Berkisar
di Antara Hutan dan Anak-Anak
Oleh:
Shohifur Ridho Ilahi
foto: Budi ND Dharmawan
\
Diriwayatkan oleh panggung Kekwa! Alami Mimpimu (seterusnya disebut Kekwa), bahwa pada suatu hari, ketika kehidupan
sedang berlangsung di masa depan, di sebuah daerah bernama Amungwa dan Aiduma,
orang-orang tidak mengenal lagi hutan.
Amungwa
adalah daerah kering namun penghasil minyak, sementara Aiduma memiliki limpahan
air. Dua daerah ini hidup rukun dan mereka saling melengkapi dengan melakukan
barter untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, siapa nyana, persediaan kebutuhan pokok
ada batasnya, limpahan air di Aiduma semakin tipis. Lalu konflik mempercepat
kelam. Dan tibalah masa di mana kesejahteraan cuma angan-angan dan keserakahan
adalah kenyataan.
Setelah
melalui serangkaian penyelidikan, disimpulkan oleh warga bahwa air yang habis
disebabkan oleh rusaknya ekosistem alam, dan semua itu terjadi karena
penebangan liar yang dilakukan oleh perusahaan atau para pemilik modal yang justru dilindungi
oleh aparatur Negara. Bermula dari situlah tokoh cilik bernama Kekwa, putra
kepala suku Amungwa menulusuri bagaimana caranya supaya alam kembali lestari,
pohon-pohon kembali tegak berdiri, dan air mengalir lagi.
Dan
gayung pun bersambut, melaui gadis bernama Danum tirai persoalan perlahan
terbuka. Dalam keadaan sakit, anak kepala suku Aiduma itu bermimpi bahwa ada
pohon dongeng bernama Te Ao yang bisa menyelamatkan manusia. Tetapi, menurut
sebuah riwayat, Te Ao hanya ada di masa lalu. Persoalan kembali pelik namun
segara terbuka ketika Kekwa teringat Apangsingik, seorang ilmuan eksentrik
pemilik mesin penjelajah waktu. Dan melalui teknologi itulah kesempatan untuk
mendapatkan Te Ao kembali terbuka. Setelah melalui perdebatan panjang yang
membosankan, akhirnya mereka yang diutus oleh kepala suku berangkat dan
berhasil tiba di masa lalu.
Kisah
tersebut dipapar dan pertunjukan itu sedang menyasar anak-anak—meskipun dimaklumatkan sebagai pertunjukan
untuk semua umur. Strategi penuturan kisah dilakukan dengan cara yang
ceria sebagaimana lazimya dunia anak-anak yang penuh tawa. Kita bisa
menyaksikan sisi luar panggung dibuat seperti bingkai dengan hiasan putih-putih
lancip. Sementara di panggung, kita bisa menikmati pemain dengan kostum yang
lucu dan benda-benda berupa seting dan properti yang menggemaskan. Hampir di
sekujur pertunjukan kita juga disuguhkan nyanyian dan koreografi tarian. Sebuah
teater yang meriah, nyaris musikal tapi tidak juga kolosal.
Foto: Wicak Baskoro
Di Sekitar Hutan
Pentas
teater yang digelar enam kali selama tiga hari (27-29) di penghujung Desember 2015 ini membawa isu penting di
tengah kondisi Negara yang serba genting: lingkungan.
Isu
lingkungan merupakan wacana yang serius dan Kekwa
tidak hanya merespon atas praktik penebangan liar serta pembakaran hutan
yang mendera Indonesia belakangan ini (juga tahun-tahun yang telah berlalu) dan
perkaranya merentang hingga hari ini, tapi juga mengajak untuk memeriksa
kembali hubungan kita dengan alam, dengan memapar kasus-kasus yang menciderai keseimbangan
antara kita dengan alam.
Untuk
itulah, demi menjaga keseimbangan antara gagasan dan praktik artistik dengan
dunia anak-anak di atas panggung, dijalinlah semesta khayal dengan dunia nyata
secara beriringan. Perjalanan ke masa lalu adalah ruang khayal yang luas, dan bangunan
cerita atas kasus yang telah dipapar sebelumnya adalah kondisi nyata yang
menjadi basis penciptaan.
Tetapi,lepas
dari jalinanan itu, kita bisa menyusur pertunjukan ini lebih khusyuk lagi, terutama
bagaimana narasi tentang hutan dibangun di atas panggung. Dalam Kekwa,hutan adalah representasi dari
masa lalu, dan ternyata, yang masa lalu tersebut juga dibutuhkan oleh masa
kini. Tersebab penaklukan terhadap alam terus terjadi, akhirnya hutan cuma
imajinasi bagi orang-orang Amungwa dan Aiduma. Hutan ialah sesuatu yang tak
terjangkau dan mereka bukan hanya berjarak secara spasial-temporal, tapi juga emosional.
Dalam konteks ini diperlukan sebuah jembatan.
Dan
jembatan itu hadir melalui mimpi Danum tentang Te Ao dan lanskap
serba-kekurangan atas air. Di sini masa lalu dihidupkan melalui narasi
identitas dan hutan sebagai penandanya. Karena bagi manusia Indonesia, hutan adalah bagian dari kesatuan primordialnya.
Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari identitasnya. Hutan adalah bagian dari
kepenuhan dan keutuhannya. Apabila hutan hilang, retaklah kepenuhan itu.
Tetapi ia tidak sepenuhnya hilang, tetap masih ada
yang tertinggal dan oleh karena itu mereka berani melakukan apa saja termasuk pergi
ke masa lalu untuk mendapatkan Te Ao. Pohon dongeng itulah yang menjelaskan bahwa
ada yang lamat-lamat hadir, seperti ada sesuatu yang menggembirakan di balik kabut
asap yang membatasi pandangan kita, bahwa nun jauh di sana, di masa lalu, ada hutan
(Te Ao) yang pernah menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan mereka ingin
mendapatkannya kembali.
Tetapi,
apakah pergerakan ke masa lalu itu akan mencapai keberhasilan? Menurut saya
tidak. Yang hilang tetaplah hilang. Tubuh yang luka tidak akan mengembalikan
kulit seperti semula. Meski tidak mengembalikan apa-apa, setidak upaya
mendapatkan Te Ao terus menumbuhkan harapan. Tetapi bukan jenis harapan yang
muncul dari sabda suci “membakar hutan tidak merusak lingkungan karena masih
bisa ditanam lagi” yang diriwayatkan oleh sang hakim Parlas Nababan yang mulia
itu.
Pertunjukan yang digelar di GOR Klebengan, Sleman,
itu sesungguhnya telah menjelas-terangkan kepada kita, bahwa rusaknya ekosistem
alam memang sarat kepentingan, di mana pemerintah yang semestinya melindungi
alam, justru memaknainya sebagai aset ekonomi yang berlimpah. Celakalah kita
semua, atas nama pembangunan sumber daya alam kita terus dieksploitasi secara
besar-besaran, praktik semacam ini merupakan bentuk dari pembangunan yang
kehilangan semangat patriotiknya.
Dan saya kira,
pertunjukan Kekwa menjadi sangat
penting dalam konteks ini. Arah kampanye
isu lingkungan kepada anak-anak ini pun tepat sekali sebab siapa lagi yang akan
memperjuangkan dan merawat alam kita jika bukan anak-anak yang kelak tumbuh
dewasa dan menjadi juru kunci bagi bangsa. Kampanye ini pun purna ketika panitia
membagi-bagikan bibit pohon kepada para penonton begitu mereka keluar dari
gedung.
Foto: Herlambang Yudho
Di Sekitar Kekwa
Lepas dari wacana lingkungan tadi, Kekwa perlu
diapresiasi lebih jauh sebagai pertunjukan yang berani mengisi kekosongan teater
anak karena wilayah ini jarang disentuh oleh para begawan teater di Indonesia.
Tak banyak orang yang mau mengurusi teater anak di negeri ini sebagaimana tak
banyak juga orang yang bersedia merawat hutan.
Peristiwa ibu-ibu muda yang mengajak serta anaknya
dan para guru yang membawa rombongan muridnya menonton juga memberi pengalaman
menarik bagi saya sebagai penonton. Saya seperti berada di ruang keluarga yang sangat
intim. Demi pengalaman tersebut, pikiran saya turut dibawa ke sebuah situasi di
mana sebagian besar keluarga di Indonesia tidak punya pilihan tontonan selain
televisi. Sementara kita tahu, betapa mengerikan kualitas program televisi di
Indonesia.
Lepas dari itu pula, sebagai penonton dewasa, saya
ingin mendapatkan lebih dari sekadar isu yang dipresentasikan, yaitu
estetikanya, kualitas seninya. Namun sejak sepuluh menit pertama tampaknya saya
harus mengubur dalam-dalam keinginan itu.
Dalam Kekwa, gagasan yang dibawa terlampau layak
bagi garapan yang banyak meninggalkan retak. Gagasan tanpa garapan yang baik hasilnya
sia-sia belaka, begitu pula sebaliknya. Sebab berani menjual tiket yang setara
dengan harga sejumlah buku serta alat tulis untuk satu semester bagi sekolah
anak-anak artinya kesediaan untuk tidak hanya membawakan khotbah-khotbah yang
baik, tapi juga dengan garapan yang apik. Karena Kekwa melupakan ajaran bahwa penggarapan jaraknya
satu detik dengan gagasan, maka pertunjukan ini pun layu nyaris di semua titik;
akting yang pas-pasan, komposisi yang membosankan, koreografi yang berantakan, humor
yang garing, dan nyanyian yang tak mampu mengangkat marwah panggung.
Namun beruntunglah saya masih bisa menikmati
kualitas akting Jamaludin Latief yang memerankan Rangbaga sekalipun dia tokoh
minor dalam pertunjukan ini, dan sesekali juga terhibur dengan perilaku unik Alex
Suhendra yang beralih rupa jadi Apangsingik.
Tapi
tak mengapa juga, Kekwa adalah karya
debut Budi ND Dharmawan sebagai sutradara. Dan barangkali para kaisar panggung
seperti Kusworo Bayu Aji, Theodorus Christanto, Andre Nur Latief, Leilani
Hermiasih, dan Jamaluddin Latief yang juga terlibat dalam pertunjukan ini tidak
mau turut rembuk di wilayah penggarapan. Dan mungkin mereka juga tidak
keberatan jika akhirnya Kekwa lebih
mirip laporan yang dikerjakan buru-buru demi menyongsong tahun yang kembali baru.
Yogyakarta, 10 Januari 2016