Utopia, Distopia

Oleh Shohifur Ridho’i




Apabila kamu generasi milenial yang bermimpi membeli rumah, namun mimpimu jauh di angan dan sangsi menjadi nyata sebab gajimu hanya bisa mengongkosi kebutuhan hidup sehari-hari, mungkin satu hal ini bisa kamu lakukan: tertawalah bersama sahabat milenial senasib sepenanggungan di dinding ratapan Puri Yutopia Permai. Selamat datang di kenyataan.


***


Dikisahkan, sekumpulan musisi tidak masyhur dengan grup bernama Band Think Blazer baru saja diusir dari rumah kontrakan mereka sebab tidak sanggup membayar harga sewa rumah. Mereka membawa serta barang-barangnya ke kafe, tempat ‘ngamen’ mereka, sebab bingung hendak menaruhnya di mana. Itu adalah malam perih sebab mereka telah ‘resmi’ menjadi tunawisma. Betapa mengenaskan, suasana kafe terlihat berantakan bak barak pengungsian sebab barang-barang rumah seperti galon, koper, tikar, kasur, bantal, dan guling berserak di mana-mana.


Kondisi mengenaskan semacam itu turut ditegaskan dalam kalimat-kalimat metaforik seperti ini: tembok-tembok tumbuh kekar/ menghardik serangga yang lapar/ sayapnya terhimpit beton belukar/ patah terkapar/ malam ini jiwa muda hilang asa/ terpinggir tanpa daya/ menyerah kalah pada kuasa angka/ napas ditahan-tahan/ hidup bergulir saja/ menggenggam recehan angan/ malam semakin larut/ masihkah kita bisa tinggal di mana saja?


Larik-larik itu diucapkan tegas oleh Erlina Rahmawati, penulis naskah dan sutradara Puri Yutopia Permai. Matanya tajam menatap ke depan, seolah melihat masa depan yang jahanam. Larik terakhir dibuyarkan oleh salah satu personel band yang meminta teman-temannya untuk segera bersiap tampil. Malam itu, sebagaimana malam-malam sebelumnya, mereka ‘ngamen’ secara reguler di Kafe Raterame. Para personel band ini adalah generasi milenial yang bekerja sebagai buruh di siang hari dan mengais penghasilan tambahan dengan bermain musik di malam hari, sembari berharap dapat memiliki rumah dengan banting tulang tanpa ampun.


Larik-larik di atas mengisyaratkan pada harapan yang jauh. Anak muda yang terhimpit dan terpinggir oleh kenyataan. Kenyataan yang menjauhkan mereka untuk memiliki ruang tinggal yang nyaman sebagai kebutuhan dasar manusia, sebagaimana tersurat dalam larik terakhir: “masihkan kita bisa tinggal di mana saja?”


“Pertunjukan”


Puri Yutopia Permai barangkali sejak awal diniatkan sebagai karya musik. Atau “pertunjukan” musik. Nyaris sepanjang “pertunjukan” berdurasi sekitar 30 menit itu dilabur oleh lagu bernuansa balada. Ada empat nomor lagu yang ditampilkan, masing-masing berjudul Terlanjur Nyaman di Kota, Ingatan, Prasangka, dan Senandung Tepian. Seluruh lagu diciptakan oleh Erlina Rahmawati kecuali lagu berjudul Prasangka dibuat oleh Syakirina R Utami. 


Namun, rupanya, karya penerima hibah seni dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta ini menempuh pilihan dramaturgi yang bertumpu pada ‘peristiwa’ atau teater sehingga karya ini tidak hanya sekadar “pertunjukan” musik. Puri Yutopia Permai menempatkan para musisi juga sebagai subjek yang mengalami peristiwa, atau subjek yang memasuki kerakter: berlaku sebagai aktor.


Apabila musik adalah repertoar yang mengisahkan sesuatu, maka Puri Yutopia Permai memaksimalkan repertoar itu dengan memasukkan variable teater ke dalam “pertunjukan”nya. Bahkan variable film dengan menempatkan retorika kamera dan logika sinematik sebagai cara ungkap pengisahan. Di dalamnya ada akting, ada naskah yang diberlangsungkan, ada panggung dengan logika empat dinding.


Sebelum paragraf ini, saya menulis kata pertunjukan dalam tanda petik. Sebabnya adalah karya yang ditayangkan sejak tanggal 28 Agustus 2020 dan dapat diakses sampai sekarang di laman YouTube PSBK ini sudah direkam sebelumnya. Penonton menikmati karya-telah-purna selepas melalui tahap syuting dan editing. 


Apabila paradigma ‘kini’ dan ‘di sini’ (hic et nunc) sebagai watak pertunjukan dikenakan pada Puri Yutopia Permai, maka karya ini tidak dapat disebut pertunjukan. Tidak ada interaksi langsung yang membuat penonton dan karya tumbuh bersama sampai lampu terakhir mati dan penonton bertepuk tangan. Demi bersiasat dengan situasi sulit, mungkin merekam adalah cara paling masuk akal untuk bersiasat di tengah ancaman pandemi Covid-19. 


Namun, kenyataan ini sesungguhnya kesempatan untuk melihat ulang bahwa betapa tidak berdayanya seni pertunjukan di tengah pandemi, dan sekaligus kesempatan membongkar dan meredifinisi apa yang disebut pertunjukan. 


Sekalipun demikian, kata pertunjukan tetap saya tulis sebagai bentuk negosiasi atas apa yang disebut pertunjukan selama ini sebab, sekurang-kurangnya, Puri Yutopia Permai tetap mengandaikan dirinya sebagai “pertunjukan” dengan menempatkan logika panggung dan penonton berada dalam batas dinding keempat atau dinding imajiner (sekaligus tempat kamera membidik peristiwa dari arah depan). 


Namun, peran kamera lebih dari sekadar medium. Ia juga bertindak sebagai pengisah. Bahkan menyeret penonton ke dalam peristiwa. Perpindahan sudut pandang dari kamera yang membidik objek (objective camera angel) ke kamera yang mewakili mata aktor (subjectif camera angel) adalah salah satu tanda bagaimana Puri Yutopia Permai dapat bersalin logika medium. Kamera subjektif mewakili tiga pasang mata kelas menengah berduit itu: pengunjung kafe yang baru saja membeli rumah, pemilik kafe, dan pebisnis real estate. Seketika, penonton berubah dari pasif menjadi aktif. 


Lantas posisi penonton terasa problematis. Penonton ditarik ke dalam peristiwa. Mata tiga orang berduit itu adalah mata penonton, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, si penatap atau penonton, berada dalam posisi yang lebih berkuasa. Sekian pasang mata penonton mengobjetifikasi para musisi. Di sini kamera menjadi politis. Penonton dipaksa menjadi tiga orang kelas menengah yang digambarkan sombong itu.


Utopia


Sejak dari judulnya, terutama pada kata Yutopia (utopia), karya ini memapar ketimpangan sosial dan ekonomi dalam isu kota, justru dengan cara membayangkan kehidupan yang paripurna. Ketimpangan yang dimaksud adalah tentang bagaimana sistem ekonomi dan politik pembangunan hunian bekerja. 


Akibatnya, harga rumah semakin tinggi tak terbeli. Kualitas narasi atas ketimpangan itu bisa dilihat dari bagaimana Erlina dan kolaboratornya membangun dan menjajarkan karakter-karakter serta status sosial para tokohnya. Ada buruh yang diwakili oleh para musisi dan kelas menengah yang diwakili oleh pengunjung kafe yang baru saja membeli rumah, pebisnis atau pengembang real estate, bapak pemilik kontrakan yang memiliki rumah berlebih. Selain itu ada peran Ibu pegawai sensus sebagai representasi dari Negara.


Dengan melakukan pensejajaran (atau menghadap-hadapkan) karakter-karakter ini, Puri Yutopia Permai tidak ingin menghindar dari posisi politis. Justru karena itulah karya ini memainkan perannya, atau menjadi subversif dengan caranya sendiri, tanpa harus berteriak.  


Gagasan utopia merujuk pada konsepsi kehidupan ideal di masa depan. Sebuah kehidupan yang lebih baik dan lebih indah dari masa kini. Apa yang disebut dengan lebih baik dan indah itu variabelnya adalah kesetaraan ekonomi dan keadilan sosial (Henry A. Giroux: 2003).


Namun, utopia dalam Puri Yutopia Permai ingin lebih radikal lagi: tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada seseorang yang lebih kaya ketimbang yang lain. Bagian ini direpresentasikan oleh adegan ketika pemilik rumah kontrakan dan Ibu sensus (negara) mendatangi para musisi ini di kafe. Ibu sensus membawa wacana “pemerataan hunian” dengan cara menyita rumah milik bapak kontrakan yang sudah tidak berpenghuni untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan gelandangan. 


Tidak ada pihak yang lebih kaya dan lebih unggul ketimbang yang lain adalah kalimat naif. Sama naifnya dengan pernyataan bahwa negara selalu hadir bagi warganya. Apatah lagi membagi rumah secara gratis. Di akhir kisah, Ibu sensus memberi kunci rumah kepada rombongan musisi ini, lantas ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Dan tentu para musisi ini girang bukan buatan. Meski sejenak.


Sebab selepas grup band ini melantunkan lagu pungkas Senandung Tepian, Erlina segera tersadar, “ini kunci, tapi alamat rumahnya di mana?” ucap Erlina setengah berteriak. 


Dan kisah pilu pun kembali tiba. Menjadi tunawisma seperti sediakala. Distopia. (*)

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.