Membaca Mesegit, Membaca Sri

Membaca Mesegit, Membaca Sri

Oleh: Edy Firmansyah


Pertama kali menerima buku puisi Shohifur Ridho Ilahi (selanjutnya saya sebut SRI saja), di bawah tiang bendera kampus STAIN Pamekasan, di malam (entah malam keberapa) bulan ramadhan, respon pertama saya, dia termasuk penyair yang berani.

Di tengah maraknya penulis muda menerbitkan buku dengan kata pengantar dari penulis senior, SRI justru memilih melenggang sendiri, tanpa mau diantar siapapun. Seperti anak TK pertama masuk sekolah, dia berangkat sendiri dari rumah. Sementara teman-temannya masih diantar ibunya, neneknya, bapaknya, kakaknya. Ini "angin segar" bagi perkembangan dunia sastra Indonesia. Bahwa anak-anak muda sudah makin memiliki kepercayaan diri. 

Penulis mestinya sadar diri bahwa teknologi makin maju dan pembaca makin cerdas. Pembaca kelas menengah yang memiliki gadget dan aktif di berbagai media sosial tahu, misalnya, Andrea Hirata sedang digosipkan dan dicemooh di twitter karena kecongkakannya mengatakan bahwa Laskar Pelangi satu-satunya buku sastra yang diterbitkan penerbit asing yang kerap menerbitkan buku-buku peraih nobel, tanpa dia mau berendah hati bahwa jauh sebelum dia tau cebok sendiri, Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan Indonesia namanya berkali-kali jadi kandidat nobel sastra dunia dan karya-karyanya telah diterbitkan ke lebih 40 bahasa dunia. 

Karena itu, pembaca tidak perlu didekte pengantar untuk menikmati sebuah buku yang berujung pada komentar, misalnya; "saya tidak suka buku ini." Lalu mencampakkannya di tumpukan paling belakang rak bukunya. Atau sebaliknya; "Buku ini terus membetot kepala saya, ingatan saya dan saya tak bisa melupakannya." Lalu diletakkannya buku itu di rak buku yang mudah dijangkau, untuk dibaca lagi, lagi dan lagi. Bukankah sebuah kebanggaan seorang penulis manakala salah satu puisinya, misalnya, dikenang orang, dibaca orang, dikutip dalam artikel-artikel dan tulisan ilmiah lainnya, dari generasi ke generasi? Dalam urusan ini, penulis dan atau penyair sudah melakukan tugasnya, menulis dan menerbitkan buku. Setelah melenggang ke hadapan pembaca, biarkan pembaca yang menentukan nasibnya. 

Tapi memang urusan begini tak serta merta soal urusan penulis pembaca belaka. Kadang, karya medioker, untuk bisa terus menyandera ingatan pembaca perlu juga melakukan strategi marketing. Mengolah pasar. 'membayar' penulis senior untuk terus membicarakannya bahkan kalau perlu menciptakan polemik di koran, di televisi, di radio. Bahkan ada penulis senior yang gak perlu dibayar, tapi karena karya tersebut layak didukung karena memiliki ideologi yang sama dan kepentingan politik yang sama dia menulis dengan memujinya. Sehingga seakan-akan karya tersebut pantas mendapat ruang dalam ingatan pembaca. Sejarah mengajarkan bagaimana Balai Pustaka melakukan apa yang disebut politik sastra dengan menggadang-gadang karya yang melanggengkan kolonial dengan sebutan sastra tinggi, dan menghancurkan karya-karya yang mengkritik kolonial dengan sebutan sastra rendah. Bahkan membredel dan melarangnya untuk dibaca kalau perlu.

Bukan hanya melenggang tanpa kata pengantar dari penyair lain, Masegit karya SRI itu juga melenggang tanpa endorsemen. Endorsemen adalah pengesahan, pengabsahan, dukungan atau sokongan dari penulis lain dan atau penulis yang lebih senior untuk sebuah buku yang akan terbit. Biasanya endorsemen diletakkan di sampul belakang sebuah buku. Dan kalimatnya penuh bunga. Seringkali positif bahkan kerap disertai pujian yang berlebihan. Tujuannya, lagi-lagi untuk memikat pembaca agar membeli buku tersebut. Sebuah strategi pasar sebenarnya sekaligus sebuah kebanggaan buat penulis/pengarangnya. Di sampul belakang Masegit hanya ada nukilan frase dari puisi-puisi yang dimuat di dalamnya. 

Kalau saya pikir-pikir, endorsemen itu jadi mirip stempel 'halal' MUI jadinya. Dan ini menjamur di banyak penulis dan penyair muda. Kalau tak menerbitkan buku tanpa endorsemen dari senior atau penulis yang dianggap 'empu' belum puas rasanya. Pembaca kadang juga begitu. Tak mau beli buku yang tidak ada endorsemennya. Karena dianggap yang tak ada endorsemennya buruk. 

Padahal ketika menerbitkan Deru Campur Debu, misalnya, Chairil Anwar juga tak pakai endorsemen. Tapi siapa yang tak kenal si binatang jalang itu? Ia terkenal bukan karena promosi HB. Jassin tentang karyanya. Ia terkenal, karena memang kecerdasan dan totalitasnya terhadap puisi patut diacungi jempol. malah tokoh Anwar dalam Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja terinspirasi dari totalitas Chairil dalam berpuisi dan berkesenian. Malah Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya berkali-kali jadi kandidat nobel sastra dunia itu, menuliskan sebuah fragmen yang ditujukan bagi Chairil dalam novel Larasati. Di novel itu Chairil dikisahkan pernah beradu mulut dengan Idrus perihal honor tulisan sajak.

Tentu saja saya tak hendak menyamakan SRI dengan Chairil Anwar. Tapi yang jelas keberaniannya melenggang sendiri dan atau meminjam frase Chairil; 'berani masuk menemu malam (sendirian)' layak diapresiasi positif. Meskipun sukses tidaknya sebuah buku, termasuk buku puisi, banyak faktornya. Mulai cover, warna cover, editing dan terakhir tentu saja isi sebuah buku. 

Berikutnya, membicarakan sebuah buku belum afdol rasanya kalo tidak melihat cover. Cover seringkali jadi pemikat buat pembaca untuk kemudian masuk membeli lalu membaca isi buku (kecuali bukunya memang mau dibagi gratis). Bahkan seorang teman kerap membeli buku awalnya karena suka covernya, tanpa mempertimbangkan isinya. Sebuah cover buku bisa dibuat manasuka. Terserah penerbit dan penulisnya. Tapi seringkali cover dibuat untuk memberikan kesan pertama pada pembaca mengenai tema utama sebuah buku. 

Nah, cover Masegit dibalut dengan dominan warna hijau (sebelum oleh penulis dan penerbitnya cover tersebut diganti dengan warna dan sampul lain. Jadi yang saya ulas di sini cover buku yang pertama saya terima). Judulnya ditulis dengan warna kuning. Sementara nama penulisnya ditulis dengan warna putih. Baik judul maupun namanya penulisnya ditulis dengan huruf kecil. Meski di Madura kata masegit selalu bermakna surau atau masjid, penulisnya tak menggunakan gambar masjid sebagai gambar covernya. Barangkali takut disangka buku islami. Gambar cover yang dipilih adalah lukisan Marc Chagall berjudul "The Falling Angel" (malaikat jatuh). Akibatnya, warna hijau yang menurut saya eksotik itu jadi 'tercemari' dengan warna lukisan Chagall yang tumpang tindih warnanya. Belum lagi garis tepi yang melingkupi lukisan itu membuat cover jadi tampak kaku. Orang lain mungkin bisa berbeda soal warna dengan saya. Tapi apa boleh buat. Selera orang soal cover bisa beda-beda. Dan tentu juga tidak bisa diseragamkan untuk sama-sama suka.

***

Tidak dapat dipungkiri jika dunia sastra Indonesia kini didominasi oleh puisi. Dan puisi di Indonesia didominasi oleh puisi lirik. Kalau boleh dikelompokkan dalam aliran sastra puisi lirik punya tautan erat dengan aliran romantik. Sanusi Pane, Goenawan Muhammad, Acep Zamzam Noer, Ramadhan K.H, Sapardi Djoko Damono, merupakan penyair yang mengusung genre ini dalam puisi-puisinya. 

Dalam sejarah, aliran romantik bermula pada abad 18 masa revolusi industri. Aliran ini merupakan pemberontakan terhadap aliran neo-klasik yang cenderung terikat pada tata cara penulisan berdasarkan norma-norma akademik dan cenderung mengagungkan cerita-cerita dalam istana. Itulah mengapa kemudian Jean Jaques Rousseu, filsuf perancis kelahiran Jenewa, yang kemudian dikenal sebagai bapak aliran romantik, meneriakkan kembali pada alam. Sebab manusia tidak hanya memiliki pikiran tetapi juga memiliki perasaan dan emosi. Dan alamlah yang mendukung dan menentukan perasaan (suasana) hati manusia. Begitu besarnya pengaruh alam bagi pengarang beraliran Romantik, membuat keindahan alam ini menjadi motif pada zaman tersebut. Alam yang digambarkan adalah kesunyian desa di malam hari, desiran kincir air, keindahan laut, alam sunyi hutan, pesona hutan, dan lain-lain.

Di Indonesia akar lirisme di Indonesia, sudah kuat menopang semenjak jaman (sebelum) zaman Belanda, bahkan sebelum didirikannya Balai Pustaka. Hal ini bisa dilihat dari sajak dan pantun yang berpola 4 baris dan terutama menggunakan metafor yang indah. Nyaris tidak ada kata-kata sarkas yang dipilih oleh penulis (pada jaman itu) dalam karya-karyanya.

Karena itulah kemudian bahasa liris digunakan penguasa untuk menancapkan kukunya sebagai satu-satunya media yang memiliki nilai estetika. Dan Balai Pustaka merupakan lembaga kesusastraan zaman kolonial yang punya peran besar dalam melestarikannya. 

Nah, Masegit karya SRI boleh dikata masuk dalam aliran ini. Puisi-puisi seperti hijryna, alomampa, sarmabe, jazirah, lonceng, segara, sekedar menyebut contoh, kuat sekali unsur lirik romantiknya. Dalam bait awal Jazirah, misalnya; sesungguhnya janur-janur memanjang pada maghrib yang telungkup di batas hari. Sekedar diketahui, beberapa ciri aliran romantik diantaranya; individualistik, sentimentil, primitif, kemurungan dan eksotis. 

Puisi Bhing (diambil dari panggilan Cebbing (madura, red) sebagai sebutan buat anak perempuan) merupakan salah satu dari banyak puisi SRI yang menceritakan tentang sentimentil itu. 
"Bolehkah saya bacakan satu buah kisah untukmu, iqlima? tentang peta yang digambar oleh lelaki yang kehilangan rusuknya saat subuh tengah menghitung jumlah embun di tubuhnya yang telanjang.
Saya tahu, kamu akan terus diam dan tak akan menjawab setiap pertanyaan saya. Tapi saya akan tetap bercerita. Mengajakmu ke lembah paling dalam. Baiklah, saya mulai dari bangku ini, lalu dirimu, kemudian kamar yang kosong itu......(hal. 31-32)

Dari dua paragraf puisi diatas (dari delapan paragraf puisi utuhnya) dapat dibaca bahwa aku lirik tengah bercerita pada Iqlima. Dengan banyak metafor aku lirik bercerita tentang peta yg digambar oleh laki-laki 'galau' yang kehilangan rusuknya. 

Umumnya sajak-sajak aliran romantik kerap menggunakan metafor. Namun meski cenderung banyak menggunakan metafora, bukan berarti metafora tersebut membuat narasi yang dibangun dalam puisi lirik jadi kehilangan maknanya. Apalagi terjerumus dalam metafora yang berdesakan dan justru kehilangan narasi sebagai fondasi kekuatan puisi.

Di puisi Bhing, misalnya. Aku lirik bertanya; bolehkah saya bacakan satu buah kisah untukmu, Iqlima? Namun si Iqlima tak menjawab, karena itu kemudian aku lirik mempertegas pertanyaannya di awal paragraf puisi tersebut di paragraf kedua; Saya tahu, kamu akan terus diam dan tak akan menjawab setiap pertanyaan saya. Tapi saya akan tetap bercerita.

Di sini kelihatan bagaimana ketidakkonsistenan makna frase puisi tersebut. Di paragraf awal aku lirik hanya bertanya satu pertanyaan tunggal; bolehkah saya bacakan satu buah kisah untukmu, Iqlima? Tapi di paragraf kedua kesannya aku lirik bertanya banyak hal dan si Iqlima hanya diam. Saya tahu, kamu akan terus diam dan tak akan menjawab setiap pertanyaan saya. Tapi saya akan tetap bercerita. Kata 'setiap' yang mendahului kata 'pertanyaan' bukankah merupakan bentuk lain dari pertanyaan yang jamak?

Berikutnya, masih dalam paragraf kedua; setelah aku lirik tetap akan bercerita meski Iqlima diam saja, hal-hal yang akan diceritakannya adalah, bangku, Iqlima dan kemudian kamar yang kosong. 

Saya tahu, kamu akan terus diam dan tak akan menjawab setiap pertanyaan saya. Tapi saya akan tetap bercerita. Mengajakmu ke lembah paling dalam. Baiklah, saya mulai dari bangku ini, lalu dirimu, kemudian kamar yang kosong itu. 

Namun di paragraf ketiga dan paragraf selanjutnya pembaca tak disuguhi tentang janji bercerita tiga hal itu. Malah aku lirik justru merasa telah menyelesaikan cerita tentang tiga hal itu. 

sejak itu Iqlima, sejak saya lunaskan cerita itu saya tak lagi mendengar bisik jantungmu. ah, mungkin menyusut pada dinding dermaga yang basah keringatmu.

Mana ceritanya bangku ini, dan kamar kosong itu? Tak ada. Di paragraf berikutnya kita hanya disuguhi cerita soal aku lirik dan Iqlima saja. Janji tentang bercerita bangku dan kamar yang kosong itu diabaikan begitu saja oleh aku lirik. 

Tapi tentu tak semua puisi dalam Masegit-nya SRI seperti itu. Puisi berjudul serenade misalnya (hal. 47). Sekedar diketahui, sebenarnya puisi ini kala dimuat di media massa (saya lupa entah di harian Wawasan Medan atau di Riau Pos) judulnya serenade sepasang rel. Tapi kala dimuat ulang dalam bentuk buku Masegit, judulnya serenade saja. 

Puisi tersebut merupakan salah satu puisi yang saya suka. Kalimatnya tertata rapi. Tidak ada akrobat-akrobat kata yang penuh metafor yang tak perlu dan justru melemahkan maknanya. Ditulis dengan santai dan tak terlalu banyak momen dramatis dalam setiap frasenya. Persis seperti musik-musik serenade di era klasik dan jaman romantik. Ceritanya tentang aku lirik yang sedang curhat pada kekasihnya perihal stasiun dan segala denyut nadinya. Di endingnya, dengan gaya personifikasi yang kuat, aku lirik membuka diri pada pembaca bahwa dia yang curhat pada kekasihnya itu hanyalah curhat sepasang rel.

Seandainya penyairnya konsisten dengan gaya seperti ini dalam seluruh puisi-puisinya dalam masegit, saya barangkali bisa membaca buku itu sampai tuntas, tanpa harus membaca dengan melompat-lompat dari halaman depan ke belakang. Dari tengah ke belakang lagi. 

'Keunikan' lain dari buku puisi SRI adalah diksi-diksi lokal yang banyak bertebaran di puisi-puisinya. Meskipun kebanyakan diksi-diksi lokal itu hanya judul saja tidak ingklut sepenuhnya dalam bait-bait puisinya. Semisal, masegit, sarmabe, tabun, ngusar, pao, bhing, munte', alomampha, dsb. Juga tak sedikit kata ilmiah yang turut juga hanya dijadikan judul semisal; syndrome, desirium, equilibrium, dan shymptom. 

Barangkali memang untuk membicarakan puisi, suka tidak suka, kita juga harus juga membicarakan penyairnya. Karena kelahiran puisi selalu juga dipengaruhi ekstraliterer di luar penyairnya. Lingkungan lokalnya, komunitasnya, bacaan-bacaannya, dan aktivtas-aktivitasnya. Sebab kesemuanya itu berkelindan dalam proses kreatif berkarya. 

Penggunaan diksi lokal dan kata ilmiah itu tentu tak lepas dari penyairnya yang asli madura dan kuliah di jurusan teologi dan filsafat di Yogyakarta. Jika buku SRI memang disasar pada pembaca lokal (madura) dan mengerti makna dari kata ilmiah yang didesakkan dalam beberapa judul puisinya barangkali tepat. Tapi tak semua pembaca suka dengan kerumitan-kerumitan seperti itu. Membaca puisi harus didampingi kamus ilmiah atau kamus bahasa madura. 

Tapi memang kemudian penyairnya punya alasan retoris mengapa diksi itu penting digunakan dalam puisi-puisi. Sementara itu di luar sana, pembaca seakan tak mau berdamai dengan alasan retoris penyairnya dan bergeming tentang ketaksukaan pada sebuah buku puisi karena terlalu rumit dan berujung pada vonis pembaca yang 'kejam'; sama sekali tak tersimpan dalam isi kepalanya. 

Padahal untuk menghasilkan sebuah puisi yang menjadi (meminjam istilah Chairil Anwar) seorang penyair tidak hanya berbekal alat artistik belaka. Melainkan alat artistik sebuah puisi seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya mampu menciptakan relasi timbal balik antara aspek ironi, paradoks dan metafor untuk memberikan makna pada sebuah karya, kemudian mengorganisasikan kesemuanya itu dalam tema kemanusiaan yang penting. 

Itulah mengapa sebuah sajak yang menjadi tidaklah rumit dicerna bahkan oleh orang awam sekalipun, tapi memiliki kedalaman makna bukan sekedar akrobat kata belaka dan permainan irama kata belaka. Biasanya sebuah sajak yang menjadi adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian atau ketuhanan yang mengharukan si penyair dan rasa haru itu juga mampu ditangkap dan dirasakan pula oleh pembaca atau pendengarnya. 

Karena itu kematangan penguasaan bahasa dan intensitas penghayatan pengalaman hidup adalah dua hal yang wajib digeluti untuk menciptakan sebuah puisi yang menjadi itu. Beberapa contoh sajak yang menjadi itu bisa dibaca pada sajak-sajak Chairil Anwar, Sajak-sajak Rendra terutama di kumpulan puisi Blues untuk Bonnie dan sajak-sajak Wiji Thukul. Sehingga yang lahir bukanlah khayalan kosong belaka, tapi imaji pengalaman hidup yang dituangkan dalam puisi dengan kematangan bahasa yang mumpuni. Dan pencapaian-pencapaian semacam itu tidaklah sekali jadi. Dan SRI masih punya peluang untuk mencapai itu semua. 

Harus saya akui tak mudah mencerna puisi-puisi SRI. Saya sendiri pernah kapok mencerna puisi Nirwan Dewanto dalam Jantung Lebah Ratu. Puisi-puisi SRI meski naratif kadang penuh dengan akrobat kata-kata dan rimbunan metafora yang membuat pembaca awam macam saya harus mengerutkan kening mengurai maknanya. 

Selain itu, Masegit juga menghadirkan 'percobaan' permainan kata jamak yang kerap hadir dalam puisi-puisi koran minggu, yang bukannya memperkuat makna justru malah merusak kekuatan puisi lirik. Contoh percobaan kata jamak yang saya maksud misalnya; "reranting" (ubahan dari ranting-ranting, dalam qomariyah, hal.29-30), "dedaun" (ubahan dari daun-daun, dalam jazirah, hal.33), "rerimbun" (ubahan dari rimbun-rimbun, dalam trilogi, hal. 37), bebatang (ubahan dari batang-batang. dalam syndrome, hal. 54). Pola kata jamak seperti itu pola yang terdapat pada bahasa jawa. Tujuan hanya mengejar permainan bunyi saja tanpa diimbangi dengan suatu makna. Padahal hal yang penting dilakukan oleh penyair adalah memaknakan kata. Bukan mengakrobatkan kata. 

Namanya juga percobaan, akhirnya kata jamak pola jawa itu tak konsisten digunakan dalam banyak kata jamak dalam puisi SRI. Kata jamak lagu-lagu, misalnya, masih tetap ditulis lagu-lagu oleh SRI, bukannya ditulis lelagu. Kata jamak batu-batu, tetap ditulis batu-batu, bukannya bebatu. Kata jamak jalan-jalan, tetap ditulis jalan-jalan bukannya ditulis jejalan. 

Sampai di sini, kita semua harus pahami bahwa proses penciptaan sebuah karya sastra merupakan proses yang tak mudah. Kadang yang telah disusun ada yang terbangun megah ada yang terbelah. Bukankah segala yang abadi dari kesempurnaan sejati adalah ketidaksempurnaan itu sendiri? Karena itu, pembacaan saya atas masegit karya SRI bukanlah pembacaan yang tanpa cacat. Terlebih pembacaan yang saya lakukan bukanlah pembacaan seorang kritikus sastra, melainkan cuma pembaca yang kebetulan menyukai puisi dan mencoba mengapresiasi sebuah buku puisi. 

Ya. SRI telah menunaikan tugasnya sebagai penyair. Membuat buku puisinya hadir ke hadapan pembaca. Kita sebagai pembaca makin punya banyak pilihan bacaan puisi. Sebagaimana seleksi alam, buku puisi yang sebagian besar isinya bisa dikenang pembacanya karena memiliki unsur penceritaan dan memiliki tema kemanusiaan yang penting yang akan bertahan. Sementara buku puisi yang tidak mampu membius ingatan pembaca akan dilupakan. Dan biarlah Masegit menentukan nasibnya sendiri di hadapan pembaca. Sejarah yang akan membuktikan masuk golongan mana ia. 

*Edy Firmansyah, Penyair dan Wartawan Freelance.

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.