penggir sereng; dua pantai di tanduk majang
1:
pantai satu; ikan-ikan bersirip daun mawar
memandang
laut dari dermaga pasongsongan adalah memandang burung-burung bersayap pelepah
angin sakal. di sini kapal ayahku ditambatkan, ikan-ikan ditenteng menuju
pantai, tempat riuh ibu-ibu menawar keringat pelaut dengan harga terik mentari.
ibu menjajakan hasil tangkapan ayah.—ikan-ikan bersirip daun mawar berenang
dalam matamu, mata ayah, mata ibu, mata para pelaut, berputar-putar lalu sebuah
karang dipahat menjadi wajah laut yang lain. kemudian buihnya kau namai dengan
waktu dengan rindu seperti dulu kau namai perahu ayahmu.
di
laut itu. di laut pasongsongan itu tiba-tiba ada yang hadir, tiba-tiba ada yang
lahir.—apa yang lebih mengalir ketimbang doa-doa ibumu?
bila
yang jauh adalah laut, maka kudekatkan jarak dengan pantai berpasir putih awan,
pantai pasongsongan.
memandang
laut dari dermaga pasongsongan adalah mengibarkan bendera sajak-sajak di pucuk
tiang perahu ayahku.—tiba-tiba kau menemukan tanah yang selama ini kau cari.
bunga-bunga kau tebar di sepanjang pantai yang tak berbatas pagar bambu.
aku
mulai belajar menulis namaku sendiri di atas pasir.—bila kelak namamu
dihempas ombak, perahu ayahmu yang akan menjemput huruf-hurufnya.
2:
pantai dua; makam-makam yang dilahirkan
sayang,
kemudian, aku pandangi dirimu dengan mata sajak yang dikawin ombak yang dikutuk
pantai.—makam-makam itu dilahirkan dari perut pasir, dari rahimmu,
berpuluh-puluh jumlahnya.
sejarah
yang tak tercatat dalam buku-buku sekolah. tapi ada di pantai bhuju’
panaongan.—begitulah kenangan, batu-batu disucikan-disakralkan-didzikirkan-di...
sayang,
seketika pantaiku disulap jadi ziarah tanpa rimbun kemboja.—engkau makin
asing dengan kematian, entah kematian apa yang bisa kau sebut kenangan. sebab
kematianmu akan berakhir dalam tubuhmu sendiri.
sejak
itu pohon jati tak lagi rimbun dedaunnya, entah kemana hijaunya. tapi batangnya
makin kokoh berdiri meski buih dan ombak memainkan lagu-lagu duka lagu-lagu
murka.—engkau tiada pernah paham apa yang tuhan mau. boleh jadi dikirimnya
ombak supaya kau paham betul seburuk apa kata yang kau tulis atau semulia apa
sajak yang bakal kau bisikkan.
tabun
diperbatasan tanahmu kau memanggil-manggil hujan. sudah
kusiapkan payung dari segala kemungkinan kedatanganmu. semisal amsal kelahiran
dan kematian yang tidak pernah kita duga.
ada risau di seberang pulau. pulau dengan sekerat bilur
waktu yang membiru. sudah kulunaskan suara daud lewat nyanyianmu yang tidak
kumengerti. ah, seperti sebuah janji seperti cinta disulut api.
di batas ladang kembang, kunang-kunang menafsir hujanmu.
menakwil segala rupa gigil yang ganjil: matamu-aku yang deru.
tak ada lagi kata selain diam itu, selain sunyi yang melulu ibu. dari titik tabun itu aku belajar mengerti. dari arah laut yang membara suaramu lantang mengerang. sementara yang dipahami angin adalah hilangnya dirimu.
hilangnya dirimu.
yogyakarta, 2011
pasongsongan
darahku adalah rajah perahu sungai angsono yang bersatu
pada tugu di alismu: tugu bulan paling sabit. jangkar kuangkat, layar
dikebar-kibar, angin lindap dalam seluruh penantian-pengabdian. kacongku, ini perahu ayah, dimana
lautmu?
kembara! apalagi laut yang membara. apalagi engkau yang
tak terkatakan dan tak mampu dikatakan. sungai hijau merobek belantara. aku
mencari jalan ke utara tempat dimana kepala dilelapkan-dipulaskan dengan kain
kafan putih awan langit pasongsongan.
ayah, benarkah malam telah tertidur, atau kita yang tidak
benar-benar terjaga?
sudah
kualamatkan surat paling panjang, sepanjang hayat manusia. supaya esok kita telah
bersiap diri memilin waktu dari segala muassal penantian-pengabdian.Yogyakarta, 07 juli 2011