Lelaki
Tua
di Jendela
Shohifur Ridho Ilahi
Langit masih saja pekat, Fatma.
Masa
silam sama gelapnya dengan langit. Aku hanya bisa menunggu seiring dengan
ketuaan dan memutihnya rambutku. Dunia tersedu. Menangis dalam kegelapan. Dan
lelaki seperti aku apakah sama gelapnya dengan langit di matamu, Fatma?
Ah, kabarmu seperti tertelan angin dan terbang menjauh mengikuti debu-debu yang
kini telah basah oleh hujan. Ingatan-ingatan tentang dirimu nyaris tenggelam.
Aku hampir pikun. Ketuaanku tidak mampu menolongku untuk berjumpa denganmu lagi di bawah hujan sebagaimana
kita pernah lakukan
dulu.
Barangkali nasib memang sengaja mempermainkan kita agar
kita tahu
bahwa beginilah sebenarnya hidup.
Atau barangkali kecemasan dan rindu memang harus bermuara di laut. Bersatu dengan ombak.
Pernah
aku berpikir bahwa dunia, termasuk aku dan kamu adalah ilusi. Tidak pernah
benar-benar ada. Hanya bayangan-banyangan yang berkehendak menciptakan ceritanya sendiri. Dan
kita adalah bayangan lain dari permainan ilusi itu.
Langit masih gelap, Fatma. Dan hujan terus bergemuruh.
Dari
balik bingkai jendela aku menatap ragu ke ujung jalan. Kebetulan jendela
kamarku searaah dengan jalan raya. Dulu, biasanya aku menunggumu di sini. Kamu biasa muncul dari ujung pertigaan sana
sembari melambaikan tangan padaku yang telah menunggumu.
Selalu ada perasaan senang saat kamu mengunjungiku, yaitu
kamu selalu membawakanku makanan, lalu menyuapiku. Ah,
aku seperti anak kecil yang pandai merengek manja pada ibunya. Ketika aku sakit, kamu
yang pertama kali menjengukku dan mengantarku ke dokter. Biasaya kamu sangat
cerewet sekali saat itu, memintaku minum obat tepat waktu dan menyuruh istirahat yang cukup.
Tapi,
Fatma
sayangku, dimanakah kamu berada kini. Apakah kamu sudah mendapatkan kehidupan
yang lebih nyaman, dengan suami yang kaya dan baik, serta dengan anak-anakmu
yang lucu dan manis? Oh tidak. itu tidak mungkin.
Sudah delapan puluh enam usiaku, tapi kamu tak juga
muncul. Empat puluh tujuh tahun sudah kita berpisah dengan meninggalkan sepotong
janji.
Aku
akan terus menunggumu dan kamu akan kembali padaku kelak, begitulah bunyi janji
itu.
Ya,
kamu memahat janji di dadaku sembari menangis tersedu. Aku ingat, betapa
airmata itu mengalir hampir tanpa rahasia, semuanya begitu mudah bagiku untuk
mengerti bahwa kelak kamu
benar-benar akan kembali dan menjatuhkan kepalamu ke dadaku. Kemudian saling
merangkul, saling mengikat erat agar hujan bagaimanapun derasnya tidak akan
memisahkan kita lagi. Ah, tapi, hingga saat ini kamu belum muncul dari ujung
jalan sana, sayangku.
Berpuluh
tahun bingkai jendela menjadi teman yang bisu. Jendela yang mengantarku
mengingat segala tentang dirimu. Tapi langit masih saja gelap, Fatma.
Hujan belum reda, Fatma. Dan matahari tak mampu menembus
kabut gelap itu.
“Entah harus kumulai dari mana percakapan kita,” ucapmu
dulu. Matamu berair,
seperti menanggung kesedihan yang sungguh.
Saat itu langit terang. Awan berarak seperti buih ombak.
Aku membuang pandangku ke luar jendela dan meletakkannya di ujung jalan sana,
di pertigaan tempat biasa kamu muncul. Tapi bukan lalu lalang manusia yang aku lihat, hanya kabut yang perlahan
membentuk gumpalan hitam lalu berlarian ke retina mataku, menjalar ke urat-urat
tubuh.
Lalu
sepi. Kamu gelisah. Dinding rumah seperti menghimpit marah.
“Mulailah dengan menyebut namaku, Fatma,”
ucapku kemudian. Membunuh sepi.
“Sakti, dedaun di luar rumah masih terlalu hijau untuk
ditinggalkan. Aku takut menjadi sebab kegelisahan dan kecemasan tumbuh di dalam
dirimu. Tapi keadaan serasa telah menjerat leherku. Kalau aku tidak segera
menyelesaikan persoalan ini.
Entahlah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku dan keluargaku semua.”
“Sebegitu kejamkah hidup pada dirimu, sayang?”
Aku
peluk kamu dari belakang. Kita sama-sama menghadap ke jendela, hanya kabut yang
terlihat.
“Aku akan pergi,”
“Pergi?”
Tiba-tiba
langit yang terang berubah jadi hitam. Gelap. Pekat. Selebihnya adalah hujan
yang merajam.
Bilakah langit akan kembali terang,
Fatma?
Fatma,
langit masih saja gelap. Hujan terus merajam. Kilat menghantam. Tapi untunglah
jendela rumah masih menarik bagiku untuk berlama-lama memandang ujung jalan
sana, di pertigaan tempat kamu biasa muncul.
Tahukah kamu Fatma,
bahwa saat-saat tertentu aku selalu membayangkan dirimu muncul dari ujung jalan
sana dengan menaiki becak atau ojek, karena mungkin dengan berjalan kaki sudah
tidak kuat lagi bagimu yang sudah renta. Kamu melempar senyum dan aku
menyambutnya dari balik jendela sebelum menghambur keluar rumah,
memelukmu.
Rambutmu
sebagian sudah putih. Jalanmu bungkuk. Tapi keriput kulitmu tidak bisa
menyembunyikan rahasia kecantikanmu. Kamu masih cantik, Fatma.
Sungguh. Begitupun dengan senyummu yang
selalu rekah.
Lalu kita bicara tentang banyak hal: kenangan masa silam, kamu yang cerewet, aku yang susah
diatur, peluru
tentara yang hampir menembus dadaku, aku yang pernah
hidup di balik jeruji tahanan karena dituduh komunis, sajak cinta
yang kutulis untukmu, masakanmu yang sedap, hujan yang nakal, malam yang indah,
bulan yang berbinar, dan segalanya. Lantas
kita
tertawa, lalu
terdiam khidmat, dan akhirnya titik
airmata tak mampu ditahan, kita menangis, Fatma. Entah kita menangis
untuk apa, rindu yang terlampiaskan atau cinta yang tak sampai tertanam sungguh
di dada sehingga usia kita yang terlampau senja pun masih saja begini, tidak punya pendamping hidup yang sah.
Akan
tampak tolol bagi orang yang berusia lebih setengah abad seperti kita
mengenakan gaun pengantin. Orang-orang
akan bergunjing, tetangga saling berbisik dan menertawakan kita, Fatma.
Kita akan tampak konyol. Seperti anak muda saja, begitu pikir mereka. Hahaha...
Tapi
itu hanyalah bayanganku
saja, bayangan
ketika ingatan kembali datang. Karena
sesungguhnya kamu tidak pernah kembali. Kamu tidak pernah benar-benar datang
dari ujung jalan sana dengan menaiki
becak
atau ojek. Aku tidak pernah benar-benar melihatmu dari jendela dan menghambur
memelukmu. Kita tidak pernah benar-benar saling melempar senyum.
Sejak
kepergian itu kamu tidak pernah muncul lagi meski sekadar membawakan makanan
kesukaanku. Di depanku, hanya langit yang hitam. Hanya hujan dan kilat yang
menampar.
Adakah langit akan terus gelap
begini, Fatma?
Ya,
aku mengerti,
Fatma.
Aku paham kalau keadaan sudah menghimpit keluargamu. Ayahmu karam setelah ombak besar menghantam perahunya,
dan hingga kini jasadnya tidak ditemukan. Saat itu langit gelap. Lalu hujan
datang, kemudian badai menerjang dan akhirnya ombak menampar perahu ayahmu. Semuanya
terjadi begitu sekejap. Padahal saat Ayahmu mengangkat sauh tidak ada
tanda-tanda sama sekali akan terjadi hujan lebat yang disertai badai besar.
Hanya angin pantai yang tetap berkesiur sebagaimana mestinya. Bahkan langit
cerah dan matahari merekah. Oh,
sabarlah
sayang, beliau sudah bersatu dengan laut yang diciptakan Tuhan sebagai
darah bumi. Tentu kepada Tuhanlah beliau kembali.
Sampai kapan langit akan terus
begini, Fatma?
Tiga
bulan selepas kejadian itu,
keadaan sudah benar-benar melumpuhkan semuanya. Perekonomian keluargamu berada
di puncak kecemasaan.
Asap dapur tidak lagi mengepul. Tidak ada lagi keriangan di mata ketiga
adik-adikmu yang manis dan cantik itu. Kamu sendiri kurus kehilangan semangat
hidup. Daun-daun kering yang berserak di halaman rumahmu menambahkan nyeri
hidup yang sungguh. Mak malas menyapu, belum bisa menerima kehilangan Ayahmu.
Pintu rumahmu selalu tertutup meski siang terik, seperti rumah tak berhuni. Aku
juga ikut cemas, Fatma. Tapi apalah dayaku waktu itu, aku hanyalah pemuda pengangguran yang selalu dicurigai sebagai antek komunis.
Kemudian kesedihan itu berada di ujung
penghabisan. Kamu banting harapan. Kamu pecahkan kesedihan. Kamu menatap tajam masa depan yang remang-remang. Lalu batu-batu tanggung jawab mengeras di dadamu.
Inilah asal mula perpisahan kita. Inilah muassal penantianku.
“Aku
harus pergi, Sakti.”
“Aku
mengerti, Fatma. Aku tidak bisa menghalangimu.”
“Percayalah,
kelak, ketika semuanya sudah berubah, aku akan kembali.”
“Ya,
tanah ini akan terus merasa kehilangan bila kamu tidak kembali.”
“Iya
Sakti, tanah ini akan menangis bila kita tidak berkubur bersisian.”
Dan
kamu benar-benar pergi. Kamu
mengaku akan berangkat ke Bandung, karena disana kamu punya sahabat karib yang pamannya butuh pengasuh
bayi untuk putrinya yang lahir tiga bulan lalu. Demi tanggung
jawab keluarga, katamu.
Kamu tidak tega melihat ketiga adikmu menahan lapar. Dan kamu juga tidak berani melihat Mak
bekerja serabutan sebagai tukang cuci dan pemikul ikan di pasar. Mak sudah
terlampau tua untuk bekerja berat.
Langit makin gelap, Fatma.
Mengapa kamu berdusta, Fatma? Ya, Kamu berdusta. Kamu bilang akan
kembali. Kutunggu kamu,
berpuluh
purnama telah lewat, sudah tak terhitung berapa kali hujan dan kemarau saling bergantian musim, bertahun-tahun
lamanya, hingga wajahku keriput, hingga mataku rabun, hingga pikiranku pikun,
hingga rambutku putih. Sudah tujuh
tahun kamu di Bandung, tanpa kabar apapun. Aku cari tahu ke rumahmu, tapi
disana tidak kudapati siapa-siapa. Kabar dari tetangga bahwa Mak dan ketiga
adikmu sudah pindah ke rumah saudara laki-laki Mak di Kaliurang. Dan saat itu
pula aku dengar selentingan kabar dari Haji Sulaiman, lelaki yang selalu gagal
menjadi kepala desa itu. Dia bilang kamu tidak bekerja di Bandung, tetapi diperistri
oleh tentara. Agrhhhh....
Aku
benar-benar kaget tak kepalang. Ternyata yang menikahimu adalah tentara keparat
itu. Apa kamu tidak tahu, aku sudah lama memendam dendam pada makhluk bernama tentara,
sesosok yang suka memberondong peluru ke dada-dada orang yang lemah dan tak
berdaya.
Apa kamu lupa, dulu aku hampir mati ditembus timah panas
dari peluru-peluru mereka. Untung saat itu tenagaku masih segar, aku masih bisa
berlari kencang, berkelok-kelok diantara gang dan selokan. Ya, saat itu aku
lupa tidak membakar atau menyimpan secarik kain merah bergambar palu dan arit
pemberian seseorang yang katanya dekat dengan Haji Sulaiman.
Yogyakarta-Madura, 2012