Menyusur Je.ja.l.an. Teater Garasi
Oleh: Shohifur
Ridho Ilahi
Saya menyaksikan Je.ja.l.an dibangkitkan lagi pada suatu malam di Pendhapa Art
Space, Yogyakarta. Malam tanggal 15 September 2015 lalu tersebut merupakan Open Rehearsal sebelum pertunjukan teater-tari
yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin itu dibawa ke OzAsia Festival Adelaide,
untuk dipentaskan di depan publik Australia pada 24-26 September 2015 kemarin.
OzAsia Festival adalah sebuah gelaran bergengsi yang mempertunjukkan seni dan
praktik kebudayaan terbaik dari seluruh wilayah Asia. Sebelumnya, pertunjukan
yang diciptakan 2008 ini pernah juga dipentaskan di Shizouka dan Osaka, Jepang
pada 2010 silam.
Je.ja.l.an., Jalan
Je.ja.l.an.,
bagi
jamaah seni pertunjukan di Tanah Air, wabil khusus pengkhusuk Teater Indonesia,
adalah pentas yang menolak luput dari ingatan. Pertunjukan yang menguliti “jalan”
ini memang patut di perbincangkan sebagai salah satu eksemplar teater
kontemporer (di) Indonesia saat ini. Setidaknya ada empat alasan mengapa saya
menyebut demikian.
Pertama, Je.ja.l.an dibuat bukan berdasarkan teks
(naskah) yang sudah ada, tetapi melalui isu-isu (di) jalan dan fenomena urban.
Isu-isu tersebut digenapkan dengan riset yang mendalam dan dibaca dengan
kerangka ilmiah yang ketat. Sesuatu yang mereka temukan dalam proses penelusuran
wacana itulah yang dijadikan teks Je.ja.l.an..
Dengan pendekatan yang demikian itulah Teater Garasi tidak hanya bekerja umtuk
kepentingan visual, tapi juga produksi makna dan pengetahuan.
Kedua, menyaksikan
Je.ja.l.an., kita tidak hanya
dimanjakan dengan visual yang apik, tapi juga dapat dipertimbangkan sebagai
sudut pandang dalam melihat kenyataan sosial kita. Demikianlah, penonton tidak
hanya menikmati seni yang agung, tapi pada saat yang sama, mereka juga saling
bertukar pengetahuan dengan panggung seraya merajutnya dengan catatan kaki dan
referensi di luar teks pertunjukan itu.
Ketiga, selain sebagai
ruang transportasi, jalan juga menjadi ruang perjumpaan orang-orang dengan
berbagai kepentingan, serta menjadi medan ekspresi bagi praktik kebudayaan.
Maka mafhum jika teks itu membawa Je.ja.l.an.
ke kalibut fragmen-fragmen yang saling tumpang tindih sebagaimana watak
jalan di kota-kota besar di Indonesia. Demikianlah, Je.ja.l.an. tidak hanya membawa cerita “tentang” jalan, tetapi juga
memindahkan “watak” jalan ke panggung. Kita bisa melihat dengan terang lalu
lalang orang-orang, suara megaphone, lagu pengamen, drumband, gulungan kasur,
tas kresek, termos, payung, seng, kursi, puisi, dan kamu.
Keempat, Je.ja.l.an. dibuat dengan pendekatan
penciptaan bersama (collective creation),
cara kerja yang demikian ini menawarkan banyak kemungkinan, termasuk ajakan
memeriksa kembali hubungan antara panggung (pentas) dengan penonton. Je.ja.l.an. meniadakan batas antara
penonton dan panggung, penonton melihat teater justru pada jarak yang tiada,
mereka menjadi bagian dari permainan.
Versi,
Pertanyaan
Je.ja.l.an.
2015
(yang dibawa ke OzAsia Festival) tentu saja adalah sebuah versi lain dari Je.ja.l.an. 2008. Sebagai sebuah versi,
kemungkinan berubah, tumbuh dan berkembang sungguhlah wajar saja. Dan saya
lihat, Je.ja.l.an. 2015 ini tidak
mengalami banyak perubahan dan tetap pada poros Je.ja.l.an. 2008, kecuali perubahan pada sebagian besar komposisi
aktornya.
Tetapi perubahan
tersebut membentur kenyataan bahwa karya tersebut dibuat dengan strategi “penciptaan
bersama”. Namun penciptaan bersama ini tidak dialami oleh aktor-aktor Je.ja.l.an. 2015 kecuali Erythrina
Baskoro dan
Sri Qadariatin yang turut bermain pada dua versi Je.ja.l.an. itu.
Kita tidak melihat lagi nama-nama seperti Bahrul
Ulum, Verry Handayani, Citra Pratiwi, Jamaluddin Latif, dan Theodorus
Christanto sebab mereka digantikan oleh Ajeng Soelaeman, Ari Dwianto, Arsita
Iswardhani, Gunawan Maryanto, MN Qomaruddin, dan Vassia Valkanioti. Bagaimana
nama-nama yang disebut belakangan itu melucuti jarak dengan Je.ja.l.an 2008 dan meletakkannya
sebagai biografi yang dirinya terlibat di dalam proses penciptaannya?
Kehadiran Vassia
Valkanioti juga mempercepat kelam. Ia datang menggantikan salah satu aktor Je.ja.l.an. 2008. Sebagai orang asing
(liyan?), Vassia tidak lantas dianggap menggantikan, sebab yang digantikan
bukan orang asing. Lalu di mana posisi aktor asal Yunani itu dalam pertunjukan yang
mempresentasikan tenyang jalan (di) “Indonesia” itu? Bagaimana dia menempatkan
diri di dalamnya?
Pertanyaan-pertanyaan
itu bergentayangan di kepala, dan saya pantas murung, sebab pertunjukan Je.Ja.l.an. 2015 tidak melempar jawaban yang
membahagiakan.