Tiga Bayangan: Paradigma dan Relasi Subjek-Subjek


Tiga Bayangan: Paradigma dan Relasi Subjek-Subjek

Oleh: Shohifur Ridho Ilahi

Ketika gemerlap dan ledakan kembang api memenuhi langit Yogyakarta di penghujung tahun 2013 silam, Teater Eska sedang melepas hajat tiga pertunjukan dalam satu panggung. Tiga repertoar itu masing-masing berjudul Yang Tuhan, Pengantar Ilmu Ekonomi, dan Nol. Tiga-tiganya berada di bawah induk judul Tiga Bayangan.

Tiga Bayangan menunjuk pada penciptaan tiga pertunjukan yang didasarkan pada penjelajahan ide, gagasan, konsep, dan bentuk artistik yang tak terbatas serta temuan-temuan segar lain yang relevan. Oleh karena itu, Tiga Bayangan lebih banyak berkisah tentang bagaimana pemikiran dipresentasikan dan simbol-simbol artistik dikomunikasikan kepada penonton.

Selepas kisah di penghujung tahun 2013 itu terurai, ada kisah lain pada malam minggu yang dingin, 02 April 2016, yaitu kembalinya Tiga Bayangan dengan tiga repertoar baru di depan para pengkhusyuk teater di Yogyakarta. Repertoar itu masing-masing berjudul Jamais Vu, Neosamting (Blues Tanpa Minor Harmonik), dan Persoalan Hidup dan Beberapa Pertanyaan Payah.

Tiga repertoar ini tidak hanya menawarkan paradigma tertentu dalam melihat relasi antara manusia sebagai subjek yang hidup dan berkehendak dengan kenyataan kesehariannya, tetapi juga bagaimana “relasi” itu bekerja dalam upaya mendialogkan antara gagasan pertunjukan dengan kenyataan dalam kehidupan manusia. Demikianlah, Teater Eska tidak hanya mempertontonkan seni akting, namun juga melempar diskusi tentang kenyataan di panggung dan relevansinya dengan kenyataan subjek-subjek di luar panggung.


Menonton Jamais Vu, sesuatu yang rumit segera menyerbu kepala kita. Spirit absurdisme dalam khazanah filsafat dan seni  Barat tumpah di pertunjukan ini. Sebagai penulis naskah dan sutradara sekaligus, Jauhara N. Azzadine tidak hanya melakukan strategi “imitasi” artistik pada lakon tragi-komedi berjudul Waiting for Godot karya Samuel Beckett yang masyhur itu, tetapi juga bagaimana pemikiran tentang pencarian makna kehidupan yang bersimpul pada kesia-sian diurai sedemikian rupa.

Tentu saja praktik imitasi tersebut perlu dibaca sebagai strategi pemanggungan. Vladimir dan Estragon pada Waiting for Godot adalah Vel dan Nos pada Jamais Vu. Sementara Vel pada naskah karya Azzadine itu lebih menyerupai Lucky yang kesepian dan tertindas pada lakon dua babak yang membawa Beckett meraih hadiah Nobel Sastra tahun 1969 itu. Namun selalu ada yang berbeda dalam setiap imitasi, Waiting for Godot berkisah tentang hikayat “menunggu”, sementara Jamais Vu menekankan pada “keberulangan” yang berlangsung terus menerus. Baik menunggu maupun keberulangan sama-sama tindakan membosankan, tak ada harapan kecuali berserah, seperti Sisiphus yang terus mendorong batu ke puncak bukit, batu itu menggelinding lagi, terus berulang-ulang, sembari menunggu Dewa mencabut kutukannya, tetapi sia-sia.


Sementara karya Lailul Ilham yang berjudul Persoalan Hidup dan Beberapa Pertanyaan Payah hadir dan langsung melempar pertanyaan: Apakah anda siap berhadapan dengan dunia hari ini? Tetapi, apa itu siap? Apabila pertanyaan pertama lebih memapar subjek dan kondisi sosial di sekitarnya,  maka pertanyaan kedua mengandaikan sebuah jawaban yang melampaui definisi kata “siap”, dengan ungkap lain, bagaimana “siap” hadir dan dimaknai oleh subjek-subjek di tengah kondisi yang membutuhkan kesiapan untuk menjalaninya.

Ada tiga subjek yang hadir dalam pertunjukan ini, masing-masing terdiri dari pemuka agama, pemulung, dan pengusaha. Keberadaan subjek-subjek ini tidak sedang membicarakan kelas dan ketimpangan sosial di masyarakat, tetapi bagaimana subjek-subjek tersebut menjawab pertanyaan tadi dengan pandangan khas kelas sosial yang sedang diwakilinya.


Adapun repertoar Neosamting (Blues Tanpa Minor Harmonik) buah tangan Muhammad Sholeh meneropong sesuatu yang sederhana namun penting dalam setiap babakan perubahan di dunia. Repertoar ini percaya bahwa yang abadi adalah perubahan dan kemandegan merupakan bentuk penyalahan terhadap fitrah kehidupan. Agar manusia bertahan dari keniscayaan perubahan dunia, maka ia harus melakukan berbagai inovasi supaya berkarib dengan kehidupan yang selalu baru.

Melalui premis itu, pertunjukan terakhir ini menampilkan dua seniman bernama Plus dan Min. Plus adalah orang yang selalu berusaha memberdayakan dirinya sebagai subjek yang bebas dan berkehendak untuk menciptakan sesuatu yang baru, oleh karenanya ia selalu gelisah, sementara Min adalah pribadi yang mengalir saja.

Tiga pertunjukan yang digelar di Gelanggang Teater Eska ini lebih menyerupai serangkaian kuliah filsafat eksistensialisme. Sekali waktu penonton perlu mengernyitkan dahi demi mencerna dialog-dialog yang penuh metafora. Mereka juga harus menerima percakapan di luar keseharian dan tingkah laku yang tak wajar, seperti puisi yang membutuhkan sentuhan tafsir. Semuanya mengisyaratkan pada subjek-subjek yang mencari keber-ada-an dirinya melalui kata-kata dan simbol-simbol material di panggung.

Tetapi, kali ini Tiga Bayangan tidak dihantar oleh gemerlap dan ledakan kembang api di langit Yogyakarta yang syahdu, melainkan gerimis yang turun ragu-ragu, dan dinginnya membuat kita terharu.

Catatan: semua foto dalam tulisan ini adalah karya Paox Iben

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.