Menonton Buku: Peristiwa Pembekuan 20 Tahun Teater Garasi


Menonton Buku: Peristiwa Pembekuan 20 Tahun Teater Garasi

Oleh: Shohifur Ridho Ilahi



Buku adalah peristiwa pembekuan ingatan dan hal-hal di sekitar masa lalu. Buku melampaui kerja-kerja dokumentasi. Ia hadir untuk menjadi peristiwa yang lain bagi dirinya dan pembaca, suatu peristiwa pemaknaan atas sejarah dengan referensi konteks ruang-waktu yang tengah berlangsung di masa kini. 

Melalui buku Bertukar Tangkap dengan Lepas; Sesilangan dan Lintasan 20 Tahun Teater Garasi dalam Foto dan Bertukar Tangkap dengan Lepas; Sesilangan dan Lintasan 20 Tahun Teater Garasi dalam Esai, peristiwa pembekuan berlangsung. Halaman demi halaman buku membangkitkan situasi yang dulu, memproyeksikan ‘masa lalu’ yang ‘di situ’ ke dalam aku-pembaca yang ‘kini’ dan ‘di sini’. Dua buku ini berdiri sopan di samping gelaran Karnaval 20 tahun Teater Garasi pada Desember 2013 lalu, yang juga terdapat peristiwa pembekuan: pameran kostum, properti, poster, naskah dan benda-benda lainnya yang dianggap representatif. Rekaman pentas dalam format video, pementaskan ulang (reenactment) dan penciptaan ulang (recreation) yang dilakukan oleh beberapa aktor muda Yogyakarta atas sebagian pertunjukan Teater Garasi selama dua dasawarsa ini juga mengambil peran dalam upaya penghadiran.


Katalog
Pada buku pertama, kita bersihadap dengan kumpulan foto 20 tahun perjalanan Teater Garasi. Foto-foto yang dikurasi Budi N.D Dharmawan dari 43 ribu foto itu semacam upaya pengisahan dirinya ke dalam sebuah periode masyarakat di mana foto-foto kurang dipandang sebagai sebuah kesadaran untuk merawat ingatan, namun tak lebih dari presentasi ketubuhan ke hadapan publik melalui benda-benda teknologi. Dalam konteks yang demikian, buku ini sudah menunjukkan sisi performatifitas dan mekanisme teatrikalnya.

Foto-foto dalam buku ini dibagi dalam empat bagian, segendang-sepenarian dengan empat periode yang dirumuskan oleh Teater Garasi sendiri: periode 1: 1993-1998; Pertunjukan Mahasiswa di Akhir Sebuah Era: Awal yang Menentukan Watak, periode 2: 1999-2001: Transisi; Merumuskan Ulang Pertanyaan-pertanyaan: Apropriasi dan Adaptasi, periode 3: 2002-2007; Menjelajah Dunia dari Rumah Kaca: Laboratorium Penciptaan Teater, periode 4: 2008-2013; Keluar ke Jalan, Memasuki Kenyataan di Ruang-ruang Antara: Menuju Garasi Performance Institute.  
Saya cenderung melihat foto sebagai katalog sejarah dan paket wisata ke masa lalu. Mengunjungi pribadi-pribadi yang tampak asing, melihat peristiwa sedalam-sedetailnya, menikmati keintiman sebaik-sejujurnya. Kecenderungan ini membawa saya pada asumsi bahwa ketimbang foto-foto dua periode terakhir yang mungkin dipotret oleh seorang fotografer profesional dengan kamera mutakhir, foto-foto amatir pada dua periode awal tersebut justru jauh lebih berkisah, sebab pada dirinya sudah menunjukkan kondisinya: foto-foto itu dibuat dengan teknik alakadarnya, dengan kondisi gambar yang amatiran, tapi justru dengan itulah sebuah zaman direpresentasikan: menunjukkan secara telanjang kisah dan sudut pandangnya.

Menikmati foto menjadi pengalaman visual tersendiri  yang berbeda dengan pengalaman (audio-)visual dalam menonton pertunjukan di panggung. Hubungan sapasial dan temporal menemukan konteksnya ketika terjadi pergeseran dari ‘peristiwa menonton’ gambar yang bergerak (panggung) ke ‘peristiwa melihat’ gambar yang beku (foto). Namun karena foto adalah jenis peristiwa yang kedua, maka tulisan Farah Wardani dalam buku yang kedua tentang pengalamannya menonton sejumlah pertunjukan Teater Garasi melalui arsip video menjadi relevan: sejauh mana sebuah arsip (foto) bisa menghadirkan kembali momen tersebut, atau sejauh mana momen itu tereduksi dalam arsip?


Trilogi
Teater sebagai alternatif alat baca kenyataan sosial dan keterlibatan secara dialektis dengan publik adalah paradigma yang dikumandangkan Teater Garasi. Paradigma ini mendapat porsi yang baik pada penciptaan pasca 98, di mana basis dan titik tolak penciptaannya bukan pada naskah yang sudah ada, tetapi riset dan investigasi langsung atas isu sosial yang terjadi di masyarakat. Karya-karya yang pola kerjanya demikian adalah: serial Waktu Batu 1-3 (2001-2004), Je.ja.l.an (2008) dan Tubuh Ketiga (2010).

Melalui pertunjukan itu, beragam persoalan masyarakat dikuliti, ditunjukkan darah-daging-penyakitnya. Beragam tema dijelajahi, merentang dari yang tradisional sampai kontemporer, dari mitos-mitos Jawa sampai identitas masyarakat poskolonial, dari wacana urban sampai politik internasional, dari isu kekerasan sampai gender, dan seterus-sebagainya. 

Paradigma dan pola kerja yang dipraktikkan Teater Garasi disempurnakan dengan pilihan artistiknya yang segar. Tema-tema tersebut dipertemukan, wacana dan gagasan diduduk-beriringkan, simbol-simbol dimuncul-tampakkan, konteks ruang waktu diruntuhkan, masa lalu dan kini dileburkan. Pada pertunjukan Je.ja.l.an dan Tubuh Ketiga posisi penonton dan pemain sama-sama aktif, jarak ditiadakan, pembauran dilangsungkan, pelbagai disiplin seni dicairkan. Sifat pertunjukan semacam ini mengisyaratkan keterbukaan. Partisipasi penonton adalah kata lain dari gagasan emansipasi dan kebebasan.

Menonton karya Teater Garasi yang disebut di atas seperti membaca esai dalam wujud visual, menyuntuki data dalam rupa benda-benda, mengkhidmati wacana dalam tubuh sastra. Citraan berlapis-lapis, intelektualisme meraung-raung, kekacauan panggung mendapat momennya dalam masyarakat hari ini di mana idiologi kontemporer melapangkan benturan dan kebergegasan. 

Esai-esai dalam buku yang disunting khusus oleh Nirwan Ahmad Arsuka ini bisa dibayangkan sebagai trilogi. Satuan pertama, tulisan dari pelaku atau orang dalam yang diwakili oleh Yudi Ahmad Tajudin dan Gunawan Maryanto. Dalam masing-masing esainya, mereka sama-sama mencatat rekam proses pertunjukan yang mereka sutradarai. Yudi bicara tentang proses Tubuh Ketiga dan Gunawan mencatat perjalanan Repertoar Hujan. Sudut pandang ini memang sangat dibutuhkan, ketika literatur Teater Indonesia kekurangan catatan proses dari seorang pelaku. Tetapi, seturut-sepandang dengan beberapa pengamat yang disampaikan pada peluncuran buku ini beberapa waktu yang lalu (31-01-2015) di Yogyakarta, saya juga menyayangkan sebab buku ini tidak menyertai catatan proses dari seorang aktor. Catatan mereka penting dihadirkan, sebab paling tidak, publik mengetahui bagaimana seorang aktor bergelut dengan dirinya dan dengan tokoh yang diperankannya. Dalam tulisan itu, baik Yudi mau pun Gunawan sama-sama bertindak sebagai sutradara. Di luar yang dianggap kurang itu, catatan mereka cukup representatif untuk mengetahui dinamika proses: bagaimana Teater Garasi memproduksi dan memaknai karya-karyanya.

Pengamatan dari seorang pengamat-penonton merupakan satuan kedua yang diundang khusus untuk kepentingan pembekuan dalam esai ini. Tulisan mereka menjadi penting karena situasi ‘keberjarakan’. Mereka melihat hal-hal yang barangkali terlewat, sekaligus kritik terhadap hal-hal yang belum dan telah dicapai, serta yang semestinya dilakukan Teater Garasi, semisal kritik dari Nirwan Dewanto (Dua Belas Fragmen. Hal. 140). Baginya, pertunjukan-pertunjukan Teater Garasi seperti parade kepintaran atau karnaval pustaka. Teater Garasi ternyata juga terjangkit teater heroisme jenis kelima yang berwujud intelektualisme. Purnanya, kepintaran harus selesai ketika sudah sampai panggung. Kritik yang menyenangkan ini sekaligus melemahkan pernyataan gegabah Alia Swastika (Teater Garasi Dua Dasawarsa: Pandangan Politik Kaum Muda. Hal. 36), bahwa Teater Garasi—mengingat sumbangan kelompok ini dalam pertumbuhan seni pertunjukan di Indonesia—telah menjadi semacam ‘kanon’, sebuah pengakuan yang entah disambut atau diabaikan oleh Teater Garasi sendiri. Sementara esai yang masing-masing ditulis oleh Barbara Hatley, Wicaksono Adi, Afrizal Malna, Farah Wardani, Jennifer Lindsay, Yoshi Fajar Kresno Murti, Marco Kusumawijaya dan Goenawan Mohamad adalah pengkayaan wacana dan sudut pandang yang dimunculkan dari seorang pengamat-penonton. Tulisan-tulisan mereka adalah diskusi yang membahagiakan.

Sedangkan tulisan Intan Paramaditha (Goyang Penasaran: Catatan dan Perjalanan) dan Landung Simatupang (Teater Garasi, Sekelumit Catatan dari Keterlibatan Saya) termasuk dalam satuan ketiga, yaitu keterlibatan. Keterlibatan mereka dalam salah satu nomor pertunjukan Teater Garasi perlu diperhatikan dalam sudut pandang tersendiri. Catatan mereka menjadi unik, ketika melakukan kerja bersama dengan kelompok yang mengikat dirinya dalam satu unit kolektif seniman lintas disiplin yang diposisikan sebagai suatu perjumpaan antara yang dari dalam dan dari luar.

Cermin
20 tahun adalah cermin untuk melihat dirinya, menengok kembali bentangan panjang: jelajah ide dan wacana, eksplorasi artistik dan sikap berkesenian. Cermin bukan sekadar penghadiran nostalgia atas capaian, tetapi juga upaya memeriksa kembali dirinya dan mengidentifikasi sesuatu yang belum dan seharusnya dikerjakan. Cermin sebagai sikap untuk terus belajar.

Dua buku ini bak pengantin di depan cermin, dan perlu diduduk-sandingkan dalam pengkayaan daftar pustaka seni pertunjukan kita.

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.