PERAHU YANG BERNAMA MAWAR ITU
Membaca
Puisi-puisi Shohifur Ridho Ilahi dalam Manuskrip “Perahu Mawar”
Moh. Fathoni
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra UGM Yogyakarta)
Mawar
merupakan simbol penting dalam tradisi sastra Inggris terutama dalam sastra
romantis. Simbol mawar pada mulanya merupakan ajaran Kristiani yang kemudian
berkonotasi sekuler. Pada masa Elizabeth, para penyair tak terhitung jumlahnya
yang menggunakan simbol mawar dari berbgagai sudut pandang dalam
puisi-puisinya. Robert Burn, misalnya, yang menulis ‘My luve’s like a red, red
rose’ menjadi penanda bahwa mawar merupakan bagian integral sastra romantik.
Chirstina Rossetti, Yeats, dan O. Henry juga menulis ‘mawar’ dalam
puisi-puisinya. Mawar dalam tradisi tersebut dipandang sebagai kedamaian, daya
hidup, pesona, cinta, kecantikan, kemurnian, bahkan gairah. Tidak hanya itu,
mawar juga memiliki relevansi dalam sejarah dan simbol kebangsaan Inggris.
Mawar Tudor atau Mawar dari Inggris digunakan sebagai simbol perdamaian ketika
berakhirnya Perang Mawar antara penguasa Lancaster dan York yang berlangsung
selama 30 tahun (1455-1485 M).
Namun,
berbeda bagi Shohifur Ridho Ilahi dalam manuskrip puisi-puisi Perahu Mawar ini.
Mawar baginya tampak bukan simbol yang menjadi unsur dominan, sekaligus
bukan semata tak berfungsi apa-apa. Disebutkan bahwa mawar adalah nama perahu
milik seorang ayah. Hanya sebuah nama. “What’s in a name?” Begitu tulis
Shakespeare yang terkenal itu dalam kutipan Romeo dan Juliet, “That which we
call a rose by any other name would smell as sweet.” Andaikan bunga mawar
disebut dengan nama yang lain, mawar tetaplah wangi. Bahkan, tanpa nama mawar
pun perahu sang ayah tetaplah sebuah perahu. Tanpa nama Pasongsongan pun laut
tetap memiliki karang dan ombak atau jelasnya laut tidak hanya ada di
Madura. Kira-kira begitu.
Mawar
dalam puisi Perahu Mawar, misalnya, merupakan sebuah nama; nama perahu yang
bersifat personal seorang ayah. “Perahu ayah mawar namanya… Mawar hanya perahu
nelayan biasa,” begitu tulisnya dalam puisi Perahu Mawar. Perahu Mawar bukan
perahu yang luar biasa seperti perahu Nuh, atau misalnya, perahu Pasongsongan
(Madura), tetapi justru hanya perahu milik seorang ayah. Maka, persoalan identitas
etnis dan tradisi dilokalisir, dialihkan, atau dijadikan persoalan identitas
perahu milik ayah yang bernama mawar. Sang ayah mungkin seorang pengikut agama
dan patuh kepada kitabnya, sehingga benda-benda mesti diberi nama agar dapat
dikendalikan. Kita berbicara mengenai bahasa yang berpotensi sarat dengan
kemungkinan penghadiran sesuatu dan historisitasnya.
Di
sini tampak personalitas penyair dalam merealisasikan identitas lokalnya.
Sebab, dalam pengkajian suatu teks pelibatan konteks social dan latar
belakangnya tidak dapat dielakkan. Realisasi identitas itulah yang mewarnai
manuskrip puisi ini. Setiap sesuatu mempunyai sejarahnya sendiri, punya logika
atas kehadirannya. Manuskrip ini adalah calon buku puisi tunggal pertama
Shohifur Ridho Ilahi, penyair muda yang lahir dan besar di Madura.
Manuskrip
Perahu Mawar ini terdiri dari 34 judul puisi dan ditulis pada rentang sekitar
2-3 tahun terakhir (2011-2013). Membaca Perahu Mawar ini saya menangkap
kecenderungan persoalan eksistensi-diri yang bersinggungan dengan cinta, dengan
alam, dengan persoalan sosial, persoalan asal-muasal yang bernama tanah
kelahiran, yang bernama keluarga ataupun rahim—yang ditulis secara sadar, bahwa
waktu dan tuhan, kelahiran dan kematian, kenangan dan impian, lautan dan daratan,
bahkan kegaiban dan halusinasi adalah narasi yang ironis sekaligus estetis.
Lihat misalnya dalam puisi Aku Ingin Menulis Sajak Lagi, Talkin Batu-batu,
Langit-Langit Sebuah Kamar. Sedangkan dalam puisi Kepada Lelanceng,
Pasongsongan, Perahu Ba’, Perahu Mawar, Penggir Sereng; Dua Pantai Di Tanduk
Majang, Ziarah Malam Qomariyah, Rokat, Hikayat Pohon Beringin, tampak sikap dan
pandangan penyair mengenai lokalitas, khusus puisi Beberapa Perihal Tentang
Perempuan Pertapa Yang Cantik Jelita Itu menggunakan narasi Joko Tole dan Putre
Koneng. Yang terakhir ini merupakan contoh penggunaan etno-historis di dalam
puisi.
Secara
tema, manuskrip Perahu Mawar memuat beberapa persoalan. Pertama, mengenai
etno-historis yang tampak dominan dalam narasi identitas penyair. Kedua,
mengenai pengandaian simbolik yang diikuti oleh ekspresi estetik pada
puisi—juga pada puisi-puisi lainnya. Yang pertama memicu pertanyaan: apakah
narasi etno-historis itu dalam sastra turut berperan serta dalam aspek
historisitas dan lokalitas? Barangkali ini pertanyaan yang entah dijawab atau
tidak kita jawab. Tetapi, pertanyaan ini penting, yang kemudian akan
mengarahkan pada suatu kesadaran lokalitas yang dilokalisasikan; suatu
kesadaran identitas lokal yang dimunculkan ke dalam puisi-puisinya.
Selain
itu, kesadaran itu memungkinkan realisasi diri penyair yang kaitannya dengan
kreativitas penyair: sejauhmana kemerdekaan penyair, merdeka dari aspek-aspek
dari luar dirinya; jika dalam hal etno-historis, puisi-puisi yang mengangkat
persoalan sejarah dipertanyakan, lantas apakah puisi (karya sastra) yang
demikian itu hanya menelan tokoh dan peristiwa yang sudah ada dalam teks-teks
sejarah ke dalam puisi, atau apakah dengan puitika sejarah itu turut serta
dalam menawarkan (bahkan menentukan) historiografi yang bersangkutan? Atau,
apakah puisi itu berperan serta menjadi jembatan antara tradisi dan identitas
lokal historis menuju kekinian, memberikan suatu pemaknaan terhadap tradisi dan
bentukan-betukannya atau sekedar melokalisasi nilai dan tradisi ke dalam teks
puisi?
Realisasi
diri tersebut tampak dalam puisi Hikayat Pohon Beringin mengandaikan bahwa laut
dan maut saling bertaut. Laut disini dipandang sebagai keniscayaan bahwa kini
laut telah menjadi keruh meski udaranya tetap sejuk. Sedang, di bawah pohon beringin
dapat menjadi tempat berteduh. Dalam puisi ini penyair bahkan menggunakan
cerita Joko Tole, laut dihadapkan pada hutan dengan pepohonan diandaikan
sebagai rumah yang hilang. Tetapi, laut tetap laut dan Joko Tole adalah
realitas yang mengendap dalam benak tradisi masyarakat, dalam cerita
asal-muasal identitas Madura.
Dalam
puisi yang lain, Perahu Ba’, laut diandaikan sebagai sampan yang bisa saja
menjadi keranda kematiannya. Ironis. Tampaknya penyair tidak semata-mata
memandang laut sebagai rumah, tempat kembali, sebagai kehidupan sebagaimana
leluhur nelayan. Narasi Joko Tole dan Putre Koneng (Putri Kuning) merupakan
narasi lain yang justru lebih kuat historisitasnya daripada laut, atau memang
laut tidak punya sejarah? Pengangkatan narasi Joko Tole tentu memiliki
implikasi yang berhubungan dengan muasal Madura dan kaitannya dengan kekuasaan
kerajaan Majapahit di Jawa yang hegemonik dalam cerita itu. Pertanyaannya
dimana kemerdekaan dan realisasi diri penyair dalam narasi itu?
“Belajarlah
pada kisah berabad lampau saat kemarau adalah kawan hidup di pulau-pulau.
Simaklah orang-orang tua itu berkisah tentang amis darah ketika sawah dijarah.”
Masa lampau oleh penyair diposisikan ambivalen, tetapi dalam puisi Hikayat
Pohon Beringin dipandang sebagai kekinian yang terpenggal. Berbeda dengan puisi
Beberapa Perihal Tentang Perempuan Pertapa yang Cantik Jelita Itu. Puisi ini
mencoba merekonstruksi peristiwa Putri Kuning dan Joko Tole, tetapi dengan
kacamata masa lampau sehingga tidak ada pandangan kritis terhadap cerita itu.
Meskipun, di dalam puisinya menyertakan pertanyaan: benarkah tuhan yang
meniupkan benih pada rahimnya, seperti ketika tuhan menitipkan jesus di rahim
maria? Pertanyaan ini tidak memiliki tendensi kritis yang dapat menggoyah
narasi besar Joko Tole, yang dengan demikian pertanyaan ini diabaikan—tidak ada
relevansinya dengan kekinian. Rekonstruksi narasi tentang sejarah atau masa
lampau sarat politis—atau setidaknya berkaitan dengan unsur politik dan
kekuasaan. Sebab, dalam kasus ini penciptaan narasi itu tidak lepas dari
hegemoni kerajaan Majapahit. Pertanyaannya dimana kemerdekaan dan realisasi
diri penyair dalam narasi itu? Tampaknya penyair abai dengan persoalan
demikian, atau memang tidak diarahkan kepada hal itu, sedangkan persoalan
identitas subjek disini cukup ambivalen seperti dilewatkan begitu saja.
Selain
narasi itu, narasi tentang perempuan Putri Kuning dalam puisi dapat
disejajarkan dengan keberadaan Eva (Hawa) sebagaimana ibu. Dalam puisi Karena
Aku Mencintaimu, Maka Aku Gugurkan Daun-daun, keberadaan Eva dipandang melalui
sudut pandang aku-anak. “Adakah aku terlampau durhaka, va? aku tahu, tuhan
memang sayang pada kita. karena itulah dia utus engkau untuk melahirkan aku
menjadi sajak yang tak perlu bahasa. sesunguhnya bahagia bukan janji tuhan
bernama surga, melainkan menatap wajahmu jauh lebih indah dari segalanya.”
Pada
puisi yang terakhir ini, realisasi diri penyair muncul. Penyair merdeka dengan
kediriannya dengan mengatasi persoalan dan kekuasaan yang melingkupinya;
kekuasaan tuhan. Merdeka dari tuhan dan surga-nerakanya: mencintaimu bukan
sekadar kewajibanku, va. tapi sentuhan hangat jiwamu selalu membuat aku
mengerti, bahwa cintamu sepenuh hati dan sungguh begitu abadi. maka dari itu
duhai eva, izinkan aku gugurkan daun-daun, tersebab aku tahu kalau cintamu jauh
lebih hijau dan teduh.
Sedangkan
identitas penyair dalam puisi Kepada Lelanceng seperti kembali diidentikkan
sebagaimana tradisi pesisir dan madura. Laut diidentikan dengan tubuhnya. Meski
terasa ambigu dengan laut sebagai rumah (tak ada yang mengerti mengapa kau
harus pulang ke laut), tetapi jelas tampak adanya realisasi diri terhadap
kehidupan alam: pulangkan ke nadimu. pulangkan ikan-ikan yang berenang. Hal ini
sebagai upaya menyeimbangkan kehidupan sebagaimana ombak yang selalu gelisah.
Realisasi kegelisahan penyair disampaikan dengan bahasa, dengan celurit sebagai
identitas penyair: menjalani hidup serupa mengasah celurit yang sama tajamnya
dengan takdir. Puisi ini seperti halnya dengan puisi Rokat yang menggunakan
bahasa tradisi untuk memahami keberadaan dirinya. Seperti kapal yang mampu
menjemput luka bagi laut yang sendiri.
Pertanyaannya,
apa jadinya realisasi penyair jika tanpa tradisi-lokal dan alam lingkungannya?
Dalam beberapa puisi lain penyair mencoba menjauh dari realisasi semacam itu.
Puisi Percakapan di Sore Kesepuluh misalnya, meski tak benar-benar menjauh,
puisi ini merespon dan berbalikan dari apa yang dilakukan sebelumnya. “aku
hanya ragu dengan kapal-kapal itu. apakah mereka benar-benar berlayar?” Dan,
katanya, ternyata laut begitu angkuh: betapa kapal-kapal itu dilempar ombak.
hendak ditelan samudra. ternyata laut begitu angkuh dan tidak sebiru yang aku
kira.” Hal yang semacam ini pun sudah tampak dalam puisi Hikayat Pohon Beringin
dan Surat Garam; Kuburku: Perahu dengan sekuntum rindu pun karam.
Namun,
puisi Penggir Sereng, Dua Pantai di Tanduk Majang cukup representatif
menyatakan bahwa realisasi diri penyair ternyata tidak benar-benar lepas dari
lingkungannya yang sekaligus berjarak dengannya.
di
laut itu. di laut pasongsongan itu tiba-tiba ada yang hadir, tiba-tiba ada yang
lahir. apa yang lebih mengalir ketimbang doa-doa ibumu? …
memandang
laut dari dermaga pasongsongan adalah mengibarkan bendera sajak-sajak di pucuk
tiang perahu ayahku …
aku
mulai belajar menulis namaku sendiri di atas pasir.—bila kelak namamu dihempas
ombak, perahu ayahmu yang akan menjemput huruf-hurufnya.…
kemudian,
aku pandangi dirimu dengan mata sajak yang dikawin ombak yang dikutuk pantai.…
seketika
pantaiku disulap jadi ziarah tanpa rimbun kemboja.—engkau makin asing dengan
kematian, entah kematian apa yang bisa kau sebut kenangan. sebab kematianmu
akan berakhir dalam tubuhmu sendiri.
sejak
itu pohon jati tak lagi rimbun dedaunnya, entah kemana hijaunya. tapi batangnya
makin kokoh berdiri meski buih dan ombak memainkan lagu-lagu duka lagu-lagu
murka… boleh jadi dikirimnya ombak supaya kau paham seburuk apa kata yang kau
tulis atau semulia apa sajak yang bakal kau bisikkan.
Sekali
lagi, penyair menyertakan dirinya dengan sang ayah-ibu, muasal tubuhnya.
Seperti pernyertaan hubungan dirinya dengan sejarah lokal, kehidupan lampau,
dan alam lingkungannya; realisasi semacam ini menjadi rentan jika dipertanyakan
bagaimana peran manusia dalam proses kehidupan lingkungannya itu, selain
alam-lingkungan yang dieksplorasi. Jika dalam puisi Perahu Mawar, manusia itu
adalah makhluk atau orang biasa (seperti ayahnya yang nelayan biasa); sang ayah
yang menjahit luka hidupnya sendiri. Lantas, manusia macam apa yang persoalkan
penyair, yang biasa-biasa saja atau menggagahi tradisi, ajaran agama, system keputusasaan
global, atau apa? Atau justru dirinya sendiri yang dipersoalkan, tanpa ada
urusan dengan hal-hal lain yang melingkupinya?
Eksplorasi
Imaji
Apa
yang khas dari puisi-puisi Ridho? Bagi saya secara estetik, pertama, Ridho
cenderung pada gaya naratif yang memungkinkan eksplorasi imajinya sebagaimana
ombak datang bergulung-gulung. Lihat misalnya dalam puisi Perempuan-perempuan
yang Menulis Namaku di Tubir Pantai:
kata-kata
kehilangan diksi, kalimat tak berpangkal, pasar yang sunyi, jembatan bambu,
pekuburan tua orang cina, kemenyan nenekku, merah delima, cinta di blackstone
cofee, sihir, rindu, tuhan, perempuan, kuliah, buku, demo, facebook, aril
peterpan, luna maya, dunia maya, tagihan listrik, sepak bola, naturalisasi,
politik, ekonomi, budaya, budi tak berdaya, gayus si tambun, kpk,
sby-boediyono, westernisasi, globalisasi, nasi, terasi, polusi, polisi, kopi,
aih, hmm, amboi, wahai, duhai, dan…
begitu
juga dalam puisi Beberapa Perihal tentang Perempuan Pertapa yang Cantik Jelita
itu:
tapi
tetap ia tak berniat meluluri tubuhnya dengan bedak, memoles bibirnya dengan
gincu dan melukis tubir matanya dengan celak gelap…. dengan air tujuh sumber
tujuh kembang ia dimandikan. disucikan dari segala macam dosa. lalu diarak
dengan iringan tetabuh dan doa-doa bangaseppo. kemenyan dinyalakan. Asapnya
merobek langit. berhamburlah malaikat turun ke bumi. mengamini perkawinan sang
putri yang berbusana penuh tetabur malateh pote. tapi wahai, ia lebih memilih
keningnya dibenamkan pada tanah dan bebatu.
bersatu
dengan gelap dengan batu dengan tanah dengan ricik air dengan belukar dengan
angin dengan hujan dengan panas dengan binatang dan dengan apa saja yang kelak
disebut purba. tanpa makan tanpa minum tanpa lelap sampai malam ke tujuh sampai
malam terlampau sepuh.
gaya
yang demikian disebut khas mempunyai daya debur berpola naratif, baik yang
menggunakan kata, frasa, maupun bait secara pararel dalam puisi Ridho. Hal ini
menimbulkan bunyi dan getaran imaji yang sangat terasa. Meski tidak semua puisi
dalam manuskrip ini menggunakan pararelis yang demikian. Dan jika sering-sering
digunakan atau terlalu panjang pun cenderung membosankan. Pengutipan itu hanya
beberapa contoh. Kedua, yang menarik dari eksplorasi imaji yang mampu
menjembatani antara bentuk dan isi, sebagai pembentukan makna. Lihat misalnya
dalam puisi Hikayat Pohon Beringin: bulan berpendar. malam berselimut daun
lontar. tak ada yang dibakar. Kutipan ini untuk berbalikan dengan keteduhan
rindang pohon beringin. Suasana yang diungkapkan menghidupkan rampak naong,
beringin korong.
Selain
itu juga tampak dalam puisi Talkin Batu-batu. Lagi-lagi dalam pengungkapan
suasana yang kebalikan dari keadaan hidup yang keras dan terlupakan: hijau
jantung yang memutik di pepucuk ingatan adalah kota yang kita cumbui setiap
malam. Eksplorasi imaji yang demikian paling tampak ialah penggunaan imaji
tetumbuhan ketika menuliskan mawar dalam puisi: sepucuk ingatan. Sekuntum rindu
dalam puisi Surat Garam. Rindu diandaikan sebagaimana bunga, yang kemudian
diasosiasikan dengan perahu: perahu dengan sekuntum rindu pun karam.
Pengandaian semacam ini berpotensi untuk menguatkan imaji dan menyatukan dengan
makna yang ingin disampaikan. Puisi yang dominan dengan menggunakan cara ini
adalah puisi Perahu Mawar. Narasi nelayan dan perahu: tiang alifnya (tiang
perahu), menjahit hidup (menjahit jaring), ikan bersirip pelepah purnama dan
menggagahi ikan-ikan (ketika melaut). Cara yang demikian sering digunakan oleh
penyair yang menyadari kekuatan metafor dalam puisi sebagai saluran dalam
pemaknaan.
Namun
demikian, eksplorasi imaji yang menggunakan pengandaian mudah terpeleset ketika
penyair kurang memperhatikan makna dan asosiasi kata dalam kebahasaan puitik
puisi. Misalnya, dalam puisi Kembang Lukisan: Malam yang dilahirkan dalam
selanjutnya kita bertanya tentang malam yang dilahirkan. tapi tak ada jawaban.
hanya saja kita melihat jalan bercabang. Sepertinya penyair kurang
memperhatikan penggunaan akhiran-awalan (di-an) yang transitif, yang
membutuhkan subjek: jika malam yang ‘dilahirkan’, lantas siapa yang
melahirkannya. Jika tidak membutuhkan subjek (intransitif) maka digunakan kata
‘terlahirkan’: malam yang terlahirkan. Demikian kekurangcermatan dalam konteks
kalimat. Dalam konteks struktur bahasa, misalnya, dalam puisi Vredenburg: akhirnya
awan di barat adalah mendung lain hujannya dan matahari di timur adalah cahaya
lain teriknya. Kasus ini seperti mudah dipahami tetapi juga membingungkan arti
kata, sebab struktur kata yang bertumpuk. Selain itu, dalam penggunaannya Ridho
seperti terobsesi dengan metafor dan pengandaian yang diciptakannya. Misalnya,
ikan-ikan bersirip daun mawar, kematian yang dihidupkan, dan menyusuri
gang-gang sempit beberapa pengandaian yang beberapa kali digunakan dalam
puisi-puisi lain.
Lepas
dari eksplorasi itu puisi-puisi manuskrip ini cenderung mengarah pada realisasi
diri penyair yang sebenarnya tidak dapat lepas dari lingkungan kehidupannya,
baik itu terhadap historisitasnya, maupun alam pikiran masyarakatnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana dengan puisi-puisi yang
mengangkat persoalan cinta dan ketuhanan, yang sebenarnya juga terdapat dalam
manuskrip ini. Seperti misalnya, persoalan daerah lain selain komunitas
etniknya: peristiwa Giyanti di Yogyakarta, penyair tidak serta merta lepas dari
identitas etnisnya, meskipun sebagaimana disebut di atas, tidak semua laut
milik Madura atau tidak semua nelayan adalah ayahnya, atau tidak semua perahu
bernama mawar. []
Disampaikan
dalam acara Bedah Manuskrip Antologi Puisi “Perahu Mawar” karya Shohifur Ridho
Ilahi di Gelanggang Teater Eska UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 26 Mei 2013