Puisi, Kerinduan dan Jiwa Shohifur Ridho Ilahi yang Berpijak

Puisi, Kerinduan dan Jiwa Shohifur Ridho Ilahi yang Berpijak*

                                                                         
Oleh: Totok Suhartono (To’til)


I
Dengan pendahuluan ini mudah-mudahan dapat memperjelas pemahaman saya tentang sajak-sajak Shohifur Ridho Ilahi. Pemahaman saya mungkin saja berbeda dan sangat berbeda dari pemahaman pembaca lainnya. Bahkan mungkin juga bertentangan dengan pemahaman penyairnya sendiri. Schleirmacher, seorang pakar Hermeneutika modern, pernah mengatakan dalam kontras yang mengejutkan: Kita harus memahami seorang pengarang lebih baik dari pengarang itu memahami dirinya sendiri.

Kita sering memandang ke atas, mewacanakan dan membicarakan dalam isu-isu kekinian dengan latar sastra. Sementara, di sisi lain ada yang dibungkam, hingga tenggelam dan asing untuk diangkat. Fenomena ini layak kita dobrak dengan satu paradigma baru, yaitu membuang kesakralan pengarang. Dengan kata lain, kita jangan mendewakan pengarang yang di puncak karena yang di bawah tak selamanya mandul, artinya dunia perpuisian Indonesia khususnya dunia pondok pesantrean sudah waktunya membuka diri, menangkap suara-suara yang mengalir di arus bawah sebagai manifestasi dinamika zaman dalam konteks kreativitas dan inovasi kepenyairan yang notabene memperkaya khazanah sastra Indonesia.

Hal itu tidaklah berarti luasnya kemungkinan pembaca menafsirkan suatu teks menjadi semau-maunya tak terbatas. Luasnya tafsiran hanya dimungkinkan oleh luasnya kemungkinan yang disediakan oleh teks, sedangkan luasnya kemungkinan dalam teks bergantung pada luasnya kemungkinan bahasa. Pada titik ini peringatan dari filosof Ludwig Wittgenstein dapat dijadikan pedoman kita: Pada saat kita tak dapat lagi menyatakan sesuatu melalui bahasa, maka pada saat itu kita sebaiknya tahu diri untuk segera diam dan menutup mulut.

Mohammad Iqbal filosof India mengungkapkan bahwa karya tertinggi adalah karya yang mampu membangkitkan kekuatan-keinginan yang tertidur dan mendorong kita menghadapi cobaan kehidupan dengan gagah berani. Semua hal yang berhubungan dengan kemalasan dan membuat mata kita tertutup pada kenyataan yang ada di sekitar kita yang merupakan tempat utama bagi hidup untuk bergantung adalah pesan kehancuran dan kematian.

Oleh karena itu, suara dan teriakan mereka (Penyair Muda) adalah serpihan mutiara yang tercecer yang layak kita pungut sebagai hasil tangkapan inovasi dan ekspresi kekinian. Ibarat sebuah buku, tubuh juga memiliki halaman-halaman dan pengetahuan yang tidak akan selesai digali (meminjam istilah Shohifur Ridho Ilahi). Seseorang yang berjuang menghadapi sebuah teks pertama-tama haruslah belajar menguasai bahasa yang digunakan dalam teks tersebut. Bukan hanya aturan-aturan serta keterbatasannya, tetapi juga ruang-ruang yang ada di dalamnya yang memungkinkan penguatan dan penyimpangan yang disengaja untuk mencapai pembaharuan bahasa itu sendiri.

Puisi merupakan bentuk sastra yang bersifat konsentratif dan aksentuatif, memusatkan pada isi daripada kulit luarnya saja. Hal ini akan berpengaruh terhadap kata-kata yang dipakai Shohifur Ridho Ilahi dalam puisinya. Karena sifatnya yang konsentratif dan aksentuatif memahami puisi itu sulit sekali. ”Sulit” di sini bukan berarti puisi ”tidak dapat dipahami”. ”Sulit” di sini diartikan bahwa untuk memahami puisi diperluakan proses yang panjang.1

II

Apakah kita masih penasaran dengan karya Shohifur Ridho Ilahi? Mari kita lanjutkan perbincangan ini. Mendedah sajak-sajak Shohifur Ridho Ilahi dalam antologi puisi ”Masegit” telah membuka file yang tersimpan lama dalam database benak saya bahwa dia tergolong penyair modern Indonesia yang berlayar mengikuti arus, ibart ziarah pada lingkaran musim yang menari, yang pelik, yang mewarnai, yang tumbuh di antara sayap-sayap kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, saya segera mengenali tema-tema utama yang sering kali muncul seperti, kesendirian, kesunyian, soliter, kegelisahan, kerinduan, serta puisi merupakan ekspresi dari kehidupan yang memakai bahasa sebagai mediumnya (William Henry Hudson). Sehingga ada sesuatu yang ingin diungkap oleh Shohifur Ridho Ilahi, yaitu ”Tempat” yang digambarkan dalam bentuk ”Masegit”. Ia bersuara dan membayangkan dirinya dalam sebuah ruang (tempat) yag berjarak dan tak berjarak, yang dipijak dan yang tak dipijak, untuk membangun komunikasi dengan pembaca.

Kehadiran Shohifur Ridho Ilahi dalam sajak ”Masegit” cukup jelas menggambarkan tentang keberadaannya yang eksistensial di tengah masyarakat (yang multidimensional dan multikultural) sambil mabuk kata-kata dan berharap dapat bijaksana, bahkan kalau perlu datang walau berbentuk hantu.

mungkin sewaktu-waktu pohon kelapa itu akan bertanya, di manakah saya mesti bermalam, tuan?
...

kalau tuan sedang menunggu, tunggu saya jadi waktu
...

apa yang masih tuan tunggu, saya sudah jadi hantu.

Bahkan bagi Shohifur Ridho Ilahi dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda, Dia membayangkan kerinduan pada pengalaman hidupnya di pulau yang berbeda dalam ”Sulur” atau ”akar rambat” bahwa untuk mencapai ruang dan waktu kita harus membaca bismilah tanpa harus selalu menunggu dan menunggu tanpa berbuat sesuatu.

dari jauh telah saya teriakkan nama ibu bagi anak-anak saya. suara saya megalir mencari muara, tapi tak sampai hingga beranda.

bismillah, tersebab kita adalah doa. jangan sampai kita sama-sama menunggu di beranda.

Konteks pengalaman imajinasinya yang mengalir dalam rona pertempuran batiniah tentang sebuah kerinduan dan pengalaman estetis serta pengalaman yang membuatnya galut, merona dan meronta telah tersirat dalam larik-larik sajaknya, diungkap secara telanjang tentang fenomena dalam konteks paduan cinta, bergayut dalam keterpautan gejolak yang samar, semacam performance controversial penyair. Kegarangan sang penyair dalam menangkap realitas telanjang lebih kasar menyiratkan semacam haru biru sekitar kampung halamannya di pesisir pantai dan kota di mana dia kini telah berpijak, atau juga pengalaman imajinya ketika dia berada dalam pelukan Penjara Suci yang sering anak-anak pondok pesantren katakan.

Puisi datang kepada kita bukan lewat gagasan atau ide. Seandainya ada ide yang harus disampaikan, komunikasi dan transisi ide itu tidak dilakukan lewat konseptualisasi, melainkan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda, keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi (pendapat atau kesan) yang dirangsang oleh bunyi dan suara. Dalam puisi dari filsafat Cartesian ”saya berpikir maka saya ada” dipatahkan, karena yang terjadi dalam puisi adalah peristiwa yang berbeda wujudnya, yaitu ”saya mengalami maka saya ada”. Seperti yang kita tahu, pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan dunia, melainkan keterlibatan eksistensial di dalamnya. Seorang filosof dan ilmuwan berusaha menyusun pikiran dan gagasan, maka penyair berikhtiar menemukan makna. Maka Shohifur Ridho Ilahi berasumsi dalam ”Maulidiyah”:

saya membayangkan sebuah pertempuran
.....
saya membayangkan sebuah pertempuran
.....
saya membayangkan sebuah pertempuran
.....
saya membayangkan sebuah pertempuran terjadi
dalam sebuah puisi yang kita tulis bersama di atas
ranjang yang tak henti mengabarkan derit birahi.

Dari segi bentuk persajakan terjadi pengulangan-pengulangan kalimat yang sama yang menekankan makna kata-kata yang digunakan semaksimal mungkin menjadi deretan-deretan imaji yang mempesona dan bukan deretan-deretan pesan verbal. Bagi pembaca kita akan menemukan pergolakan pertempuran di beberapa tempat yang berbeda yang memungkinkan kita akan mengalami kesulitan dalam memaknai sajak-sajak tersebut.

Pertempuran imajinya ternyata tak hanya berhenti di sajak ”Maulidiyah” saja. Ia terus bertempur dan merasakan derasnya arus kehidupan yang kembali membawanya ke dalam jurang kesepian dan kerinduannya pada sesuatu yag mengurainya menjadi aroma darah, dalam ”Hijryna”:


apa perlu saya siapkan sebuah belati agar aroma
darah lebih mudah kita kenali, atau sapu tangan biru
dan buku-buku baru, mungkin kita tak perlu saling
bunuh untuk mengerti bagaimana kesepian semesti-
nya didiskusikan?

Kesepian, kegelisahan, dan kerinduan itu terus terbersit begitu dalam, dalam dan dalam sehingga nampak dalam sajak ”Alomampha”, ”Munte’”, ”Shympton”, ”Diorama”, ”Equibrium”, ”Jancuk”, ”Sarmabe”, ”Nuh”, ”Qamariyah”, ”Bhing”, ”Jazirah”, ”Lonceng”, ”Marung”, ”Trilogi”, ”Vredeburg”, ”Tabun”, ”Serenade”, ”Langgam”, ”April”, ”Bubungan”, ”Februari”, ”Syndrome”, ”Ular”, ”Ranjang”, ”Segara”, ”Stasiun”, ”Pakotan”, ”Ngusar”, ”Pao”.
Marilah kita mencoba untuk mengaji tentang sebuah kesepian, kegelisahan, dan kerinduan itu dalam fragmen-fragmen berikut ini.

alomampha
....
hujan yang saya rindukan ketika
saya hilang di pulau-pulau.
....

munte’
....
kekasih, hanya kamu yang kukenalkan dengan
seluruh rindu setelah urat leher meruncingkan
pertemuan dengan gemuruh waktu, laayamuutu.
....

shymptom
....
dibunyikannya setangkup angin agar tiap
hidupnya senantiasa berdesir, seperti orang pesisir
merindukan remah-remah pasir.
....

diaroma
....
malam berikutnya saya merasa setengah kesepian.
hanya ada malam, tuhan dan ingatan.
....

equibrium
....
matamu yang bersayap dan menyihir saya waktu itu
adalah pertanda bahwa kamu berusaha menambal
tubuh saya yang penuh bolong, di mana saya
mencoba mengepak rindu dari ruang kosong.

jancuk
....
melintasi sinar bulan dan dasar ingatan.
di paruhnya ada sekeping rindu tentang
laut yang diam dan langit yang bergelombang
....

sarmabe
....
asap ini adalah luka yang kau rawat sore itu. Sore di
mana kita bisa mengingat-ingat pertanyaan dan
jawaban-jawaban yang selalu diulang.
....

nuh

adakah yang lebih bergelombang ketimbang namaku?
ada banjir dalam rindu. ada kutukan dalam waktu.
....

3qamariyah
....
kita semakin rapuh dihanyut usia, sementara hidupku
bagai pelepah kelapa yang merindukan arus sungai
dari bening matamu, bukan airmata yang pernah kau
janjikan, tapi rindu untuk menenggelamkanku lebih
dalam lagi.
....

bhing
....
iqlima, malam bukan lagi nyanyi yang biasa
mengantarkanmu pada sepi dan sujud bukanlah ratap
pada batu-batu di bantaran kali.

jazirah
....
esok masih ada yang mesti saya tunggu selain
menghitung sisa hujan yang berjatuhan
....
tapi saya telah menunggu di batas tepi dadamu yang
tak lagi gemuruh.
....
tapi masih ada yang mesti saya tunggu: dirimu
yang bergaun matahari.

Lonceng
....
di malam itu, ia sedang menunggu merpati datang
kepadanya. membawa pesan bagi anak-anak seperti
dirinya. “merpati tidak datang malam hari, anakku,”
ucap ibu, bulan ungu.
....

marung
....
aku lupa menabur bunga-bunga dari lubuk paling sepi
untuk kematianku yang pertama.
....
trilogi
....
sepulang dari pertemuan itu sayang, sengaja kubung-
kus ingatan ini untukmu–kupu-kupu kuutus untuk
menyampaikan pesan dalam surat lamaku.
....

vredeburg
....
/7/
ketika rumah adalah tempat kami menemukan
kepulangan, maka hutan beringin kami belah jadi
pintu.
....

tabun
....
ada risau di seberang pulau. pulau dengan sekerat bilur
waktu yang mebiru. Sudah kulunaskan suara daud
lewat nyanyianmu yang tidak kumengerti.
....

serenade
....
mungkin seorang masinis acuh dengan rindu
yang memenuhi gerbong-gerbongnya:
4gelisah yang sewaktu-waktu berubah jadi ular dan
anjing.
....

langgam
....
di jalan ini, saya tidak bisa lagi mengingat apa-apa,
kecuali lebar puisi yang ditumbuhi puntung rokok
dan jerit klakson. di jalan ini, saya hanya taman tanpa
kupu-kupu atau pengamen tanpa lagu-lagu.
....

april
....
april yang gelisah. april jatuh lagi setelah
lampau menubur diri
....

bubungan
....
selanjutnya kamu termenung di
balik gorden, kita perlu telanjang untuk mengenal
tuhan
....

deserium

saya ingin menulis sajak lagi.... (terjadi pengulangan beberapa kali)

februari
....
saya ditingalkan, ia meninggalkan
pulangkan saya, pulangkan malammu
syndrome
....
perempuan dan penyair itu adalah halusinasi puisi,
mereka tidak berdaya atas pertanyaan-pertanyaan
yang datang dan pergi
....

ranjang
....
langit-langit kamar adalah semesta tak berbatas.
di mana lelah dan rindu kitya lepas

segara
....
semisal angin segara mampir ke rumah dhika. jauh di
lubuk sana, antara laut dan lanit yang sama-sama
menyimpan birunya.

stasiun
....
sesekali gitar pengamen menghibur-
ku. tapi riuh stasiun membuat ingatanku kabur entah
ke mana.

pakotan
....
saya ingin pulang tanpa mengenal pergi. tapi pulang
selalu datang tergesa setiap dini hari.
....

pao
....
5yang berlari dengan sepi, yang berjalan dengan hujan,
yang bercumbu dengan batu
....

Kecenderungan sajak Shohifur Ridho Ilahi yang juga kuat adalah sajak ”ngusar” yang hanya menyodorkan makna, sehinga terasa seperti bergumam, ditingkah oleh musikalitas yang juga mengemuka. Tidak mungkinkah dia ingin berteriak seperti Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul ”Aku” ketika mengatakan ”aku ini binatang jalang”. Puisi ”ngusar” sebenarnya sarat makna, yang sekilas kita baca terkadang sulit untuk kita terka maknanya.

Dalam goresan-goresan yang telah dituangkan sulit sekali Shohifur Ridho Ilahi bermain dengan tipografi yang berbeda. Padahal peranan tipografi dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Selain itu tipografi juga berperanan dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuam-satuan makna tertentu yang ingin dikemukan penyairnya. Semisal puisi ”Malam” karya Tengsoe Tjahjono berikut ini.

MALAM

tetes-tetes kerja
mengalir jadi sungai
dan malam jkadi lautnya
gumpal-gumpal duka
membiak dalam nadi
dan malam menhiburnya

satu-satu kegagalan
momok menakutkan
dan malam sobat kentalkan

sekali suka
diajaknya malam mabok-mabokan
irama bosanova
botol-botol asoka

Kita mencoba untuk mengkonsumsinya dengan cara lain. Kerahkanlah imajinasi kalian. Berimajinasi sajalah. Bahkan agar imaji-imaji itu tampil murni. Hindarilah untuk memberi penilaian terhadap segala aspek kehidupan, salah satunya dengan cara menghindari penggunaan kata-kata sifat. Seperti yang ditengarai oleh Sutardji C B bahwa ada kecenderungan ”sajak gelap” dalam perpuisian mutakhir. Demikian pula dalam kumpulan sajak ”masegit”, saya juga menemui kesulitan pada beberapa sajak, yang tampaknya juga gelap, yang artinya: kemungkinan yang paling liar sekalipun sangat sulit untuk menghubung-hubungkan kata-kata yang ada pada satu fokus. Atau jangan-jangan ada dua atau lebih fokus yang saling bersaing dalam sajak yang sama.

Pada sisi lain, sajak-sajak Shohifur Ridho Ilahi ada kebertautan dengan sesuatu yang berbaut maut, pesan alam, dan keterpanaan bahasa Tuhan. Ada kecenderungan sesuatu yang diungkap lebih menampak pada keberlangsungan ”pengalaman hidup” dengan cara kembali merefleksi pengalaman masa lalu dalam tatanan pembenahan dan perbaikan tatanan kehidupan masa kini yang lebih baik.

Memang upaya Shohifur Ridho Ilahi ini dibilang berhasil, namun paling tidak apabila keakrabannya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dipadukan dengan kegigihannya memperkaya khazanah sastra kita, tidak mustahil suatu saat kelas akan fenomenal.


* Disampaikan dalam acara Bedah Buku Antologi Puisi Masegit karya Shohifur Ridho Ilahi di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Palengaan Pamekasan Madura (27/ 09/ 2013/ Sanggar Sastra Teater Kertas).

**Totok Suhartono, Penyair dan Aktor Teater.

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.