Jufri dan Puisi, Pergi dan Kembali



Lelaki murung ini akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta. Saya tidak tahu apa yang membawanya kembali ke kota sendu ini lagi, mungkin memenuhi panggilan puisi, mungkin juga bukan. Saya bertemu pada sore pertama tahun 2017 di acara peluncuran buku puisi sahabat kami, Muhammad Ali Fakih, penyair yang berkarib dengan laut dan Allah. Dulu ia meninggalkan Yogya dengan selembar celana belel, beberapa potong baju jelek. Di kepalanya sulur-sulur rambut gondrongnya merambat seperti akar beringin, kini ia kembali dengan model rambut yang sudah dipotong.

Setelah bertahun-tahun bersahabat dan juga sempat tinggal bersama dalam satu kontrakan selama satu tahun, saya berani menyimpulkan bahwa Jufri adalah pribadi yang mampu keluar masuk di pintu kegilaan dan kewarasan pada puisi. Kegilaannya pada puisi mengalahkan rasa laparnya, menaklukkan kesedihan karena porak poranda kisah cintanya. Kewarasan pada puisi mengantarkannya pada pengalaman spiritual yang tak bisa dijangkau hal lain kecuali puisi. Opo kui..

Jufri datang ke Yogyakarta pada tahun 2008 bukan untuk kuliah sebagaimana teman-teman kami yang lain. Bangku kampus sama sekali tidak menarik hatinya untuk duduk dan mendengar dosen memberi ceramah di depan kelas. Ia lebih senang ditempa oleh kurikulum jalanan sembari menjadi loper koran.

Konon Jufri pernah berjanji pada diri sendiri bahwa ia tidak akan pulang jika puisinya belum dimuat di koran K. Bertahun-tahun ia menempa dirinya di jalan terjal puisi. Berkali-kali ia mengutus puisinya ke media terbitan Jakarta itu namun selalu dibalas dengan kekecewaan. Dan akhirnya ia melanggar janji itu. Entah apa sebabnya. Mungkin sudah lelah melayani hasratnya. Mungkin juga bukan. Jauh hari sebelum pulang, Jufri sudah tidak mengirim puisinya ke media itu lagi sebab akhirnya ia pun tahu, puncak puisi bukan ketika dimuat di koran, melainkan ketika (salah satunya) menjadi pengalaman batin yang mampu mengetuk-ngetuk pintu hati perempuan. Halah!

November 2013 ia benar-benar meninggalkan kota ini, pulang dan masuk menemu muasalnya, tanah kelahirannya. Saya senang sekaligus sedih. Senang karena akhirnya ia mencium aroma lumpur sawah yang lama ditinggalkannya. Sedih karena kepergiannya dari kota ini tak lain disebabkan oleh saya.

Ya, pada November 2013 itu kami pergi ke Madura sembari berbagi beban 300 ekslempar buku puisi berjudul Masegit. Kami hendak menjalani kegembiraan kecil berupa piknik buku di Pamekasan. Saya mengajak Jufri untuk menemani saya bersafari puisi ke sekolah, kampus, dan pesantren. Namun celakanya (atau untungnya?), safari itu menahan kaki Jufri. Tanah kampungnya seperti tidak rela jika kehilangan lelaki itu lagi. Mulanya saya mengira ia akan tinggal beberapa hari saja di rumahnya. Ternyata saya keliru. Kakinya lengket di sana hingga tiga tahun lebih. Lalu saya juga mengira ia tidak akan kembali lagi ke Yogya. Berat rasanya mengingat kota sedu sedan ini. Yogya pernah menyiksa batinnya, menghajar jiwanya. Itu mimpi buruk yang pasti tidak ingin diulangnya. Ternyata saya keliru lagi. Perjumpaan saya sore itu menjawab semuanya. Tampaknya ia merindukan kegetiran menjalani hidup di kota ini.

Kabarnya sekarang Jufri bekerja sebagai juru potong buku di sebuah percetakan di Bantul. Kegiatannya masih dekat dengan buku, dengan kata-kata. Saya tidak tahu apakah ia masih menulis puisi atau justru meninggalkan puisi. Itu tidak penting. Yang lebih merebut perhatian saya adalah kembalinya Jufri ke kota ini seperti menjelaskan suatu hal bahwa Yogyakarta adalah bagian dari pohon silsilah dirinya sebagai manusia, dalam suka maupun duka. Yogyakarta adalah kebahagiaan di dalam kepedihannya, keperihan di dalam kegembiraannya. Yogyakarta adalah sakit hatinya, adalah rindu dendam kesumatnya. Di kota ini ia pernah pernah mampus dikoyak-koyak sepi, hancur diledakkan puisi. Tapi kini ia datang pada sore yang syahdu demi menyusun kembali sesuatu yang pernah retak dan membikinnya abadi.

Yogyakarta, 9 Januari 2017

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.