Membangun Jembatan
untuk Mengingat Kau Penuh Seluruh
oleh:
Shohifur Ridho Ilahi
Sebermula
adalah maaf. Secara khusus saya tidak hendak membicarakan “sastra dalam al Quran”
sebagaimana tema yang diusulkan panitia. Sebab jika dipaksakan, itu akan
membuat saya menderita dan merasa bersalah. Sastra bagi praktik kepenulisan
saya adalah medan bahasa yang terus diasah dan dicari kemungkinan artistiknya.
Dan pengetahuan tentangnya saya peroleh bukan di bangku sekolah, melainkan di
jalan-jalan, di warung kopi, dan di tempat-tempat (juga di orang-orang) yang
kerap meninggalkan impresi mendalam di batin saya, juga di buku-buku yang
berserakan di kamar dan perpustakaan. Sementara al-Quran, astaga, betapa
membutuhkan kekhusyukan tersendiri dalam menyusur sejumlah ayat-ayat Allah
sementara saya tak lain adalah hamba yang kerap tak patuh, kerap lupa mengingat
Kau penuh seluruh. Biar ketololan ini kubawa lari hingga hilang pedih perih.
Alih-alih
memapar sastra dan al-Quran dengan ayat-ayatnya yang penuh metafora, atau
nilai-nila sastra dalam al-Quran, maupun al-Quran sebagai kitab sastra yang
mengagumkan, yang kesemuanya membutuhkan dasar keilmuan tentang al-Quran yang tidak
main-main dan kemampuan bahasa Arab yang tidak boleh ditawar. Maka dalam
musyawarah sastra di bulan penuh ampunan ini, saya pikir lebih baik mengambil
jalan menyamping, saya tergoda untuk memapar bagaimana persinggungan agama dan
sastra turut memberi warna pada kehidupan Sastra (di) Indonesia. Ketika menulis catatan mungil ini,
kepala saya tiba-tiba diserang sebuah kalimat yang datang dari tahun 1982, delapan
tahun sebelum saya lahir.
Kalimat
yang tiba-tiba hadir di kepala itu datangnya dari buku Sastra dan Religiositas (1982), Y.B. Mangunwijaya membuka
tulisannya dengan sederhana namun tegas, “pada awal mula, segala sastra adalah
religius.” Kalimat ini, bagi saya, telah menjembatani sebuah perjumpaan yang
sesungguhnya cukup rumit dipertemukan dan cenderung problematik: sastra (atau
seni pada umumnya) dan agama.
Sastra
merupakan aktifitas kreatif yang menuntut kebebasan sebagai prasyaratnya,
sementara agama cenderung dianggap sebagai kekuatan doktrinal yang abstrak,
statis, formalistik, yang berpotensi menghambat tumbuh-kembangnya kreativitas
dalam kehidupan sastra. Adonis
pernah memapar kegelisahannya ihwal persinggungan antara sastra dan agama
(Islam). Bagi penyair masyhur kelahiran Suriah itu, sastra dan agama adalah dua
sisi yang bersihadap. Sastra adalah pertanyaan dan agama adalah jawaban.
Pernyataan ini seolah mendapat legitimasi dari al-Quran surat Asy Syu’arâ yang memaklumatkan
ketidaksukaan Tuhan kepada penyair, bahkan menyuruh manusia agar menghindari
penyair yang kata-katanya dituntun oleh setan.
Pada almanak 13 Februari 1993, dalam
wawancara di majalah Tempo, HB Jassin berkumandang, “Tuhan memang tidak suka
kepada penyair, kecuali orang yang bertakwa.” Ungkapan Jassin setidaknya
membuka pintu perjumpaan itu bahwa sastra dan agama tidak harus
bersihadap-lawankan, tetapi saling bertukar tangkap dengan lepas, mengisi
ruang-ruang kosong dan saling melengkapi.
Dalam
rangka saling melengkapi itulah diperlukan membangun jembatan yang memungkinkan
terjalinnya hubungan mesra dan saling mendukung. Maka menjadi penting untuk
menyimak kembali rumusan yang dilakukan oleh Romo Mangun dalam buku yang yang
terbit tahun 1982 itu. Bagi sastrawan yang juga pemikir arsitektur itu
memberikan batasan yang jelas bagi Agama, yaitu menunjuk pada kelembagaan kebaktian
kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan dan hukum-hukumnya,
serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi
segi-segi kemasyarakatan. Adapun religiusitas lebih melihat aspek yang di
dalam “lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang
sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa,
citarasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman
pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi, atau
lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi.
Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim. Sekalipun religiustas tidak menunjuk langsung agama tertentu, tetapi
bukankah ia adalah jalan ruhani yang memungkinkan hambanya berjumpa dengan
Tuhan melalui syair dan hikayat, juga prosa dan puisi? Maka,
istilah religiusitas adalah jembatan penghubung yang disumbangkan oleh Romo
Mangun terkait persinggungan antara sastra dan agama.
Perjumpaan-perjumpaan itu, kita bisa
mencatat dari karya-karya Hamzah Fansuri, HAMKA, Amir Hamzah, Chairil ANwar, AA. Navis, Kuntowijoyo, SUtardji Coulzom Bachri, Danarto, dan Abdul Hadi WM. Di Yogyakarta sendiri, pada tahun-tahun 1980-an hingga
1990-an karya-karya yang mengambil spirit religiusitas dengan tema-tema sufisme
juga semarak, terutama penyair-penyair yang lahir dan tumbuh di lingkaran
kampus IAIN Sunan Kalijaga. Untuk yang disebut terakhir, sidang musyawarah bisa
melacaknya di buku Oposisi Sastra Sufi (2004)
anggitan Aprinus Salam.
Sebagai orang yang besikhusyuk
dengan puisi, saya pikir puisi “Doa” Chairil Anwar adalah salah satu contoh
perjumpaan yang intim antara agama dan sastra. Dua entitas itu lebur dan
menyatu. Itu adalah salah satu puncak religiusitas seorang Chairil yang berdoa
tanpa ratapan dan menghayati cinta kepada Tuhan tanpa umpama, tanpa sebab atau
karena. Dan biarkan puisi yang mengharu biru ini menutup catatan kecil pada
musyawarah sastra kali ini. Semoga Allah memaafkan saya.
DOA
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Krapyak, 15 Juni 2016
Tulisan ini disampaikan pada Forum Apresiasi Sastra di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, tanggal 15 Juni 2016.