Anjing, Penyair dan Kunang-kunang
Shohifur
Ridho Ilahi
HENDAKLAH Tuan
percaya kalau bulu-bulu anjing kita yang putih, lembut dan
halus seperti kain
sutera dari kualitas paling bagus. Kalau kepala Tuan rebah di tubuh anjing kita
dan membiarkan bulu-bulunya membelai Tuan maka mimpi apa yang tuan ingin
pastilah terjamin. Tuan akan lelap selelap-lelapnya. Hendaklah Tuan juga
percaya kalau anjing kita ringan serupa
kapuk-kapuk ditiup angin. Kalau Tuan percaya perihal di atas, maka saya yakin
Tuan juga akan percaya
kalau mata anjing kita terang-benderang seperti titik
cahaya bintang-bintang. Mengapa bisa demikian? Apa pasal? Sebab mata anjing kita tercipta dari serbuk cahaya kunang-kunang.
Pernah
suatu malam anjing kita terangkat perlahan. Melayang di udara. Semakin tinggi. Melewati awan. Melewati benda-benda dan bangkai langit. Sampah-sampah
langit itu seperti tubuh teronggok tak berdaya. Malam itu langit terpejam, tanpa bintang atau bulan,
seolah ingin mengutuk segala yang
melayang.
Hanya sepasang mata anjing kita yang benderang di langit kelam.
Karena
sangat tinggi anjing kita melayang hingga sampai ia tidak tahu telah sampai di mana dirinya. Anjing kita berhenti
di suatu tempat yang sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa
dengan tempat itu. Melihat tempat itu tiba-tiba mulut anjing kita bergumam, “mungkin
ini yang bernama surga.”
LIHATLAH Tuan, penyair kita sedang berjalan
bersama anjing kita. Mereka berjalan ke barat ketika sore menjelang
gelap. Penyair kita seperti
hendak menjemput sajak-sajaknya yang terbang dibawa kunang-kunang kita.
Kunang-kunang kita yang sering bertamu dalam mimpinya dan
membawa sajak-sajaknya ke barat, ke lubuk malam—nah,
perkara kunang-kunang kita ini akan kita ceritakan nanti dalam bab lain. Sementara
anjing kita yang mengikuti di belakangnya seperti berusaha
mencari makna dari perjalanan rutin penyair kita. Tapi
selalu gagal.
Apa pasal sehingga ia dipanggil penyair kita? Tentu
tuan bisa menerka sendiri, bukan? Baiklah, sebenarnya tidak ada yang ganjil
soal penyair kita. Ia masuk ke dalam cerita kita bukan lantara karena ia punya
kekuatan mistik atau apalah namanya sehingga ia menjadi penting. Tidak. Meski
ia biasa-biasa saja kita masukkan saja ia ke dalam cerita kita. Sebagai tokoh
cerita memang ia gemar menulis sajak, terutama sajak cinta. Karena alasan sederhana itulah maka ia kita panggil penyair kita.
Penyair kita berjalan ke barat ketika sore
menjelang malam bersama anjing kita yang masih berumur sembilan
bulanan. Tak jarang anjing kita sering tergopoh
mengikuti penyair kita dari belakang. Penyair kita merasa kasihan pada anjing
kita,
kecil-kecil sudah merasakan bagaimana mengalami perjalanan sekaligus usaha
memahami dengan lintasan nasibnya. Semoga anjing kita tabah
dan sabar menghadapinya.
Banyak orang beranggapan
kalau penyair kita berjalan ke
barat saat langit sebentar lagi gelap untuk menjemput sajak-sajaknya yang
dibawa oleh kunang-kunang kita yang sering bertamu
dalam mimpinya. Sesungguhnya kunang-kunang
kita itu memang datang ketika malam tapi
bukan untuk menjemput sajak-sajaknya. Kunang-kunang kita datang untuk menerangi kamar gelap penyair kita agar ia dengan
mudah menuliskan sajak-sajaknya. Penyair kita tinggal di
sebuah rumah tanpa aliran listrik.
BULU-BULUKU
halus berwarna putih. Tuanku adalah seorang pemuda yang pandai bersajak, mahir
melipat kata biasa menjadi indah. Maka, teman-temannya kemudian memanggilnya
Penyair.
Aku
tidak mengerti mengapa setiap sore menjelang malam tuanku selalu berjalan ke
barat. Kata orang dia akan menjemput sajak-sajaknya yang dibawa oleh
kunang-kunang ketika tuanku itu terlelap dalam mimpi. Kunang-kunang itu bertamu
dalam mimpi. Tapi aku tidak percaya kata orang. Menurutku, tuanku berjalan ke
barat tidak lebih karena dia sangat menyukai senja. Dia ingin tahu bagaimana
matahari tenggelam masuk ke rahim malam. Coba bacalah sajak-sajaknya, ia banyak
berbicara tentang senja, atau dia berbicara yang lainnya tetapi sering
menggunakan metafor senja. Begitulah yang kutahu.
Aku
sendiri sangat sayang kepadanya. Tuanku tidak pernah lupa membelai bulu-buluku setiap
pagi sembari membacakan sajak-sajaknya yang berhasil ditulisnya semalam.
Kemudian dia meminta pendapatku, tentu saja aku jawab dengan menjilat-jilat
tangannya dan sedikit salakan.
Ya,
seperti matahari yang muncul dari timur kemudian tergelincir ke barat dan
akhirnya ia tenggelam. Begitulah manusia dan anjing, ia lahir, kemudian berjalan,
menemukan nasibnya sendiri, menerima takdir, lalu mati. Titik. Begitu jawabku
ketika Tuanku menatap lama mataku, seolah-olah dia bertanya apa arti perjalanan
ini.
SORE INI Sang Penyair
berjalan lagi ke barat. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari sore-sore
sebelumnya, dia tidak sedang bersama anjing kecilnya yang lucu itu. Entah
mengapa sore ini dia lebih banyak merunduk, seperti ada yang sedang diratapi.
Dia
akan menjemput sajak-sajaknya, ke lubuk malam.
Tapi,
tapi lihatlah, anjing kecilnya mengejar. Ia tergesa-gesa di atas kerikil. Guk
guk guk...!!!
Kini
anjing kecil itu tepat berada di samping Tuannya, Sang penyair itu. Tapi Tuannya
tidak menoleh, dia seperti tidak mendengar kalau di sampingnya, anjing kecil itu
menggonggong memanggilnya. Dia tetap menundukkan kepalanya, memandangi setiap
jengkal langkahnya yang terasa berat. Anjing kecil itu sempat berpikir bahwa Tuannya
sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin pergi ke barat tanpa ditemani siapapun,
termasuk dirinya.
Tetapi
si anjing kecil segera menepis anggapan itu. Tuannya tidak mungkin memusuhinya.
Dia adalah Tuan yang paling baik di antara sekian Tuan anjing-anjing di dunia.
Tapi, uh, mengapa dia tidak meggubris salakannya. Tidak mungkin dia tidak
mendengar. Tidak mungkin dia tidak melihatnya.
Anjing
kecil itu masih menyalak dalam gelap, sementara Tuannya tetap berjalan ke barat
dengan muka tertunduk.
AKU MEMBAWA satu
takdir yang kusisipkan di sepasang sayapku. Takdir yang aku sendiri sebenarnya teramat
takut membawanya.
Tapi
sungguh, kini aku seperti terbang dalam waktu dan ruang yang gelap dan tanpa
udara. Belum pernah aku membawa takdir sedemikian beratnya. Seperti beban yang
tidak bisa aku tanggung sendiri. Sebenarnya aku tidak tega melihat airmata
berjatuhan karena takdir yang akan kutiupkan ini. Ia masih kecil, belum
waktunya melepas kehidupan. Aku sungguh tidak tega. Tetapi aku tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali menjalankan perintah ini.
Makhluk
diciptakan untuk mengerti mengapa ia mesti diciptakan lalu menjalani hidup
dengan lorong-lorong nasib yang mengabut di depannya. Maka, setiap aku menerima
tugas ini hatiku terasa ngilu sekali, karena akan ada satu napas lagi yang
mesti kurenggut, karena ada satu kehidupan lagi yang mesti kuambil. Harus
segera kutiupkan angin takdir pada daftar nama-nama yang ada di tanganku agar
tugasku tidak semakin berat dan banyak.
Tanganku
gemetar membaca daftar nama itu: anjing putih berbulu halus, anjing yang baru
berumur sembilan bulan. Makhluk kecil itu, oh, apakah ia sudah menangkap
tanda-tanda kedatanganku, atau menerima isyarat entah dari siapa bahwa aku akan
meniupkan takdir paling menyakitkan dalam hidup?
Sayapku
tidak lagi menguncup, pertanda bahwa takdir akan segera ditiupkan kepadanya. Maka,
perlahan tubuh itu akan lemas tak berdaya seiring dengan kuangkat rohnya. Dan
tubuh itu hanya tinggal tubuh. Tidak bergerak. Menjadi bangkai.
AKU TERBANG
menuju rumah yang tak berlampu itu. Lewat jendela yang terbuka kulihat seseorang
sedang termenung. Matanya menatap kosong. Sebatang kretek di tangannya
terselip. Ketika kita saling menangkap isyarat untuk kemudian saling mengenali,
bertukar senyum dan sebagainya. Dia bercerita banyak dan akhirnya mengaku dirinya
adalah seorang penyair. Lampu dari PLN sudah diputus karena lebih tiga bulan
bayaran listriknya menunggak dan tak mampu dibayarnya. Bahkan lampu minyak pun
tak ada, begitu kisahnya. Ah, aku mengerti, Pasti dia membutuhkan penerang
untuk menuliskan sajak-sajaknya. Tentu, tentu dia sangat gembira sekali waktu
pertama kali aku mengunjunginya, dia pasti membutuhkanku. Ya, dia mengakui
kalau dirinya hanya menulis sajak pada malam hari saja, tepatnya dini hari.
Karena pada siang hari, waktunya dia habiskan untuk anjing kesayangannya itu.
Aku
biasa datang ke rumah ini ketika malam menjelang dini hari, karena dia akan
memulai menulis selepas tergelincirnya jarum jam dari angka dua belas. Sebelum
itu dia biasanya banyak menghabiskan waktunya untuk mencari inspirasi:
merenung, menghisap kretek, berjalan, duduk, menyeruput kopi, berdiri, berjalan
lagi dan begitu seterusnya.
Sudah
tak terhitung berapa kali aku mengunjungi rumahnya. Hal ini kulakukan karena di
rumah itu suasananya sangat berbeda dengan rumah-rumah lain yang pernah
kukunjungi. Di rumah itu hening, sejuk, damai, dan ada sesuatu yang indah tapi
tak mudah terkatakan.
Mulanya
ialah ketika aku mengantongi sebuah nama. Lalu aku mengunjungi rumah dari nama
yang dimaksud. Aku terpesona dengan suasana yang aku jelaskan tadi. Aku
memasuki rumahnya dari celah-celah di atas pintu yang terbuka. Sebuah lukisan
miring tergantung pasrah di ruang depan. Tidak ada orang. Di bawah lukisan itu
seekor kucing terlihat lelah, ia termenung, tatapan matanya ragu, seperti tidak
mempunyai semangat hidup. Oh, kucing yang malang.
Di
pojok dekat lemari yang pintunya miring itu, aku terperanjat melihat seekor
anjing kecil berbulu putih, ia meringkuk di pojok sana sembari memperhatikan
Tuannya, Sang penyair itu. Oh, Tuhan, inikah anjing yang mesti kucabut
nyawanya?
PERLU DIKETAHUI,
bahwa aku bukanlah kunang-kunang sungguhan. Kunang-kunang yang benar-benar
kunang-kunang. Kunang-kunang yang kata orang dahulu tercipta dari kuku orang
mati. Bukan tanpa alasan aku melakukan ini. Aku mendapatkan tugas yang membuat
hatiku ngilu, tugas yang akan membikin orang-orang menangis tersedu. Menjadi
kunang-kunang adalah caraku untuk mengetahui lebih jauh siapa yang akan aku cabut
nyawanya. Sebelumnya aku tak mengira bahwa anjing kecil berbulu putih sehalus
sutera itu berada dalam lembar daftar tugasku, mengambil nyawanya.
Sampai kini aku tak mengerti mengapa
harus anjing kecil itu. Ketika kutanya, dengan segera Tuhan menjawabnya,
“sesungguhnya Aku lebih mengetahui daripada dirimu.”
LIHATLAH,
kunang-kunang itu menahan napas. Cahaya di punggungnya meredup serasa menahan
kesakitan anjing kecil yang akan diambil nyawanya itu. Beberapa detik kemudian
kunang-kunang itu melesat pergi jauh ke langit membawa roh anjing kecil itu
setelah sebelumnya ia menatap sejenak rumah sunyi itu, ia melihat Sang Penyair
menangis tersedu sambil memeluk anjing kesayangannya yang sudah tidak bernyawa.
Malam-malam selanjutnya Sang Penyair
tidak bisa menulis sajak lagi. Kata-katanya ikut mati. Kalimat-kalimatnya juga
diambil oleh kunang-kunang itu. Sajak-sajaknya dibawa pergi bersama nyawa
anjing kecil itu.
Tetapi, setiap sore Sang Penyair
masih melakukan ritual rutinnya, berjalan ke barat. Tapi perjalanan kali ini dia
mempunyai maksud: dirinya ingin mengendarai matahari kuning kunyit itu untuk
menemui Tuhan, menjemput sajak-sajaknya.
:Buat
orang-orang yang berdiam di bawah pohon, Kekal, Jufri, Toni, Sule, Valend,
Yudi, Faruk, Ubet, Anjal, Rasyidi, termasuk
Pablo, Godam, Maryam, Nemo, dan
almarhum Govin.