Shohifur Ridho Ilahi dan Lirisme Imagis

Shohifur Ridho Ilahi dan Lirisme Imagis[1]

Oleh: Muhammad Ali Fakih[2]

Terlebih dahulu saya ingin berusaha untuk dengan tulus mengatakan bahwa saya sangat tidak tahu-menahu tentang bagaimana seharusnya medudukkan puisi dalam posisinya yang layak di sebuah ruang yang jamak kita sebut sebagai kritik sastra. Maka izinkanlah dalam menghadapi sajak-sajak Shohifur Ridho Ilahi pada manuskrip puisinya ini, Perahu Mawar, saya memposisikan diri sebagai hanya penggiat puisi yang kemampuan dan ketajamannya dalam memandang puisi lebih bersifat arbitrer ketimbang ilmiah. Oleh karena saya menggiati puisi kurang-lebih hanya 5 tahunan, dan dalam rentang waktu tersebut saya telah berjumpa dengan banyak hal, maka pada kali ini saya akan berusaha sebaik-baiknya untuk memandang sajak-sajak Ridho dengan “pisau bedah” yang saya hunus dari semangat pengalaman yang cukup sebentar itu.

[1]
Bila boleh dikatakan – dan ini, saya yakin, akan menimbulkan banyak perdebatan – sajak-sajak Ridho yang terhimpun dalam manuskrip ini dapat dimasukkan ke dalam arus persajakan lirisme. Lirisme, kita tahu, dibawa ke dalam khazanah persajakan Indonesia modern dalam kurun waktu 60-an oleh tiga pendekarnya: Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi WM. Salah satu corak mendasar dari aliran ini adalah bahwa ia menyandarkan kekuatan struktur puisi pada unsur cerita dan kekuatan makna pada impresi. Keduanya, sudah dapat kita duga, lebih banyak melibatkan perasaan yang intens daripada kognisi. Sajak liris, oleh karenanya, sepanjang pembacaan saya, lebih mampu membangkitkan rasa simpati dan empati terhadap sebuah objek ketimbang model persajakan lainnya. Untuk itu, mari kita perhatikan penggalan sajak Ridho berikut:

ia  adalah  seorang  gadis  kecil  yang  menangis  tepat  saat  lonceng  gereja  berdentang.  bunyinya menggagahi  jalanan,  kandas  di  bangku-bangku  taman,  dan  tumbuh  bagai  kembang  dalam ingatan. “jangan bawakan saya anggur” ucapnya pada bulan, ibunya. ia mencium tisu bekas yang dipungut dari tong sampah depan mall, “hm, sedap baunya. pasti ini bekas bibir orang kaya.”
(ia mencintaimu tepat saat lonceng gereja berdentang)

Sajak-sajak semacam ini berbeda dengan, misalnya, sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo yang lebih membawa aroma kognisi. Mari kita coba jumput penggalan sajaknya berikut:

Berikan aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih
Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
(Manusia Pertama di Angkasa Luar)

Sajak-sajak model Subagio bersifat deklaratif. Sajak-sajak deklaratif lebih enak dibaca di atas panggung, sementara sajak-sajak liris lebih enak dibaca di atas kasur. Dan tentu saja, keduanya tak kebal kritik, tak dapat unggul satu di antara yang lain dan tak menutup pintu kemungkinan, secara subjektif, untuk sama-sama disukai atau tidak.

[2]
Dalam posisiya sebagai puisi liris, ada banyak sajak-sajak Ridho dalam manuskrip ini yang saya sukai. Kekuatan paling utama dari sebagian sajak Ridho, menurut hemat saya, terletak pada kalimat-kalimatnya yang imagis. Saya ambil contoh beberapa kalimat (larik) yang saya maksudkan itu:

aku mulai belajar menulis namaku  sendiri di atas pasir — bila kelak namamu dihempas ombak, perahu ayahmu yang akan menjemput huruf-hurufnya.
(penggir sereng; dua pantai di tanduk majang)

april  adalah  nama  yang
diberkati  langit,  lewat  hujan  dan malam, menyusuri  pantai  dan  ingatan.
(ode bulan april)

hidupku  bagai  pelepah  kelapa  yang merindukan
arus  sungai  dari  bening  matamu
 (ziarah malam qamariyah)

Bagi saya pribadi, kalimat-kalimat semacam ini akan cukup sulit untuk diberikan arti dengan distingsi yang jelas dan kaku. Bagaimana, misalnya, kita membayangkan nama dihempas ombak, perahu menjemput huruf-huruf? Atau april yang menyusuri pantai dan ingatan lewat hujan dan malam? Atau pelepah kelapa yang merindukan arus sungai dari bening matamu? Tapi cobalah kita perhatikan dan renungkan kalimat-kalimat ini, lagi dan lagi, niscaya kita akan dapat menangkap maksudnya.
Mudahkah membuat kalimat-kalimat seperti itu? Barangkali mudah untuk hanya beberapa penggal kalimat. Tetapi – kalau tidak percaya bisa Anda buktikan sendiri di rumah – untuk membangun dan menjalinkan kalimat-kalimat imagis tersebut sebagai dasar struktur puisi yang menuntut koherensi literer betapa amat sulitnya. Hal ini, bagi saya, sudah cukup menjadi bukti bahwa Ridho adalah termasuk di antara penyair yang memiliki kecakapan di atas rata-rata dalam hal teknik literasi – sesuatu yang fundamental jadi modal kepenyairan.
Menghadapi sebagian besar sajak-sajak lirisme imagis Ridho dalam manuskrip ini saya lebih banyak tak paham arti dan maknanya, tetapi saya dapat merasakan getarannya di dalam perasaan dan jejaknya di dalam pikiran. Memang, demikianlah kelebihan sajak-sajak liris-imagis: dapat membuat pembaca bertanya tanpa meminta jawab, terhenyak dan masygul tanpa ingin bertanya kenapa.
Akan tetapi, terlepas dari semua kelebihan itu, saya menangkap satu-dua kekurangan dalam sajak-sajak Ridho. Kekurangan yang saya tangkap itu terletak pada kerancuan maksud – yang kadang kala disebabkan oleh kerancuan logika – dan ketidaktekunan Ridho dalam mendalami hasil renungan-renungannya. Contoh pertama yang berhubungan dengan kerancuan maksud itu bisa dilihat pada sajaknya yang satu ini:

perahu ba’

jangan  kau  lempar  sauh  saat  subuh,  katamu mengasah  diamku.  sementara  yang  diam  tak  usai menghitung  jarak.  “laut  itu  laut  sampan  ayahmu.    perahunya  adalah  perahu  ba’.  dan  alif  yang merobek dadamu adalah tiangnya.”

tapi  tak ada  ikan yang mesti ditangkap. atau  laut yang mesti kita singkap? sudahlah bang, akan kupinjam tongkat musa dan kita belah lautan dengan tangan sendiri. “sepertinya mati lebih abadi, bang”  kataku  setelah  berebut  pesan  dengan  angin,  “apa  yang  hendak  dikatakan  selain makna, selain cerita masa lalumu?”

dan semestinya kita sudah buat keranda. apa mungkin hidup benar-benar nyata? ah, biar kusulut dupa atas kematian yang dihidupkan. kematian yang dihidupkan.


Bacalah sajak di atas baik-baik, larik demi larik, bait demi baik, dan cobalah terka apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh sajak ini? Apa signifikansi ba’ (huruf Arab) sebagai simbol utama dalam sajak ini? Perhatikan bait kedua dan tanyakan, mengapa aku-lirik mengatakan dua kalimat yang bertetantangan (sudahlah bang, akan kupinjam tongkat musa dan kita belah lautan dengan tangan sendiri dan sepertinya mati lebih abadi, bang) bila kita hubungkan dengan riwayat nabi Musa As yang membelah lautan demi keselamatan diri dan umatnya dari ancaman kematian? Selanjutnya, bacalah bait ketiga dan tanyakan, mengapa harus keranda? Mengapa tiba-tiba bertanya, apa mungkin hidup benar-benar nyata? Apa pentingnya dan bagaimanakah relasi dua hal tersebut dengan perahu ba’? Terakhir, apakah maksud kalimat ini: kematian yang dihidupkan? Tetapi baiklah, dari bait pertama, kata sampan dan perahu saja sudah dapat memberikan alasan bahwa dalam pembuatan sajak ini barangkali Ridho kurang hati-hati.
Contoh kedua yang berhubungan dengan ketidaktekunan Ridho dalam mendalami hasil renungan-renungannya dapat diperhatikan dari sajaknya berikut ini:

parabhan

—lemper: agar tak hanya tubuh kita yang menyatu
tak  ada  yang  bisa  kami  bayangkan  selain  memandang  caramu  berjalan  sambil  sedikit meyunggingkan  senyum pada para  lalanceng yang menggali dadanya sendiri di pertigaan  jalan kampung. kami  tak pernah  lupa dengan warna kerudungmu, sebagaimana kami  tak pernah  lupa pada  tubuh  sendiri.  kini  telah  kami  kenali  perempuan  yang  mana  untuk  kami  sunting.  siang nanti, akan kami pikul setandan pisang serta lemper untuk upacara salamatan.

—samper: kain yang aku gambar di bukit lautan 
terbentanglah  samper  sewarna  tanah  tempat  kaki  kami  memijak.  lelapkan  mimpimu  dengan bantal  kapas  pohon  kapuk  yang  dibungkus  samper  pemberianku.  ah,  niscaya  terbai’at  dirimu menjadi  potre  koneng  yang  bersetia  dengan  doa-doa  dan  cintanya.  tapi  aku  selalu  ingin  jadi kunang-kunang, sebab purnama belum jatuh di pasir pasongsongan. maka akan kumatikan saja lampu minyak di kamarku, agar kau bisa bertamu dengan membawa cahaya  lain, cahaya paling rahim.


Parabhan (perawan) di mata orang Madura, dalam sejarahnya, cukup istimewa. Posisinya di tengah-tengah masyarakat Madura ia persis seperti “hewan yang dilindungi negara” dalam wacana kemargasatwaan nasional. Ia amat disyakralkan. Ia tidak hanya merupakan sosok perempuan dalam pengertian biologis dan teologis –  biologis karena belum “tersentuh” laki-laki dan teologis karena belum memasuki jenjang pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. Tetapi bahwa parabhan seperti telah menjadi simbol budaya bagi masyarakat Madura. Simbolisme parabhan dapat kita dalami dari riwayat Sri Ratu Potre Koneng yang amat terkenal bagi masyarakat Madura itu.
Akan tetapi, di dalam sajak parabhan Ridho, saya tidak menemukan hal itu, yakni tentang bagaimana dan seperti apakah parabhan menjadi simbol dari sebuah kebudayaan? Atau tentang dapatkah simbol parabhan menjadi semacam “kaca mata” untuk meneropong kekinian kita? Dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam sajak itu, saya hanya menemukan posisi parabhan dipandang secara romantik oleh seorang laki-laki tradisional yang tak cukup luas pandangan dunianya (world view).

[3]
Selain daripada itu – ini bersifat curahan hati dan sedikit sumbangan pandangan bagi proses Ridho ke depan – saya ingin berkata bahwa satu hal yang amat diminta oleh dunia kesusastreraan secara umum dan dunia persajakan secara khusus: pembaruan. Sehingga oleh karena itu, dalam proses saya menulis puisi akhir-akhir ini, saya sudah menjadi jemu dengan tradisi lirisme, terutama dengan sajak-sajak kedua pendekarnya: Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Sebab saya merasa, sebagian besar penyair yang muncul belakangan – barangkali juga termasuk Ridho – lahir dari karya-karya mereka. Menurut hemat saya, bila hal ini terus-menerus ditradisikan, maka hanya akan menimbulkan stagnansi bagi dunia kesusasteraan. Dan jika ini terjadi, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono adalah dosa besar bagi sejarah kesusasteraan Indonesia mutakhir.
Maka bagi saya pribadi, dalam usaha ikut membangun sejarah kesusasteraan Indonesia, adalah sebuah perbuatan baik bila kita ini, para pemula dalam rimba kepenyairan ini, berusaha dengan sebaik-baiknya keluar dari mainstream – dalam konteks ini adalah lirisme – dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam karya-karya kita selanjutnya. Kebaruan yang diminta dunia kesusasteraan itu, tentu saja, adalah segala hal yang menyangkut baik bentuk maupun isi, sebab puisi dibangun oleh dua korpus itu secara sekaligus tanpa mengabaikan yang satu terhadap yang lain.
Niatan semacam ini adalah sama sekali bukan demi tujuan-tujuan pragmatis, misalnya, agar kelak kita disebut sebagai “pembaharu” persajakan Indonesia modern sebagaimana Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri atau Afrizal Malna. Keterkenalan sudah semestinya kita taruh di bawah tumit atau kita makan biar nantinya ia ikut bersama berak ke dalam jamban. Niatan semacam ini adalah sama sekali demi penghargaan dan pengabdian kita yang tulus kepada dunia kesusasteraan di satu pihak dan terutama kepada anak-cucu kita di pihak lain.

[4]
Demikianlah saya membedah sajak-sajak Shohifur Ridho Ilahi dalam manuskrip puisi Perahu Mawar ini. Dengan disertai pengharapan yang dalam, saya minta maaf kepada para pembaca secara umum dan Ridho secara khusus apabila ada satu-dua kata dalam ulasan ini sedikit-banyak menyinggung perasaan atau jika barangkali ulasan ini tak dapat memberikan rasa puas dan kebahagiaan.***

Cabean Bantul, 19 Mei 2013





[1] Makalah ini disampaikan dalam acara Bedah Manuskrip Puisi Shohifur Ridho Ilahi Pohon Inspirasi Sanggar Teater ESKA Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 2013 di depan Sanggar Teater ESKA Yogyakarta.

[2] Pelajar puisi di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta dan astrofisika di Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.