puisi ini
masuk dalam buku Akulah Musi
(Palembang International Poet Ghatering 2011)
pekuburan itu tak bernama
malammalam
begitulah adanya; burung hantu bermata gelap memandang bulan, suara jangkrik
meningkahi ricik embun, dan asap membubung tinggi di atas gundukan tanah yang
mengubur kembang tujuh benua.—hingga kini pekuburan tua itu tak bernama, aku
akan menamainya dengan waktu, katamu sambil menaburkan gerimis yang kelak
akan tumbuh menjadi cahaya, boleh kau panen semuanya.
engkau mulai berkisah tentang jam yang mengalir
di dadamu, lalu alirannya beku sebelum sampai ke muara.
mulamula
engkau larilari kecil, mengejar angin yang tak pasti, lalu sudut kecil kau
singgahi; berdiri rapuh di depannya, telungkup pada gigil malam, menatap bulan,
bulan kelam. ternyata kisah itu kau simpan pada remang bulan yang sembab di
jalan jalan.
lagulagu kumbang menyayat di jum’at kelabu. aku
menunggu ragu kisah selanjutnya. malam kembali larut dan bulan tak henti
menyahut bahwa pagi akan segera berakhir.
matamu
memejam—lagulagu kumbang memecah bulan— lalu kau berucap: wajahku benderang
dalam perut bumi, petakan apa saja yang kau lihat dari gelisahku; 99 cerita
yang membujur ke bola mataku atau historiografi tanah yang ditumbuhi kembang
tujuh benua, kembang yang pernah diterbangkan muram langit kelam.
jogja, 2011