Sapi dan
Sapirin
Oleh: Shohifur
Ridho Ilahi
Kali pertama
saya berjumpa dan berkenalan dengan Suvi Wahyudianto pada sabtu sore yang
mendung, 9 April 2016, di sebuah warung di bilangan Lidah Wetan, Surabaya.
Anwari, aktor yang khusuk di teater itu memperkenalkan kami. Suvi memberi saya
katalog pameran tunggalnya dan saya memberinya buku kecil tentang pertunjukan
teater berbasis arsip yang sedang saya kerjakan. Perkenalan kami belum lama,
tetapi segera kami menjadi akrab dan obrolan mengalir deras barangkali
disebabkan oleh sejumlah kesamaan dan kedekatan yang melatarinya: kami
sama-sama berasal dari Madura, sama-sama pekerja seni, dan sama-sama punya
ketertarikan khusus pada “Madura” sebagai sumber penciptaan kreatif. Tentu
“Madura” yang saya maksudkan di sini melampaui teritori atau geografi,
melainkan konsep.
Membatasi Madura
hanya pada teritori memiliki konsekuensi mengerasnya isu primordial bernama
SARA. Identitas kemudian menjadi keras dan kaku. Itu sebabnya paradigma Madura
sebagai konsep lebih terbuka berdealektika dengan sejumlah anasir kebudayaan lain
yang terus masuk dan saling bertukar tangkap dengan lepas.
Lalu, ketika
kopi tinggal separuh, kami tak mendustakan nikmat yang muncul dari obrolan
tentang bagaimana kami para kaum muda melihat kenyataan kebudayaan di Madura
yang tampaknya semakin bersesilangan. Kami—generasi hari ini— yang cenderung
terbuka menerima semua jenis kebudayaan yang masuk dengan kategori-kategori
penyaringan tersendiri ini membuka tema kecil dan sederhana: Homo Sapirin,
sebuah pameran tunggal pertama Suvi yang digelar pada bulan Februari 2016 di C2o,
Surabaya.
Di luar,
gerimis tipis turun. Aspal jalan begitu gagah menerima dingin. Perbincangan “Homo
Sapirin” ditemani beberapa cangkir kopi dan sejumlah kretek yang dibeli secara
batangan. Melalui obrolan itu, saya berasumsi bahwa kami—generasi muda yang
menyilang ini—adalah subjek kebudayaan yang harus sanggup menyusur kebudayaan
leluhur dan mencari kemungkinan sinergi dengan kenyataan sosial hari ini.
Melalui pikiran semacam itu saya memikirkan lebih jauh konsepsi praktik
artistik Suvi dalam sejumlah karyanya, serta memeriksa kembali gagasan yang
sedang saya tempuh untuk bakal pertunjukan teater saya. Pikiran itu saya bawa
ke Yogyakarta dan mendekam dalam kepala selama berminggu-minggu sampai saya
memutuskan menulis catatan ini.
Kisah
Sebermula
adalah kisah, dan beginilah beberapa kisah sapi diriwayatkan: beberapa
komunitas kebudayaan menempatkan sapi sebagai sesuatu yang akrab dan penting. Dalam
tradisi Hindu, sapi mengisahkan tentang yang sakral dan yang mulia. Binatang ini dihormati dan menjadi perantara
keberlangsungan komunikasi antara umat dan alam, antara manusia dan kehidupan.
Sapi melambangkan ibu pertiwi atau tanah air yang memberi manusia kesejahteraan
dalam hidup. Umat Hindu mengormati sapi sebagai binatang yang istimewa namun mereka tidak
memujanya.
Dalam
masyarakat agraris, sapi juga mempunyai kontribusi penting dan patut dikenang
dalam kronik kebudayaan kita. Sapi-sapi itu adalah mesin pembajak tanah sebelum
akhirnya percepatan ekonomi dan dampak modernisasi menggantikan mereka dengan
mesin traktor. Selain berkarib dengan petani dalam urusan pekerjaan, tak pelak
sapi adalah barang berharga. Kepemilikan atas sapi berarti kesejahteraan dan kekayaan. Peristiwa
pencurian sapi di kampung-kampung juga menegaskan bahwa binatang itu adalah celengan yang berlimpah
uang.
Ada pula sapi
yang mengantarkan seorang ke dalam bui. Menjadi pesakitan dan dibenci
masyarakat. Misalnya tuan Lutfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah, politisi PKS itu
mendapat ganjaran lantaran perilaku kasus suap daging sapi impor beberapa waktu
lalu.
Kisah sapi
terus bergulir, setiap menjelang bulan Ramadhan hingga lepas lebaran, sapi
adalah konsumsi yang dicari masyarakat. Kepentingan ekonomi pun bermain;
menekan distribusi, lalu memasang harga tinggi. Kemudian kekacauan terjadi,
masyarakat limbung sebab tak memperoleh daging sapi dengan harga murah.
Di belahan
kebudayaan yang lebih luas, barangkali sapi juga mengisi narasi-narasi penting
dalam kebudayaan, agama, dan politik. Ia berkisah tentang hasrat dan kekuasan, uang
dan jabatan, tetapi juga bercerita tentang harga diri dan sikap, kemuliaan dan
laku hidup. Di Madura, sapi
melampaui celengan. Binatang itu menempati derajat yang tinggi di mana gengsi,
kehormatan, dan kekuasaan dipertaruhkan. Kita mengenal “Karapan Sapi” dan “Sapi
Sono’” sebagai salah satu identitas
paling masyhur di Madura. Paling tidak, dua istilah itu memperkaya kamus identitas
Madura di samping sate dan ramuannya yang dahsyat, atau kekerasan dengan
caroknya sebagai gambaran tentang manusia Madura yang sengaja ditabalkan oleh kolonial
Belanda.
Demikianlah,
segala sesuatu yang ada di muka bumi memiliki kisahnya sendiri-sendiri, baik
yang hidup maupun benda mati bergerak membuat narasi dalam rumah kebudayaan manusia.
Manusia yang membuat mereka hidup dan berkisah, menjadikannya simbol tentang
diri dan masyarakatnya. Sebagaimana kisah sapi di atas, tulisan ini hendak
mengisahkan sapi dalam struktur kebudayaan masyarakat Madura, wabilkhusus sapi
yang direkam oleh Suvi Wahyudianto dalam sejumlah karya rupanya. Saya melihat
karya-karya Suvi menjadikan sapi sebagai titik tolak dalam menggali inspirasi dan semangat artistiknya.
Melalui
tulisan kecil ini saya coba mencari kunci gagasan dalam karya-karya perupa yang lahir
tahun 1993 di Bangkalan ini. Untuk kepentingan itulah saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana namun mendasar,
apa makna sapi bagi Suvi dan bagaimana ia melihat sapi sebagai kenyataan kebudayaan
di Madura? Bagaimana ia menempatkan sapi sehingga masih relevan untuk
dibicarakan dalam konteks hari ini? Dan yang tak kalah penting, saya juga akan
sedikit membahas figur sapi dalam karya-karya para maestro seni rupa di Indonesia
dan dunia, barangkali yang terakhir ini bisa dijadikan pembanding bagaimana
sapi dihidupkan dalam kanvas dan instalasi oleh sejumlah seni rupawan kita. Dan saya akan mulai dari yang terakhir.
Kronik
Pada almanak 1917, dunia seni rupa di Indonesia mencatat lukisan berjudul
“Dunia Sapi” gubahan Sudiardjo. Bagi saya, lukisan dari anggota Persagi
(Persatuan Ahli Gambar Indonesia) ini seolah hadir sebagai antitesis
lukisan-lukisan Mooi Indie yang cenderung romantis eksotis. Lukisan-lukisan
Mooi Indie menempatkan alam sebagai sesuatu yang indah, cantik, istimewa, dan celakanya,
eksploitatif—sebuah pandangan yang sangat feodalistik, khas pandangan penjajah
kepada yang dijajah. Tiga ekor sapi, seekor ayam, sebatang pohon dengan lanskap
pegunungan dan cahaya bulan dalam lukisan Sudiardjo memperlihatkan wilayah
domestik khas masyarakat petani. Lukisan berukuran 95 x 125 cm ini
memperlihatkan sebuah paradigma estetik di mana semangat nasionalisme yang
bersumber dari masyarakat bawah benar-benar diperjuangkan. Dalam riwayat seni
rupa modern Indonesia, paradigma ini pernah menjadi gerakan terutama oleh
pelukis-pelukis Persagi dengan kredonya yang monumental itu: “mencari seni
lukis Indonesia baru”.
Maestro ekspresionis Affandi juga mencatatkan namanya melalui lukisan
berjudul “Sapi” (1977). Sapuan cat minyak yang nampak tak beraturan pada
kanvasnya menghidupkan dunia batin manusia (dirinya) melalui figur sapi.
Mencermati lukisan itu, kita dihadapkan pada sesuatu yang ganjil, kita tidak
menemukan kaki belakang sebelah kanan sapi sebab di situ Affandi membubuhkan
tapak kaki manusia lengkap dengan lima jarinya. Tapak kaki itu seolah
menggantikan kaki sapi yang hilang (atau ia memang tidak ada?). Kita merasakan
kecamuk, dibawa ke sisi personalnya. Keganjilan itu setidaknya menyingkap
sebuah relasi yang intim antara sapi dan manusia.
Semakin ke sini, sapi terus mengisahkan dirinya, berkolerasi dengan
semangat zaman yang terus berubah. Sapi sebagai binatang piaraan dalam kanvas
Sudiardjo telah berganti sapi sebagai pengganti ibu bagi balita-balita di
perkotaan. Meningkatnya kelas menengah perkotaan telah menyibukkan manusia
untuk berkarir di dunia kerja agar kebutuhan konsumsinya terpenuhi. Isu-isu
kesetaraan melahirkan salah satunya pandangan bahwa perempuan tidak harus
menjadi ibu rumah tangga, mereka juga bisa berbuat sesuatu di luar rumah
sebagaimana para laki-laki. Tetapi pandangan ini meninggalkan retakan di
lingkungan keluarga, terutama pada anak-anak mereka. Kondisi ini berjalan
beriringan dengan produksi susu kaleng yang terus meningkat. Produk-produk baru
susu sapi kaleng bermunculan dengan beragam iklan dan promosi keunggulannya
masing-masing. Bagi para ibu di perkotaan, produk susu sapi kaleng dianggap
sebagai jalan keluar bagi dahaga ASI untuk anak-anak mereka, tetapi selalu ada
yang tak lengkap dan selanjutnya menimbulkan retakan-retakan; bahwa susu sapi
kaleng tak bisa menggantikan air susu ibu, susu sapi kaleng tak bisa memberikan
pelukan kehangatan selayaknya ibu kepada anak ketika menyusui. Kondisi macam
inilah yang menjadi kritik Hedi Hariyanto dalam karya instalasinya yang
berjudul “Where is My Mom?” (2005).
Melalui karyanya, Hariyanto menghadirkan patung sapi yang seluruh tubuhnya
dipenuhi beragam merek kaleng susu
bekas. Sapi itu seperti menarik benda silinder (kaleng?), di dalamnya kita bisa
melihat sejumlah patung kepala bayi yang tampak sedang mengikuti sapi
(induknya?), di dalam silinder itu juga dipenuhi dot. Karya ini sesungguhnya
memapar perkara domestik seorang perempuan namun dibawa ke ruang sosialnya.
Ada pula sapi hadir tidak sebagai entitas kebudayaan yang mengisahkan masyarakat,
tetapi hadir sebagai bahasa, simbol, atau alat penyampai makna belaka. Kita
bisa menengok kembali karya Budi “Ubrux” pada pameran tunggalnya yang berjudul
“Nggiring Sapi neng PWI” di kantor PWI Yogyakarta pada tahun 2012. Sapi ciptaan
Budi dibuat dari meterial koran dan dinding tempat pameran berlangsung juga
ditempel koran. Fakta bahwa kantor PWI dijadikan tempat digelarnya pameran, dan pameran ini juga menjadi
rangkaian acara memperingati Hari Pers Nasional 2012, serta eksplorasi material
koran pada karyanya telah menerang-jelaskan arah karya ini, bahwa Budi sedang
membicarakan media massa dan perkara-perkara di sekitarnya.
Jika mengedarkan pandangan ke belahan dunia yang lain, kita akan
menemukan sebuah pameran bernama “Cow
Parade”. Pameran ini menampilkan figur sapi dengan beragam bentuk, ekspresi,
dan ditampilkan di ruang publik. Hingga saat ini “Cow Parade” telah melibatkan lebih dari 10.000 seniman. 79 kota di
dunia pernah diberi kehormatan untuk ambil bagian. Di Asia, pameran ini pernah
berlangsung di Tokyo (2003), Taipe (2009), dan Hong Kong (2013). Gelaran yang
diinisiasi oleh Cow Parade Holdings
Corporation ini adalah peristiwa perjumpaan artistik di mana narasi tentang
sapi di dunia dipresentasikan kepada publik. Pameran ini berpijak pada
pengertian bahwa sapi adalah hewan kesayangan yang universal. Sapi ada di
mana-mana, tidak seperti onta yang cuma
di tanah Arab, atau pinguin di daerah kutub. Sapi-sapi dalam Cow Parade membawa persoalannya
masing-masing, sebagaimana situasi peternakan di Belgia, misalnya—(salah satu
negara di mana rata-rata setiap orang mengonsumsi 100 kg daging sapi setiap
tahunnya [sumber: www.hbbbb.be]) berbeda dengan sapi yang menjadi mitra bekerja
para petani di Indonesia. Saya tidak tahu apakah ada salah satu seniman yang
pernah mempresentasikan sapi Indonesia, wabilkhusus sapi Madura di panggung
rupa sapi itu? Suatu saat, bukan tidak mungkin sapi-sapi itu datang ke
Indonesia untuk menyaksikan sapi-sapi perkasa asal Madura, berpameran di tanah
garam. Ah!
Demikianlah, sapi-sapi itu hadir dan direkam dalam lukisan dan instalasi,
menebalkan garis relasinya dengan manusia dan masalah-masalah di sekitarnya.
Ada sapi yang hadir telanjang sebagai binatang piaraan dalam realitas
masyarakat petani, ada sapi yang meriwayatkan kecamuk dalam batin seseorang, ada
sapi yang mengisahkan ironi masyarakat modern, ada pula sapi yang berbaju
kritik dan wacana meski tak ada hubungannya dengan dirinya. Bukan tidak mungkin
ada sejumlah karya tentang sapi yang lain namun lepas dari amatan saya. Tetapi,
sekurang-kurangnya empat karya dari empat perupa ini telah mengantarkan sapi ke
tempat yang terhormat: membawanya dari kandang ke sebuah galeri, ditonton oleh
penikmat, dicatat dalam katalog, disimpan di museum, ditulis oleh peneliti, direnungkan
oleh seniman, dan didiskusikan oleh akademisi.
Sapirin
Seniman-seniman di atas adalah pendahulu Suvi,
tetapi selalu ada yang berbeda sekalipun mengisahkan subjek yang sama. Selalu ada
yang tertinggal dan karenanya mesti dilengkapkan. Selalu ada yang tak diungkap
dan karenanya mesti ada yang memiliki inisiatif untuk membukanya. Tampaknya
Suvi akan istiqamah bersibuk-khusyuk dengan sapi Madura; menggali yang
terpendam, melengkapkan yang kurang, mengungkap yang diam. Tampaknya ia
menyadari tugasnya sebagai generasi muda Madura untuk menyampaikan kisah sapi
dalam wujud rupa kepada orang lain. Jika ia terus bertahan dalam menggali sapi
Madura, saya yakin ia akan menggenapkan kisah-kisah sapi dalam karya-karya seni
rupawan pendahulunya.
Ketimbang figur sapi dari para maestro lintas
generasi di atas, sapi dalam karya Suvi hadir begitu puitis dan sekaligus
ironis. Ada kebanggaan terhadap kebudayaan leluhurnya di satu sisi, namun ada
benih pemberontakan yang tak boleh dibilang sepele di sisi yang lain. Melalui karyanya,
Suvi hendak bilang bahwa ia memiliki riwayat kebudayaan yang kaya tentang sapi,
tetapi saya melihat ada gejolak dalam kebanggaan itu, suatu kondisi yang hadir
setelah melakukan pembacaan yang mendalam atas narasi sapi di daerahnya,
misalnya Karapan Sapi yang sarat gengsi dan kekuasaan, cenderung maskulin dan melanggengkan
praktik kekerasan terhadap binatang. Sapi dalam sejumlah karyanya melampaui
bentuk binatang berkaki empat, kita tidak akan menemukan karya Suvi dengan
bentuk sapi utuh, tetapi fragmen-fragmen, potongan-potongan, yang kesemuanya
berbicara tentang sikap, mental, juga gugatan.
Fragmen-fragmen dan potongan-potongan itu
seperti hendak mengabarkan sebuah ketidaklengkapan. Pada ruang yang disediakan
“ketidaklengkapan” itulah proses refleksi berlangsung. Ya, di samping gugatan,
ada semangat refleksi yang begitu tampak dalam karya-karyanya. Ketidaklengkapan
itu mengingatkan saya pada instalasi berjudul “Coesco Cow” karya seniman asal Cuba, Jeosviel Abstengo. Abstengo
membuat 30 patung sapi yang kesemuanya tidak lengkap alias cacat. Anggota badan
sapi dimutilasi, ada yang kepalanya tanggal, kakinya patah, perutnya berlubang,
dan lain-lain. Semuanya tanpa jeroan. Di
dalam tubuh sapi dipasang lampu 40 watt sehingga ketika dilihat dalam jarak
tertentu, tubuh sapi bagian jeroan itu
bercahaya. Mereka berbaris layaknya model yang sedang beraksi di panggung catwalk. Sebuah karya yang terlihat
anggun namun menyakitkan.
Saya cenderung melihat sapi di
Madura dengan seperangkat kebudayaan yang berdiri di sekitarnya adalah salah
satu bentuk ikatan primordial bagi masyarakat Madura. Tradisi
Karapan Sapi telah berlangsung sejak masa kolonial Hindia Belanda dan bertahan
sampai saat ini. Suvi yang lahir tahun 1993 menerima tradisi tersebut sebagai sesuatu yang terberi dan selanjutnya
menjadi pengalaman hidupnya. Dalam tradisi antropologi, ikatan primordial,
sekurang-kurangnya dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang dihasilkan dari
model identifikasi masyarakat yang berlandaskan pada sejarah pembentukan
identitasnya yang didapatkan secara natural, atau sebagai sesuatu yang terberi.
Pada pertengahan abad-20 Clifford Greetz telah mencatat dan menyajikan daftar
bentuk dari ikatan primordial. Misalnya ikatan darah, ras, tempat, agama,
bahasa, dan adat, atau dalam istilah bahasa Indonesia biasa disebut SARA (suku,
agama, ras).
Pada seluruh karyanya, terutama yang
dipamerkan pada pameran tunggalnya yang bertajuk “Homo Sapirin” di C2o,
Surabaya, 2016, menunjuk ke arah ikatan primordial itu. Karya-karya berjudul “Sekep | Se ‘Ekep-kep” (Yang Didekap), “Alos-los” (Melesat), “Sakramen”, “Ngabes” (Menatap), dan “Setinggil”
semakin menguatkan posisi Suvi sebagai perupa yang menempuh narasi tentang sapi
(di) Madura. Pemilihan bahan material seperti celurit, kulit sapi, tengkorak
sapi, dan beberapa eksplorasi berbahan garam dan daun jati semakin mengukuhkan
bahwa Madura adalah sumber pertama yang digali oleh Suvi.
Inilah yang membedakan karya-karya Suvi dengan
beberapa karya perupa Indonesia yang sudah saya sebut di atas. Suvi tidak bisa
menghindar dari kenyataan kebudayaan di lingkungannya, tetapi “menghindar”
dalam konteks ini bukan dimaknai sebagai “yang perlu ditinggalkan”, sebab dirinya
tidak akan pernah bisa meninggalkan kenyataan itu, ia tidak bisa lepas dan
selalu hadir di alam bawah sadarnya, “ketidak-lepas-an” serupa cut dalam tradisi psikoanalisa Lacanian,
semacam luka yang terus membekas selamanya. Karena ia tidak bisa lepas dari
kenyataan itu, maka dengan cerdik ia memanfaatkannya sebagai peluang dan
kesempatan, sebagai energi dan kelebihan. Berbeda dengan para perupa yang saya
sebut di atas, boleh jadi mereka tidak dekat dengan sapi sehingga figur sapi
dalam kanvas dan instalasinya hadir sebagai metafora, sebagai perlambang belaka.
Pada “Sekep | Se ‘Ekep-kep” (Yang
Didekap), misalnya, celurit-celurit dan eksplorasi garam dan daun jati dalam
kotak kayu itu tidak hanya menceritakan tentang bagaimana narasi kekerasan
berlangsung di Madura, tetapi juga berkisah tentang laku hidup dalam keseharian
manusia Madura. Celurit-celurit itu biasa dipakai menyabit rumput untuk memberi
makan sapi, atau biasa disambung dengan galah untuk mengambil buah di pohon
yang tinggi, tetapi sewaktu-waktu celurit itu bisa berubah menjadi senjata yang
melindungi atau bahkan menjadi senjata yang berujung kriminal. Pada manusia
Madura, celurit dikola secara beriringan: ia bisa menghabisi orang lain, tetapi
juga bisa melindungi pemiliknya dari kejahatan. Yang tak kalah penting adalah
mengapa celurit begitu berarti bagi orang Madura, terutama laki-laki?
Jawabannya sangat filosofis, benda itu dianggap sebagai jelmaan tulang rusuk
laki-laki yang hilang. Ah, barangkali celurit adalah Eva, karib hidup Adam yang
memakan buah terlarang di surga. Jika benar, astaga, betapa tajamnya Eva,
alangkah perkasanya perempuan Madura.
Jika tafsir filosofis itu masih berlangsung
dan diwariskan kepada anak cucu, tidak heran apabila senjata itu cenderung
maskulin, sebuah benda yang dimonopoli oleh laki-laki. Tafsir ini kemudian
menemukan padanannya pada karya berjudul “Alos-los”.
Kayu berukir karapan sapi itu ditancap tiga buah celurit. Karapan sapi adalah
hiburan yang sarat emosi, ini jenis hiburan yang tidak main-main sekalipun
hadiah yang direbut tidak seberapa dibanding dengan biaya perawatan sapinya. Ia
melibatkan gengsi dan harga diri. Kekarasan selalu terjadi apabila dianggap ada
kecurangan di pihak lawan.
Sementara pada “Ngabes” (Menatap), kita segera dibawa ke sebuah percakapan politik
antara pribumi dan pendatang, antara aku dan liyan, antara subjek adan objek.
Arsip foto milik Tropen Museum di Belanda yang ditakik Suvi untuk karyanya mengisahkan
sebuah “tatapan” (ngabes) liyan kepada
aku. Tatapan ini bermakna dua hal, pertama, dalam konteks penulisan sejarah di
Madura diinisiasi oleh peneliti “luar”—misalnya. Huub de Jonge adalah salah satu antropolog yang punya
kontribusi penting dalam penulisan tentang Madura terutama perihal Karapan Sapi
dan carok. Fakta ini memunculkan pengertian yang ironi bahwa generasi muda
Madura yang tidak mengalami sejarah masa lalunya dan ingin tahu dan belajar
banyak tentang kebudayaan dan sejarahnya—salah satunya—melalui hasil laporan-laporan
de Jonge. Pengetahuan tentang Madura justru diperoleh dari liyan. “Tatapan” de
Jonge pada Madura adalah tatapan liyan kepada aku. Ironinya, aku melihat liyan
untuk menatap aku sebab aku tidak bisa menatap aku. Meminjam kalimat Afrizal
Malna, lensa kamera tidak bisa memotret lensa kamera, sebagaimana bola mata
kita tidak bisa menatap bola mata kita sendiri. Sebuah jarak spasial diperlukan
untuk menatap yang temporal. Di situlah kita memerlukan cermin untuk melihat
bola mata sendiri. Cermin adalah liyan, cermin menegaskan jarak. Tetapi cermin
perlu diwaspadai, ia tidak bisa menyampaikan fakta secara utuh. Ketika di depan
cermin dan kita menggerakkan tangan kiri, lantas cermin mengabarkan bahwa yang
bergerak bukan tangan kiri melainkan tangan kanan memang benar adanya. Apa
boleh buat, hal ini seperti jalan melingkar, aku harus ke luar untuk masuk ke
dalam, melihat cermin untuk melihat model rambut kita, untuk berbangga betapa
cakepnya kita. Tetapi, bagaimana jika cermin itu retak? Seperti apa rupa kita?
Kedua, perkara “tatapan” kemudian semakin
rumit namun penting. Perkaranya bukan lagi bagaimana lensa liyan memotret
(menatap) aku, tetapi “apakah aku bagi tatapan liyan saat aku dipotret?” Dan
karya berjudul “Ngabes” menemukan
padanannya sebagai percakapan politik di mana aku diposisikan sebagai liyan
bagi mereka justru di tanah airku sendiri.
Sementara pada “Sakramen” dan “Setinggil” saya
melihat riwayat memilukan pada sapi. Dua karya ini seolah menjadi maklumat bagi
eksplorasi astistik dan makna yang muncul di sekitarnya. Pada akhirnya, sapi
karapan cuma meninggalkan kenangan dan kejayaan. Sekalipun gelaran kerapan sapi
terus berlangsung hingga hari ini, namun dalam “Sakramen” dan “Setinggil”
sapi-sapi itu telah selesai, seumpama gladiator yang kesepian ketika masa
keemasannya berakhir. Dua karya itu memiliki ciri yang berbeda, “Sakramen”
masih mengisahkan sejarah. Suvi menghadirkan bagian-bagian sapi seperti kulit,
tulang, tanduk, lonceng, dan kokot
sapi. Pada potongan-potongan itu perupa membubuhkan nama pemilik, tanggal dan
waktu ketika sapi itu dipotong. Pada karya ini Suvi ingin menghargai binatang
itu dengan mencatatnya, memberi marwah untuk dikenang. Potongan-potongan itu
adalah saksi yang mengisahkan hubungan manusia dengan sapi.
Tetapi, “Setinggil” benar-benar menggenapkan
kepiluan sapi. Nasib terakhirnya bukan ditangisi orang-orang, diantar bersama ke
kuburan, melainkan menjadi hidangan kuliner di meja makan.