Lidah Naga
Shohifur Ridho Ilahi
Pada
malam tanggal lima belas kalender jawa, saat bulan melingkar sempurna, kami:
aku, Kumala, dan Eko mendatangi rumah Mbah Satrawi di kampung Temor Songai yang
terletak di kaki Bukit Selatan. kata warga, Mbah Satrawi adalah orang sakti
mandraguna. Karena didorong rasa ingin tahu maka kami putuskan untuk menemuinya
meski rumahnya sangat jauh. Aku bersyukur karena bulan purnama datang pada saat
yang tepat, yaitu ketika kami mendatangi rumah Mbah Satrawi. Sungguh, jalan
menuju rumahnya sangat curam, kami harus melalui sebuah bukit setelah bertarung
melawan ketakutan di hutan pohon jati yang konon hutan itu dihuni oleh binatang
buas dan hantu-hantu.
Untuk
sampai kerumah lelaki tua itu kami harus menempuh perjalanan selama dua hari
tiga malam. Mbah Satrawi hanya mau ditemui pada malam hari sebelum jam 12 tepat
tanggal lima belas kalender jawa, dimana saat bulan melingkar ranum. Maka kami
mengatur waktu agar ketika sampai di rumahnya tepat pada malam hari.
………o0o………
Di atas tikar pandan yang sudah lapuk dan dan
penuh lubang itu, Mbah Satrawi duduk bersila dengan badan tegap, mulutnya komat
kamit, gerahamnya keras muncul tenggelam mengikuti irama mulutnya, entah mantra
apa yang sedang dibacanya. Sedangkan tangannya terkepal kuat sehingga urat-urat
lengannya bertonjolan. Sepertinya Mbah Satrawi sedang bertarung melawan makhluk
halus. Oh, tidak, lelaki tua dengan kumis melintang itu tidak sedang bertarung
dengan makhluk halus tapi dia sedang melakukan ritual baku yang wajib dilakukan
setiap malam agar ilmu yang telah dikuasainya tidak hilang. Tidak lupa sebilah
keris dicelupkan ke dalam air tujuh
sumber yang ditaburi bunga tujuh rupa, kemudian keris itu dikeringkan dengan
asap dupa. Hampir saja Kumala pingsan karena tidak tahan dengan bau dupa yang
menyengat itu. “Baunya seperti bangkai orang mati bunuh diri, benar-benar beda
dari bau dupa punya nenekku.” Ucap Kumala sambil menutup hidungnya dengan sapu
tangan kecil karena tidak kuat menahan pusing.
Disetiap
dinding rumahnya menggantung bermacam-macam aksesoris, ada keris, pedang,
parang, tengkorak manusia, dan cemeti yang panjangnya tujuh meter, “ cemeti ini
adalah warisan dari guruku. Kalian tahu, dia tidak makan apa-apa kecuali bunga
tujuh rupa? Itu pun makannya sekali dalam satu bulan, yaitu pada saat bulan
purnama tiba. Namanya Ki Bujur Kerreh. Mendengar namanya saja siapa yang tidak
takut, seperti bukan nama orang. Ki Bujur hidup selama dua ratus lima puluh
tahun. Aku Tanya, siapa orang saat ini yang umurnya menandingi umur guruku itu?
Tidak ada! Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di dalam gua yang dihuni ribuan
kelekawar. Ya, dia berkawan dengan kelelawar sebelum aku menemuinya dan dibai’at
menjadi muridnya. ” Ucapnya saat ditanya oleh kami. Giginya yang tidak teratur
dan hitam-hitam membuat kami merasa mual dan ingin muntah. Lantas Mbah Satrawi
tertawa cekikikan.
“Apakah
Ki Bujur Kerreh sudah mati Mbah? Kalau mati dimana makamnya? ” tanyaku
kemudian.
Mbah
Satrawi diam lantas kembali tertawa cekikikan. Tawa yang sangat lama sekali, hampir
tiga menit. Setiap pertanyaan yang kami ajukan akan dijawab setelah hampir tiga
menit dia tertawa.
“Aku
tidak begitu yakin guruku itu sudah mati, karena sampai hari ini aku masih
belum tahu dimana makamnya meski sudah bertahun-tahun aku mencarinya.”
Sesaat
Mbah Satrawi termenung, seperti merasakan kehilangan yang amat teramat
menyakitkan. Kami diam memperhatikan. Tidak berani mengganggu. Barangkali
pikiran Mbah Satrawi saat ini sedang terlempar ke berapa puluh-puluh tahun yang
lalu, dimana saat dia sedang menimba
ilmu kanuragan pada Ki bujur Kerreh. Barangkali juga sebuah kerinduan yang dia
rasakan, dan kini rindu itu menjadi semacam mimpi yang tiada kunjung jadi
kenyataan.
“Kapan
terakhir kalinya Mbah Satrawi bertemu dengan Ki Bujur Kerreh?” Tanya Kumala
kemudian setelah Mbah Satrawi terlihat agak tenang.
“Tujuh
puluh tahun yang lalu. Ketika umur Mbah mau menginjak dua puluh lima tahun.
Waktu itu Mbah dipersilahkan pulang oleh
Ki Bujur Kerreh karena dianggap seluruh ilmu yang telah Mbah pelajari sudah
dikuasai. Padahal ada satu lagi ilmu yang
belum diturunkan kepadaku, yaitu ilmu Lidah Naga, ilmu yang paling sakti
diantara ilmu-ilmu lainnya. Siapa saja yang menguasai ilmu itu pasti dia kebal
senjata dan hidupnya akan lama sampai beratus-ratus tahun, bahkan bisa jadi
tidak akan mati. tapi tidak sembarang orang mempelajari ilmu itu. Untuk
mempelajari ilmu Lidah Naga orang itu harus bersedia hidup sendiri tanpa seorang
istri dan anak.” Kemudian Pandangan Mbah Satrawi keluar lewat jendela yang
sudah miring bergelantungan dan hampir jatuh. pandangannya tertanam pada bulan
yang lurus dengan jendela rumahnya. Bulan yang ranum itu seperti terbingkai
jendela rumahnya yang reot. Mata lelaki tua itu seperti melawan cahaya purnama
atau seperti memandang zaman yang telah lapuk oleh hujan dan kemarau, zaman yang
tak pernah dikisahkan dalam dongeng-dongeng maupun sejarah. Kemudian Mbah
Satrawi melanjutkan ceritanya.
“Dan
Mbah telah melakukannya. Hidup tanpa sanak saudara Mbah jalani demi mendapatkan
ilmu itu meski Mbah merasa sangat kesepian sekali. Padahal Cuma Mbah seorang
muridnya. Tidak ada orang lain kecuali Mbah yang pernah berguru pada Ki Bujur
Kerreh. Mbah ini adalah murid tunggal yang mestinya ahli waris ilmu Lidah Naga itu.”
Suara Mbah Satrawi bergetar, dinding-dinding rumahnya serasa bergerak.
Barangkali Mbah Satrawi tidak hanya bicara dengan kami tapi juga pada seluruh benda
yang ada di rumahnya termasuk dinding-dinding rumahnya. Setiap kata-kata yang
diucapkannya seperti menyimpan beban yang sangat berat, menyimpan kerinduan dan
harapan yang mendalam. Dan Sepertinya Mbah Satrawi tidak terima dengan
kenyataan bahwa mestinya dia yang mendapatkan ilmu Lidah Nada itu.
“Makanya
Mbah tidak yakin kalau Ki Bujur Kerreh sudah mati. karena sebelum penguasa ilmu
Lidah Naga itu mati dia harus mewariskan ilmunya kepada muridnya. Kalau tidak,
maka kutukan akan menghukumnya.”
“Apa
kutukan itu Mbah?” Tanya Eko penasaran.
“Menjadi
manusia setengah naga. Tapi meskipun berkepala manusia dan berbadan naga yang
panjangnya mencapai tujuh meter, seperti panjang cemeti warisan guruku itu.
Tapi ilmu yang dimilikinya tidak bisa digunakan lagi. Ilmu itu hilang semua.
Ya, begitulah, dia akan menjadi makhluk aneh dan lemah. Kalian tahu, kutukan
itu akan dijalani hingga dalam kubur?”
“Mbah
akan terus mencari Ki Bujur Kerreh?” aku kembali bertanya. Sementara Kumala dan
Eko menyimak serius.
“Ya,
Mbah akan terus mencarinya.” Ucapnya mantap, pandangannya tajam padaku. Aku
gemetar.
Kulihat
jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 23:53, kami masih punya waktu tujuh
menit lagi, karena tepat pukul dua belas malam Mbah Satrawi akan memulai
ritualnya.
Kembali
kami memperhatikan ruangan pengap dan seram itu. Ruangan yang gelap, tak ada
lampu neon disana kecuali lampu minyak tanah yang dibuat dari sebatang bambu
yang telah dilubangi tengah-tengahnya kemudian diberi sumbu dari sehelai kain
setelah bambu itu diisi dengan minyak
tanah. Tidak ada aliran listrik yang masuk ke kampungnya. Daerah itu
benar-benar jauh dari hiruk pikuk keramaian. Makanya warga kampung Temor Songai
jarang sekali ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, kadang satu kali
dalam setahun atau tidak pernah sama sekali, mereka lebih memilih makan dengan
hasil kebunnya sendiri. Di kampung itu dihuni oleh tiga puluh lima kepala
keluarga, masing-masing sebagian besar keluarga mempunyai enam sampai tujuh
orang anak. Berarti dalam satu rumah menampung delapan atau sembilan orang.
Waktu tujuh menit kami habiskan untuk memperhatikan
ruangan seram itu. Disetiap pojok rumahnya asap dupa mengepul sehingga ruangan
itu tampak seperti terbakar dan membuat sesak nafas bagi siapa saja yang datang
ke rumah kumuh itu, tapi tidak bagi lelaki tua ini, dia sudah terbiasa dengan
semacam itu karena sudah hampir sembilan puluh lima tahun dia hidup dengan
kepulan asap dupa yang baunya seperti bau datangnya hantu-hantu dari pekuburan di
kaki bukit kampung Temor Songai itu. Tentu mencipatakan rasa takut bagi siapa
saja yang pertama kali datang ke rumahnya. Tapi, ada satu yang menarik
perhatianku ketika mataku menangkap selembar lukisan yang terpajang di pojok
ruangan. Lukisan seorang pemuda gagah dan tampan pula. Mataku lekat menatap
foto itu. Penasaran. Kemudian Kumala dan Eko ikut memperhatikan juga. Siapakah
dia? Tanyaku dalam hati.
“Orang
di lukisan itu adalah guruku, Ki Bujur Kerreh. Dia sendiri yang melukisnya” sebelum
aku bertanya dia telah menjawab lebih dulu, sepertinya orang tua ini bisa
membaca pikiran orang, pikirku dalam hati. Kami terhenyak tidak percaya.
Mungkinkah seseorang yang telah hidup selama beratus-ratus tahun tetap masih
gagah dan tampan? Ah, barangkali itu adalah wajah Ki Bujur Kerreh saat masih
muda, pikirku lagi.
“Ganteng
juga ya Ki Bujur Kerreh, tak kalah gagahnya dengan si keriting Anwar.” Ucap
Kumala meledekku, membanding-bandingkan aku dengan guru Mbah Satrawi.
Keriting-keriting begini aku masih termasuk kategori laki-laki tampan. Bahkan
aku orang yang paling tampan diantara laki-laki lain, setidaknya itulah menurut
ibuku. Tapi aku tak bernafsu untuk meladeni sindiran Kumala. Aku biarkan saja dia
berkata semaunya.
“Guruku
itu memang tampan. Pernah Ki bujur Kerreh akan diambil menantu oleh salah
seorang pedagang kaya raya dari kampung Pesisir saat dia masih senang berkelana
ke pantai-pantai. Tapi tawaran itu ditolaknya meski putri pedagang yang kaya
raya itu sangat cantik jelita. Dia lebih memilih hidup sendiri sebelum akhirnya
menyepi dalam gua.”
“Seandainya
saja sekarang Ki Bujur Kerreh ada disini. wah, aku tidak bisa membayangkan
betapa senangnya aku melihat seorang pemuda gagah dan punya ilmu tinggi pula.”
Pikiran Kumala mulai aneh-aneh. Kusenggol dia dengan lenganku. Ah, kurang
tampan apa sih aku sehingga dia terpesona dengan wajah yang dimiliki guru Mbah
Satrawi itu. Barangkali dia tidak penah bertanya kepada ibuku siapa laki-laki
yang paling tampan? Pasti jawabannya aku, setelah itu bapakku.
“Ki
Bujur kerreh itu sudah tua. Apa kamu gak dengar tadi apa yang dikatakan Mbah
Satrawi kalo umurnya sudah mencapai ratusan tahun, dan tentu pasti
wajahnya gak seperti dalam lukisan itu lagi?” aku mulai kesal dengan Kumala.
Mendengar
perdebatan kami Mbah Satrawi hanya tertawa. Hem, kumat lagi tawa yang sangat
lama dan juga bunyinya yang tidak enak didengar itu. Tapi, tawa itu seperti
membaca pikiran kami. Ah, tidak!
Setelah
waktu menunjukkan pukul tepat dua belas malam, kami menyingkir dari ruangan
utama sebagai tempat Mbah satrawi melakukan ritualnya. Kami pindah keruangan
lain untuk istirahat sebelum besok kami akan pulang.
………o0o………
Itulah
kebiasaan Mbah Satrawi sehari-harinya. Dia memulai ritualnya pada saat tengah
malam menjelang pagi dini hari dan mengakhiri ketika kokok ayam kampung miliknya
menyapa pagi yang masih menggigil di rahim cakrawala.
………o0o………
Begitulah
kehidupan Mbah Satrawi. Dia akan senantiasa mencari gurunya untuk mendapatkan
ilmu Lidah Naga itu, karena Mbah Satrawi tidak ingin melihat gurunya menjalani
kutukan hanya karena tidak mewariskan ilmu itu kepadanya.
Setelah
dua bulan kami menemui Mbah Satrawi, terlintas dibenakku untuk mengunjungi Gua
Selatan, tempat Ki Bujur Kerreh hidup berkawan ribuan kelelawar. Tapi, penjelasan
dari Mbah Satrawi bahwa sampai sekarang dia masih mencari gurunya itu, berarti
Ki Bujur Kerreh tidak sedang berada di dalam Gua itu. Juga dengan alasan karena
Eko takut akan terjadi apa-apa dengan kami maka kami urungkan niat itu meski
Kumala sangat ingin sekali melihat wajah Ki Bujur Kerreh secara langsung.
Karena ia percaya dengan ilmu Lidah Naga yang dimilikinya wajah Ki Bujur Kerreh
tetap tampan dan gagah meski umurnya sudah lewat dari tua. “Selain membuat
kebal senjata ilmu Lidah Naga juga membuat awet muda, jadi juga kebal wajahnya
dari penyakit keriput.” Ah, dari mana dia tahu tentang hal itu, padahal Mbah
Satrawi tidak pernah bilang demikian. Kumala sudah mulai aneh dan sering pula mengada-ada.
Pada
bulan purnama yang ke tujuh setelah kunjungan kami kerumah Mbah satrawi,
kembali kami mengunjungin Kampung Temor Songai. Cahaya bulan menyala-nyala dan
tampak lebih terang dari pada biasanya. Cahayanya serupa mata teduh bidadari
langit tingkat ketujuh, meski sebenarnya aku tidak pernah tahu seperti apa mata
bidadari itu. Tapi, setidaknya itulah gambaranku tentang purnama kali ini. Hanya
saja purnama kali ini terhias gugurnya gerimis dengan perlahan sehingga
menambah suasana makin dramatis. Alangkah herannya ketika kami tidak mendapati
Mbah Satrawi di rumahnya. Kami masuk keruangan utama yang biasa dipakai Mbah
Satrawi untuk melakukan ritual, tapi tidak ada. Kucari di ruangan yang satunya,
juga tidak ada. Dimanakah gerangan orang tua itu berada?
“Anwar,
Eko cepat kesini, coba kalian lihat itu.” Teriak Kumala tertahan dengan mimik
muka heran seraya menunjuk-nunjuk kearah bagian belakang rumah Mbah Satrawi
yang memang pintunya menganga. Mataku mengikuti tulunjuknya, begitu juga Eko. Betapa
terkejutnya kami ketika mendapati seseorang yang sedang duduk memunggungi kami
yang di depannya terdapat gundukan tanah panjang sekitar tujuh meter dan
ujungnya tetancap batu nisan. Dan lebih terkejut lagi ketika orang itu menoleh pada kami dan
kemudian kami teringat dengan lukisan seseorang yang tampan dan gagah itu.
Yogyakarta, 01-12-2010 (01:29)