kubur sajakku, kubur lautku


puisi ini masuk dalam buku  Akulah Musi  (Palembang International Poet Ghatering 2011)

pekuburan itu tak bernama

malammalam begitulah adanya; burung hantu bermata gelap memandang bulan, suara jangkrik meningkahi ricik embun, dan asap membubung tinggi di atas gundukan tanah yang mengubur kembang tujuh benua.—hingga kini pekuburan tua itu tak bernama, aku akan menamainya dengan waktu, katamu sambil menaburkan gerimis yang kelak akan tumbuh menjadi cahaya, boleh kau panen semuanya.

engkau mulai berkisah tentang jam yang mengalir di dadamu, lalu alirannya beku sebelum sampai ke muara.
mulamula engkau larilari kecil, mengejar angin yang tak pasti, lalu sudut kecil kau singgahi; berdiri rapuh di depannya, telungkup pada gigil malam, menatap bulan, bulan kelam. ternyata kisah itu kau simpan pada remang bulan yang sembab di jalan jalan.

lagulagu kumbang menyayat di jum’at kelabu. aku menunggu ragu kisah selanjutnya. malam kembali larut dan bulan tak henti menyahut bahwa pagi akan segera berakhir.

matamu memejam—lagulagu kumbang memecah bulan— lalu kau berucap: wajahku benderang dalam perut bumi, petakan apa saja yang kau lihat dari gelisahku; 99 cerita yang membujur ke bola mataku atau historiografi tanah yang ditumbuhi kembang tujuh benua, kembang yang pernah diterbangkan muram langit kelam.

jogja, 2011



Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.