Elegi Ibu
Shohifur Ridho Ilahi
Bukan sebuah rahasia
lagi kalau ibuku masih tetap kelihatan cantik meski umurnya sudah tidak
muda lagi. Itulah mengapa aku selalu nyaman dipeluknya ketika lelap, dan ibu
juga akan membangunkan aku dengan tiga sentuhan
bibirnya di pipiku ketika adzan subuh sudah bersahutan dari corong mushalla dan
masjid kampungku.
Ibu adalah pribadi yang bertanggung jawab sebagai seorang
ayah sekaligus ibu bagi diriku, anak satu-satunya. Semenjak meninggalnya Ayah di negeri jiran sebagai
TKI—beliau jatuh dari gedung lantai tiga puluh saat membersihkan kaca-kaca
gedung. Ya, ayah bekerja sebagai cleaning service—ibu lebih banyak diam,
menyendiri, dan menangis. Betapa menyakitkan kehilangan seorang yang kami
sayangi dan yang menanggung hidup kami, sungguh kami tidak mengira hal itu akan
terjadi pada Ayah. Selama satu bulan setelah kematian ayahku ibu tidak pernah
keluar rumah meski hanya untuk membeli beras atau lauk untuk santapan kami tiap
hari, maka mau tidak mau aku harus berperan menggantikan ibu belanja, memasak,
mencuci piring dan segudang pekerjaan lainnya.
Selama satu bulan setelah kematian ayah ibu lebih banyak
menghabiskan waktunya di dalam kamar, ibu tak henti menangis, seolah tidak
menerima atas kepergian ayah. Pernah tengah malam aku dengar ibu menyebut nama
ayah berkali-kali, semalam suntuk aku tidak bisa tidur mendengar tangis ibu.
“Kang Ali, mengapa Kakang secepat ini meninggalkan aku. Sungguh aku
mencintaimu. Kepada siapa lagi kepalaku akan direbahkan Kang?” Suara ibu parau,
separau angin malam yang menggugurkan daun-daun pohon kelor di halaman belakang
rumah kami malam itu.
“ibu harus tenang dan sabar. Setiap sesuatu yang
diciptakan pasti akan mati, ibu. Termasuk ayah,” jelasku pada ibu suatu pagi
yang mendung.
“tidak semudah itu Surti, kamu bisa saja berkata demikian
karena kamu tidak merasa kehilangan seperti halnya ibu,” mata ibu menatap
langit lewat kaca jendela. Ah, langit itu, mendung itu, begitu mewakili
perasaan kami.
“Surti juga merasa kehilangan bu, tapi tidak sampai larut
seperti ibu, sebab Surti paham bahwa kita tidak bisa menghindar dari kematian,
hal itu pasti terjadi pada diri kita, dan sekarang takdir menghendaki kematian
ayah,” aku mencoba menjelaskan lagi.
Ibu diam, kemudian meninggalkanku. Di dalam kamarnya ibu
menangis sejadi-jadinya.
***
Sri Rahayu, itulah nama ibuku. Parasnya cantik bukan
buatan; kulit kuning langsat, badannya tinggi semampai, rambut tergerai panjang
dan hitam, hidungnya bangir, bibir tipis merah delima, mata tajam tapi teduh,
dan sepasang tonjolan buah khuldi tergantung manis di dadanya. Rahayu,
begitulah pemuda-pemuda desa memanggil ibuku, tetapi mereka lebih senang
memanggil Ayu. Seolah-olah waktu tak mampu menggerogoti tubuhnya, tak ada
garis-garis ketuaan sedikit pun di wajahnya meski umurnya sudah memasuki tahun
ke tiga puluh tujuh.
ketika ibu masih gadis dulu, tak sedikit pemuda kampungku
yang meminangnya, tapi mereka harus pulang dengan perasaan kecewa ketika
ditolak oleh ibu. Bukan karena pemuda-pemuda itu tidak tampan, melainkan ibu
masih ingin melanjutkan sekolahnya hingga sarjana, makanya ibu menolak
pemuda-pemuda tadi karena takut akan mengganggu konsentrasi belajarnya. Ibu
ingin hidup bahagia kelak, dan tidak bekerja susah seperti nenek dan kakek di
sawah. Akan tetapi, impian itu harus pupus ketika kakek dan nenek meninggal
ditabrak mobil pikap yang memuat ikan asin ketika kakek membantu nenek memikul
hasil kebun untuk dijual di pasar. Tak sampai ke rumah sakit nyawa kakek sudah
tidak bisa diselamatkan lagi. Sementara nenek meninggal satu jam setelah
kejadian itu. Ketika nenek yakin nyawanya sudah tidak akan lama lagi, beliau
berpesan kepada ibu yang saat itu berderai-derai tangisnya, “Yu, tidak ada lagi
yang bisa diharapkan dari ibu, sebentar lagi ibu tiada, kamu sudah tidak punya
siapa-siapa lagi. Ibu berharap terimalah lamaran Ali, meski pemuda itu bukan
dari keluarga yang tergolong kaya, tapi ibu yakin dia pemuda yang jujur, setia,
dan bertanggung jawab. Sudah tidak ada pilihan lagi Yu, hidupmu sudah sebatang kara.
Pesan ibu cuma satu anakku, jangan pernah menyerah pada keadaan,” setelah itu
nenek menghebuskan nafas yang terakhir kalinya. Sedang ibu menangis
sejadi-jadinya.
Sebulan setelah kematian nenek dan kakek ibu
melangsungkan pernikahan dengan Ali, pemuda yang dulu pernah melamar ibu tapi
ditolaknya. Ibu sudah tidak bisa melanjutkan sekolah lagi karena sudah tidak
ada yang membiayainya, padahal lima bulan lagi ibu akan lulus dari madrasah
aliyah di kampung kami. Impian ibu benar-benar hanya sebuah impian, tiada
berubah jadi kenyataan.
Setahun kemudian aku dilahirkan dengan nama Surtianawati
Sundari. Benar kata pepatah bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, artinya
wajahku sangat mirip dengan wajah ibuku yang ayu. Aku cantik jelita bak nawang
wulan yang baru turun dari langit dengan meniti pelangi, begitu puji ibu suatu
malam yang bergerimis. Ah, ini benar-benar warisan dari ibu, aku harus menjaga
kesuciannya.
“Surti putriku, harapan ibu cuma kamu, kau yang harus
melanjutkan mimpi-mimpi ibu. Bercita-citalah, belajarlah lebih giat, dan
sekolahlah yang setinggi-tingginya hingga kau raih gelar sarjana, itu akan
membuat ibu bahagia anakku,” ibu membelai rambutku, sesekali mengecup keningku.
Ibu melanjutkan kalimatnya, “tapi yang harus kau ingat anakku, jangan menyerah
pada keadaan, itu pesan nenekmu dulu,” mata ibu berkaca-kaca, sunguh bening
mata ibu bak tetes embun di pagi buta.
Sebenarnya aku tahu, sekolah membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, apalagi jaman seperti sekarang ini, semua harga barang naik, biaya
sekolah melangit. Dan aku tahu pula bahwa ayahku tidak mempunyai keahlian
apa-apa selain berkebun di sawah peningggalan kakek dan nenek, itu pun hasilnya tidak seberapa dan hanya
cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari, barangkali karena beliau bukan lulusan
sekolahan, hanya bangku sekolah dasar saja yang beliau rasakan. “Tidak ada yang
tidak mungkin putriku,” ibu selalu meyakinkanku dan itu membuatku semakin
mantap untuk mentunaikan mimpi-mimpi ibu yang tidak tercapai.
Kini aku sudah kelas tiga madrasah aliyah, tiga bulan lagi
aku lulus dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Akan tetapi, dari mana ayah
dan ibu akan mendapat biaya kuliahku, bahkan hutang ibu sudah menumpuk, belum
lagi di toko kelontong kecil milik Mak Birah, Mak Nipah, dan Mak Surah yang ibu
hutangi hampir tiap hari juga belum dilunasi. Rasa percaya diriku untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi sedikit demi sedikit runtuh. Aku ingin bekerja
saja membantu ibu, kebetulan aku punya teman semasa di madrasah tsanawiyah dulu
yang kini sukses bekerja di tanah rantau, aku ingin menyusulnya, pikirku. Tapi
dengan tegas dan agak marah ibu melarangku, “ini tanggung jawab ibu dan ayah
Surti, tugasmu hanya belajar, belajar, dan belajar, jangan buat ibu kecewa,
kamu harus sukses biar tidak hidup melarat seperti ayah dan ibu. Mengerti?” aku
tertunduk, sunggguh aku malu pada ibu. Demi kebahagiaanku kelak beliau rela
mati-matian bekerja keras, “semuanya pasti mungkin putriku, asal kita yakin
pada diri sendiri.” oh, kembali ibu meyakinkanku, semangatku terpacu lagi.
Karena hasil kebun sudah tidak bisa diharapkan lagi,
tersebab keadaan alam dan musim yang tidak bisa diterka, yang biasanya musim
hujan tapi selalu panas. Pun sebaliknya, biasanya bagian musim kemarau
bertandang tapi hujan tak henti mengguyur. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali
ayah—yang pendiam—rela kami lepas ke tanah rantau, ke tanah jiran—yang katanya
banyak orang sukses setelah bekerja di situ—untuk menutupi hutang-hutang kami
dan tentu demi keberlanjutan pendidikanku.
***
Semula hidup kami nyaman kembali, hutang-hutang di
toko-toko kelontong di kampung kami sudah dilunasi, tinggal hutang kepada Num
Beji dan Ebuh Sidah yang belum dilunasi, tapi separuh sudah dibayar.
Barangkali hanya butuh dua bulan gajian ayah hutang-hutang kami pasti akan
lunas. Dan sekolahku pun aman-aman saja, kini aku telah lulus, tepatnya dua
minggu yang lalu dengan nilai memuaskan. Kini aku mulai bersiap-siap
mendaftarkan diri ke Universitas yang berdiri di kota kabupaten. Tapi,
sepertinya nasib buruk tak pernah lelah bertandang ke rumah kami, bertamu dan
menyampaikan surat berdarah ke ruang keluarga yang tak lama menemukan aura
kebahagiaannya. Dan kini kebahagiaan itu harus runtuh bersamaan dengan
runtuhnya hujan malam itu. Tepat tengah malam Num Mursyid, teman kerja
Ayah menelepon ibu. Wajah ibu tampak serius, cemas, dan setumpuk perasaan yang
tidak mengenakkan bergulung-gulung di mata ibu. Aku ikut bangun karena tidak
biasa ibu menerima telepon tengah malam seperti itu. Hingga sampai pada
teriakan ibu, baru aku tersadar bahwa lewat telepon itu kabar buruk memang
sedang bertamu ke rumah kami, “Ayahmu, Ayahmu Surti, dia sudah tiada...,” aku
terhenyak tak percaya. Maka malam itu tangis kami pecah, sepecah petir dan
hujan malam itu, mengalir mengikuti arus sungai dan desir angin.
Dua
bulan setelah kematian ayah, setelah ibu benar-benar merelakan kepergian ayah,
ibu membuka warung soto demi keberlangsungan hidup kami. Beruntung ibu punya
keahlian memasak, tak membutuhkan waktu lama warung soto ibu sudah kebanjiran pelanggan.
Rasanya beda dengan soto-soto di warung-warung dekat pasar, kata mereka,
pelanggan kami. Tapi, keinginanku untuk kuliah ditunda dulu hingga tahun depan,
“keadaan belum menghendaki anakku, bersabarlah dulu,” aku mengiyakan. Pernah
aku mengutarakan niatku pada ibu, kalau aku tidak perlu kuliah, aku ingin
membantu ibu jualan soto saja. Tapi lagi-lagi ibu menentangnya dan meyakinkanku
bahwa semua bisa terjadi bila kita benar-benar berusaha. Oh, ibu....
Barangkali duka memang takdir kami, dan barangkali pula
Tuhan telah menuliskan semuanya di langit nun jauh di sana, bahwa kematian demi
kematian yang jaraknya tak berhitung tahun di tandangkan kerumah kami. Belum
lama kami merasakan hidup nyaman setelah kepergian ayah, tiba-tiba giliran ibu
yang harus menutup mata untuk selama-lamanya. Ibu tidak pernah menceritakan
penyakit yang dideritanya padaku, memang semenjak ayah meninggal ibu sering
batuk-batuk. Sering tengah malam aku terbangun karena batuk ibu yang keras dan
berdahak. Dan tak jarang pula di suatu pagi aku menemukan percikan darah di
ruang belakang. Tapi ketika kutanyakan perihal penyakitnya, ibu selalu bilang
tidak apa-apa, hanya batuk-batuk biasa, dengan dua-tiga telanan pil sudah bisa
sembuh, kata ibu. Ibu memang tidak pernah pergi ke dokter untuk memeriksa
penyakitnya, beliau lebih memlilih menabung uang hasil jualan sotonya untuk
biaya kuliahku. Ibu meninggal tepat pukul tiga pagi saat beliau shalat
tahajjud—ibu memang tekun beribadah—baru diketahui ketika aku mau shalat subuh.
oh...
setelah kematian itu, aku tidak punya siapa-siapa lagi
kecuali pesan ibu yang selalu berdengung-dengung dalam telinga. Seperti halnya
ibu ketika ditinggal mati oleh kakek dan nenek, kali ini terjadi padaku, tak
sedikit pemuda kampungku yang mencoba meminangku. Oh Tuhan, Adakah nasibku
telah digariskan seperti garis takdir kehidupan ibu?(*)
karangbendo, 05 Mei 2011
(00:47)
Cerita ini pernah dimuat di koran Joglosemar pada 28/05/2011
link: http://edisicetak.joglosemar.co/berita/elegi-seorang-ibu-44924.html