LA
shohifur ridho ilahi
pada lengan rel yang
memanjang itu, kutitipkan salam rindu dan doa penghabisan
lantaran aku hanyalah
kerikil yang bisa menatapmu dari stasiun-stasiun yang tak habis memberangkatkan
sekaligus memulangkan gerbong-gerbong kerinduan.
—o0o—
Semenjak
kali pertama aku melihatmu di samping rel depan rumahmu. tiba-tiba ada sesuatu
yang bertamu dalam diriku. Angin berhembus lembut, mengibarkan kerudung
putihmu. Pakaianmu serba putih kala itu. Sopan, bersahaja, dan penuh pesona. Adalah
cinta yang hadir, indah dan mengetarkan. Seumpama senja yang terapung diatas
laut ketika warna langit lanjut usia. Akulah lautnya, sementara dirimu adalah
senja yang akan menenggelamkan tubuhmu ke dalam lubuk gelombang rinduku. Mulai
saat itu aku pun tahu bahwa cinta bisa datang sewaktu-waktu.
Dan
mulai saat itu juga, setiap malam, aku duduk di pinggir rel depan rumahmu hanya
untuk memandangi atap genteng rumahmu. Sesekali mataku mencari lubang dari sela
pagar besi untuk sekadar melihat warna lampu tidurmu. Dan bercakap dengan
rerumputan yang tumbuh di halamannya untuk sekedar menanyakan kabarmu, hobimu,
warna kesukaanmu, pekerjaan keseharianmu, kepribadianmu, dan segenap pertanyaan
tentang dirimu. Aku jadi melankolis, sering termenung sendiri, bergumam
sendiri. Untuk melunaskan rasa getar rindu yang makin melumat pikiranku, maka aku
mulai belajar merangkai kata-kata menjadi puisi.
Aduhai...,
mulai saat itu juga aku selalu membayangkan diriku adalah Khoe Cie Kie dalam kisah Yi Tian Tu
Liong Ji yang menulis puisi kepada seorang wanita yang
ia bandingkan wanita itu seperti Dewi dari Gunung Kouw Sia. Aih, padahal
seumur-umur diriku tak pernah menulis puisi.
Entah
bagaimana dengan dirimu, apakah kau juga merasakan hal yang sama. Sama-sama
merasakan senja yang terapung diatas laut saat warna langit lanjut usia. Sama-sama
menulis sajak cinta, atau merasa menjadi seperti Dewi dari Gunung Kouw Sia bergaun
putih salju yang juntaiannya jatuh ke tanah? Aku tidak tahu.
—o0o—
Musim
semi gembira-ria, bunga leeoha mekar semua, pohon-pohon bagaikan giok, tertutup
salju berhamburan. Malam yang sunyi, sinarbulan yang mengambang. Ah, dia
bagaikan Dewi dari Gunung Kouw Sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung
dan murni. Laksana sari bunga besar kecil yang gagah, kepintarannya
berlimpah-limpah.
La.
Ela, sayangku, puisi diatas adalah buah kalam Khoe Cie Kie. Tahukah kau, bahwa
selain Kho Cie Kie bisa menulis puisi ia juga seorang pendekar ternama di zaman
Lan-Song (kerajaan Song Selatan). Dalam puisi itu, Khoe Cie Kie bicara tentang
bunga leeoha. Dalam melukiskan keagungan bunga leeoha, sebenarnya ia ingin
memberi pujian kepada seorang wanita cantik jelita.
Sementara
aku di sini, di kamar pengap dengan ditemani buku-buku lapuk. Masih
berdarah-darah merampungkan puisiku yang tak sudah-sudah. Berusaha mencari kata
yang paling tepat dan indah, yang lebih indah ketimbang wajah Dewi dari Gunung Kuow
Sia itu, tapi selalu gagal dan patah.
“menulis
puisi tak lebih mudah dari memanjat tebing bukit Song yang terjal dan curam
itu. Bahkan lebih berat dari itu, La.” jawabku ketika kau bertanya tentang
puisi pada suatu sore yang ranum.
Kau
tanpak serius mendengar penjelasanku. Kutatap matamu. Oh, selalu kubayangkan
bening matamu serupa mata air yang menetes dari batu gua di kaki bukit Song.
Kau membalas tatapanku. Wajahku memucat.
“siapa
Dewi dari Gunung Kouw Sia itu, Ridho. siapa wanita yang dicintai pemuda penulis
sajak indah itu. Siapakah nama wanita beruntung itu?” kau menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan.
Tidak sabar ingin tahu kelanjutan ceritaku. Tapi diam-diam aku merasa cemburu
pada Khoe Cie Kie. Jangan-jangan kau menyimak setiap ceritaku untuk mengetahui
kehebatan pemuda itu yang pada akhirnya akan memuji dan menyanjung pendekar itu
secara berlebihan, bukan untuk memahami sebesar apa cintaku padamu. Duh..,
La,
perlu kau ketahui bahwa sebenarnya kisah cinta Khoe Cie Kie pada Dewi dari Gunung
Kouw Sia kuceritakan kepadamu supaya kau paham bahwa begitulah perumpamaan
kadar cintaku, bahkan lebih dari itu. Kemudian aku diam. Sengaja diam agak lama
supaya kau menerka air mukaku dan menafsir kemana sebenarnya arah ceritaku.
Karena
air mukamu menampakkan raut penuh harap, dan aku tidak tega kalau tidak melunaskan
permohonanmu, maka kulanjutkan saja ceritaku apa adanya meski tanpa gairah
lagi.
La,
karena Khoe Cie Kie teramat cinta kepada wanita itu, maka amatlah mafhum
apabila la membandingkan wanita itu seperti Dewi dari gunung Kouw Sia. Kamu
tahu siapa wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang pemuda
gagah itu? Wanita cantik jelita itu bernama Siauw Liong Lie.
Seperti
dirimu saat pertama kali kita bertemu La, Siauw
Liong Lie juga suka mengenakan pakaian serba
putih, seolah-olah serupa pohon giok yang tertutup salju, begitu puji Khoe Cie Kie.
Kalau
kau mau tahu, sebenarnya Khoe Cie Kie adalah tetangga Siauw Liong Lie. Rumah
mereka hanya dipisahkan oleh sembilan rumah lain. Akan tetapi, karena Khoe Cie
Kie adalah sorang pendekar yang tidak pernah puas dengan keilmuannya, maka ia
mengembara ke berbagai negeri untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia tidak pernah
tahu sebelumnya kalau di dekat rumahnya ada seorang wanita yang cantik jelita.
Hal itu diketahui ketika ia pulang dari mengembara saat guru silatnya—ketika ia
masih berumur tujuh tahun—meninggal dunia. Dan ia juga baru tahu bahwa ternyata
Siauw Liong Lie adalah murid Sintiauw Tayhiap Yo Ko, guru silatnya di perguruan Kouw Bok Pay itu.
Maka di rumah gurunya itulah takdir mempertemukan mereka dan tak lama kemudian
benih cinta mulai tumbuh di dalam hati keduanya.
Berbeda
dengan kita La, rumah kita dipisahkan oleh samudra dan pulau-pulau. Tapi kita
sama-sama pengembara. Sama-sama orang yang haus ilmu. Karena itulah aku
berangkat dari tanah garam, dan engkau dilepas oleh ayah dan ibumu dari lembah Sunda.
Dan disini, di tanah rantau ini, di perguruan ini takdir mempertemukan kita.
Akan
tetapi La, bunga leeoha memang tak selamanya mekar, ia bisa layu dan gugur.
Yah, ternyata hukum cinta tak harus memiliki juga berlaku di negeri rimba persilatan
itu. Sekarang Siauw Liong Lie sudah menikah dengan
adik guru mereka yang bernama Kwee Siang seminggu setelah kematian Khoe Cie Kie
(ooh, kau tentu tersentak mendengar Khoe Cie Kie mati. Sabarlah, akan
kuceritakan bagaimana ia berpulang dengan secepat itu). Sebenarnya Siauw Liong
Lie tidak mau menikah dengan Kwee Siang karena tabiatnya yang buruk. Lelaki itu
suka main perempuan dan gemar menganiaya orang lemah. Tetapi, karena Kwee Siang
mengancam akan membunuh seluruh anggota keluarganya bila tidak menuruti
kemauannya. Akhirnya Siauw Liong Lie mencari perlindungan kepada kekasihnya,
Khoe Cie Kie. Dan memang Kwee Siang memendam dendam pada Khoe Cie Kie semenjak
masih bocah—semenjak masih bocah Khoe Cie kie dan Kwee Siang memang rival abadi
di perguruan Kouw Bok Pay. Betapa
benci dan terpukulnya Kwee Siang kala mendengar kabar angin kalau keduanya
telah menanam tunas cinta. Oh. La, coba kau bayangkan itu.
Maka
maksud membunuh Khoe Cie Kie pun direncanakan. Kwee Siang sangat bernafsu ingin
segera menghabisi lawan abadinya itu. Karena Khoe Cie Kie adalah pendekar yang
tangguh dan sulit dikalahkan, maka Kwee Siang mencari cara agar muslihat
kejinya itu terlaksana.
Mengapa
wajamu memerah La? Jangan-jangan kau marah lantara Khoe Cie Kie mati? Benar
begitu? Oh, La, itu hanya cerita. Aku juga tidak yakin kalau apa yang aku
ceriakan padamu adalah benar adanya. Apalagi cerita itu hanya ada di negeri
antah berantah. Jauh, jauh sekali.
Baiklah,
tenangkan dirimu dulu, aku akan melanjutkan cerita ini.
Pada
suatu malam, saat purnama menyembul
sempurna dari balik bukit Song. Semerbak bau harum bunga leeoha menebar wangi yang segar hingga merasuk kedalam rumah
Khoe Cie Kie. Bersamaan dengan tergelincirnya purnama dari puncak bukit Song,
datanglah Kwee Siang seorang diri. Ia bertamu dengan alasan untuk meminta maaf
pada Khoe Cie Kie karena telah mengganggu keluarga Siauw Liong Lie dan memaksa mencerabut
akar tunas cintanya. Duh La, Kwee Siang memang pandai berakting. Khoe Cie Kie
tidak merasa kalau dibalik kata-kata halus Kwee Siang itu ada rencana busuk.
“Benar-benar
makhluk berhati setan!” tiba-tiba kau memekik. Aku terperanjat. Kau geram
sekali. Tanganmu mengepal, seperti orang mau berkelahi. Aku pasang posisi
waspada. Siapa tahu tiba-tiba kau menonjok mukaku karena marah pada Kwee Siang.
Dan
melapetaka itu benar-benar terjadi saat Khoe Cie Kie bermaksud ingin membuatkan
minum buat tamunya itu. Nah, di ruang belakang itu La, Kwee Siang betul-betul
berhasil mengelabui Khoe Cie Kie dan menusukkan pedangnya pada punggung kekasih
Siauw Liong Lie itu. Ooh, pedang itu La. Ya, pedang itu tertanam di tubuh Khoe
Cie Kie. Tanpa perlawanan yang berarti tewaslah pemuda itu. Dan tersungginglah
senyum kemenangan di bibir Kwee Siang.
“Kwee
Siang. Bangsat kau?” kau naik darah. Aku sedikit mengambil jarak.
Kau
marah dan kecewa. Kemudian tertunduk seperti orang kalah perang. Oh, betapa
sakitnya perasaan Siauw Liong Lie saat itu, La. Tentu, tentu sungguh sakit
rasanya kehilangan seorang terkasih yang sebentar lagi akan menjadi pendamping
hidup yang sah. Dan tentu pula sayatan belati bukanlah apa-apa ketimbang
sakitnya hati. Tapi, siapa yang bisa menghindar dari kematian, La. Siapa?
—o0o—
La,
Seperti halnya Khoe Cie Kie, aku pun bisa memujimu. Bila Siauw Liong Lie disamakan
dengan Dewi dari Gunung Kouw Sia yang penuh bunga Leeoha itu, maka engkau
kusamakan dengan rembulan. Ya, tersebab namamu adalah Laelatul Badriyah yang
berarti malam rembulan. Aih, engkaulah rembulan bagi malamku, atau akulah malam
bagi rembulanmu. Hem, keren bukan?
Malam
Rembulan, tiba-tiba aku asyik sendiri dengan nama itu. Tak jarang kata-kata itu
secara refleks tiba-tiba terucap. Secara tiba-tiba pula aku merasa nyaman
dengan kesendirianku. Duduk termenung di pinggir rel depan rumahmu. Dari tempat
itulah aku sering membayangkanmu berdiri gagah di benteng Himeji dengan latar bulan
rekah di balik punggungmu. Busanamu berkibar-kibar ditiup angin yang berhembus
dari arah bukit Song, seperti pendekar akan menghadapi peperangan. Sementara
aku duduk terpekur memandangimu dari desa Yanshi, atau di kaki bukit Song yang
bertabur bunga azelea menanti kematian dari hunusan pedang cintamu. Kubayangkan
pula kereta api yang sesekali lewat adalah rombongan ratusan ribu tentara
berkuda yang mengepulkan debu-debu tanah di dataran Gunung Fuji untuk menyerangku
yang hanya seorang diri. Oh, aku terpesona. Kau tak ubahnya Siauw Liong Lie
yang sedang memperagakan jurus Bwee-hoa Kun untuk memukul dadaku hingga lumpuh
dan kemudian aku bertekuk lutut setelah kau gunakan jurus Wan-yo Ciang. Aku
mati. Aku mati oleh cintamu.
Tak
terasa sudah terbilang tiga bulan lamanya aku melakukan rutinitas berupa memandangi
atap genteng rumahmu. Mencari lubang dari sela pagar besi untuk sekadar melihat
warna remang lampu tidurmu. Dan bercakap dengan rerumputan yang tumbuh di
halamannya yang kini kutasbihkan sebagai penyampai rasa rinduku. Mereka semua
adalah halusinasi bagi kesendirianku, La. Duh, mencintaimu aku semakin terasing
La. Sungguh semakin terasing. Dan sekarang aku baru sadar kalau aku belum
mengungkapkan perasaanku padamu—lidahku terasa kelu dan keringat dingin
membanjiri tubuhku saat aku ingin berkata jujur—sekejam itukah cinta?
Tapi,
tiba-tiba muncul keraguan dalam diriku—keraguan yang tidak cukup beralasan
sebenarnya. Bahwa aku memang tidak seperti Khoe Cie Kie, penyair yang pendekar
itu. Aku cukup tahu diri kalau aku tidak bisa berbuat apa-apa layaknya Khoe Cie
Kie. Kata-kata yang dulu pernah aku rangkai kini tak rampung kutulis, dan
sepertinya gagal menjadi puisi. Aku pun tidak pandai bersilat. Tidak ada yang
bisa kupersembahkan kepadamu selain kejujuran dan kepolosanku, La. Huhh,
rasanya aku terlalu berlebihan membandingkan kisahku dengan kisah perjuangan
cinta Khoe Cie Kie dan Siauw Liong Lie. Perjuanganku memang belum apa-apa, dan aku
sadar itu. Tapi memang beginilah adanya aku.
Maka,
aku mohon kepadamu, lupakanlah kisah Kho Cie Kie dan kekasihnya itu, tersebab
kita punya kisah sendiri yang tidak kalah menariknya bukan?
La,
itulah rahasia-rahasiaku tentang dirimu, bahwa aku rela melawan dingin dan
gelap hanya untuk menanyakan kabarmu kepada benda-benda mati di sekitar rumahmu
agar tetap bertunas perasaan cinta dan rinduku. Agar kelak kita dapat memetik
buahnya yang ranum.
Kini senja sudah tiada, magrib
perlahan memanggil malam, sesekali kereta api lewat membuyarkan lamunanku. Tapi
aku masih ingin berlama-lama disini. Sampai malam. Bernostalgia dengan
kerikil-kerikil di pinggiran rel yang memanjang itu.
Rel memanjang ke hatimu,
akulah kereta dengan gerbong berisi anggur dan rembulan.
Aih,
dari dalam kamarmu, lamat-lamat kubayangkan dirimu menjelma kunang-kunang lalu terbang
keluar lewat jendela. sayapmu lembut seperti helai-helai bulu sutra. Kemudian
menghampiriku dan mengajakku ke lembah paling sunyi, cinta yang hakiki.
Yogyakarta, 28 Oktober 2011