhnya. Ajakan
berantai itu terus berlangsung hingga Riezky masuk panggung sebagai orang ke 100.
Seperti
perkenalan pada hari pertama masuk sekolah, orang-orang yang datang dari
beragam usia, agama, status sosial, pekerjaan, gender, etnis, dan tingkatan
pendidikan itu masing-masing menuturkan diri, hobi dan kota. Selain sebagai
tampilan nyata angka-angka statistik dalam kegiatan sehari-hari Istato, mereka juga
adalah sudutpandang dalam mengabarkan potret terkini kota Jogja. Dan di tangan
Rimini Protokoll dan Teater Garasi angka-angka statistik itu menjadi
bersahabat, cair, dan kritis.
Seratus
orang itu bukan aktor dan mereka sama sekali tak berkarib dengan panggung. Mereka
dipilih dari warga biasa atas kriteria spesifik tertentu sebagai representasi
1% populasi. Manis-madu pertunjukan ini justru karena mereka bukan aktor, dan
oleh sebab itulah mereka memainkan sebagai dirinya sendiri. Mereka tampil
dengan wajar tanpa bertopengkan akting dan kepalsuan. Melalui orang-orang
itulah tampilan tentang Jogja hadir secara nyata.
Pertunjukan
yang menjadi bagian dari Jerman Fest itu dikerjakan mula-mula melalui identifikasi
isu dan pemilihan warga yang dilakukan oleh Teater Garasi bersama Kunci
Cultural Studies, sementara Rimini Protokoll membawa gagasan, ide dan struktur
dasar pertunjukan 100% ke Indonesia. Dan Jogja merupakan kota ke 27 di dunia
yang disentuh oleh proyek 100% milik kelompok yang berbasis di Berlin itu.
Protokoll
Merujuk pada namanya, “protokoll”
berarti jurnal atau laporan. Kelompok yang hanya terdiri dari trio sutradara
bernama Helgard Haug, Stephan Kaegi dan Daniel Wetzel ini terkenal dengan
karya-karya yang membawa pengalaman nyata ke atas panggung. Penghadiran yang
“nyata” ke atas panggung itu dilakukan dengan strategi menampilkan subyek terkait
yang mengalami langsung peristiwa. Sungguh mustahak gaya pertunjukan mereka bak
reportase terhadap isu-isu sosial tertentu yang berlangsung di tengah
Masyarakat.
Oleh
sebab itu, di tangan Rimini Protokoll pengertian tentang aktor pun bergeser,
kaitannya dengan apa yang disebut “nyata” di atas. Dalam “100% Yogyakarta”,
fungsi aktor atau pemain bukan lagi sebagai “pemeran” yang membawa semangat
mimetik naif dari tokoh yang diangkat dalam teater (naskah), tetapi aktor
benar-benar mempresentasikan dirinya sebagaimana yang dialami dalam kenyataan
sehari-hari.
Model
teater semacam ini sesungguhnya memiliki riwayat dari semangat “teater
dokumenter” (documentary theatre) yang
mulai ramai di Barat pada sekitar tahun 1990-an, dan jika diulur ke belakang
memiliki akarnya hingga ke model teater Bertolt Brecht yang fokus pada isu-isu
kelas sosial dan struktur kekuasaan. Ciri teater dokumenter adalah menghadirkan
realitas sosial ke atas panggung yang bersumber pada laporan riset, wawancara,
dan objek-objek dokumentasi. Sumber tersebut dihadirkan sebagaimana adanya
tanpa mengubah atau mengalihwahanakan pada naskah (drama).
Apa
yang dilakukan Rimini Protokoll melalui “100% Yogyakarta” juga bisa duduk-bersanding
dengan apa yang disebut Brecht sebagai Lehrstucke,
sebuah istilah yang mengacu pada pembelajaran melalui teater yang
menekankan pada “partisipasi”. Dan melalui partisipasi 100 warga Jogja dalam
pertunjukan itu, gagasan kelompok yang berdiri pada tahun 2000 itu memperoleh
maknanya.
Lintas
Isu
Foto: Jean
Pascal Elbaz
Malam belum
larut benar ketika Sarjiyah Sunarto mengiris hati kami dengan kisah yang
menyentuh. Perempuan 75 tahun itu bercerita bahwa dirinya pernah dipenjara tanpa
proses pengadilan selama 3 Tahun karena dituduh terlibat G 30 S. Peristiwa 1965
menyisakan trauma yang mencekam dalam dirinya. Di ujung kisahnya, Sarjiyah
melempar tanya, “siapa yang merasa terancam dengan komunisme?” Kemudian 99
orang berhamburan dan berkumpul sesuai papan tanda yang diinginkan: “Saya” bagi
yang terancam dan “Bukan Saya” bagi yang tidak terancam.
Demikianlah,
begitu sebagian besar dari mereka memilih papan “Bukan Saya”, keheningan
panggung dipecahkan oleh gemuruh tepuk tangan penonton. Namun, kengerian
panggung terus berlangsung ketika Magdalena dan Lusia, seorang Ibu dan anak pengidap
virus HIV/ AIDS mengambil alih mikropon. Mendengar kisahnya, kita dibuat sesak:
betapa perjuangan melawan penyakit dan sekaligus terasing dari komunitas
sosialnya adalah kengerian yang penuh-seluruh.
100
orang itu adalah 100 isu, data statistik, dan sudut pandang yang hadir
bersamaan di atas panggung. Meski dalam pertunjukan ini kita tidak akan
mendapati kisah utuh dalam satu gugus cerita sebagaimana dalam pentas teater
konvensional, tapi kita telah diperlihatkan kenyataan bahwa Jogja tidak seelok Malioboro
yang dilabur gerimis ketika sore.
Oleh
karenanya saya tak meragu jika bersimpul bahwa selain sebagai salah satu bentuk
teater dengan ide yang segar, “100% Yogyakarta” juga dokumentasi sosial berharga
yang memapar masyarakat kita.


