Penyair Sulaiman dari Negeri Zaituna

Penyair Sulaiman dari Negeri Zaituna

Shohifur Ridho Ilahi


1
Saya yakin, cerita ini belum pernah diwartakan oleh juru kisah dari berbagai negeri ke hadapan saudara pembaca yang budiman. Cerita ini sederhana, sangat sederhana, sesederhana saya membuka jendela rumah ketika pagi dan menutupnya ketika malam. 

Dan beginilah jendela cerita ini dibuka, kemudian kita biarkan saja sayup angin menggulirkan cerita sebagaimana mestinya.

2
Alkisah, penyair tidak masyhur bernama Sulaiman menghabiskan sisa hidupnya di Negeri Zaituna dengan menulis puisi sepanjang waktu, sepanjang siang dan malam. Misalnya Tuhan menciptakan waktu selain siang dan malam, maka penyair Sulaiman tentulah mengisi waktu itu dengan menulis puisi. Untuk mengganjal perutnya yang kerontang, ia hanya perlu makan buah-buahan dari pohon yang tumbuh di belakang rumahnya (sejatinya sebuah gubuk kecil yang reot). Bila pohon itu sedang tidak berbuah, maka dedunan pun bisa jadi hidangan.

3
Tidak ada yang tahu muasal dan riwayat kelahiran penyair Sulaiman. Dari rahim siapakah ia lahir? Siapa ayah dari penyair yang bijaksana itu? Tidak ada yang tahu! 

Betapa cerita tentang dirinya seperti tertutup rapat di dalam peti yang terkubur di bumi lapis ketujuh, atau bahkan tersimpan sebagai rahasia langit? Entahlah! Saya hanya tahu kisah tentang penyair Sulaiman ketika ia sudah menjadi penyair, ketika ia sudah bermukim di Negeri Zaituna. 

Jika saudara bertanya kepada saya dari siapakah cerita penyair itu saya peroleh. Maka saya akan menjawab, demi langit dan bumi, demi Tuhan Semesta Alam, saya tidak ingat siapa yang merawikan cerita ini kepada saya. Dari sosok misterius yang bertamu dalam mimpikah? Saya tidak yakin. Saya belum pernah mengalami mimpi yang demikian aneh. Atau dari seorang wali yang menyamar jadi pengemis tua mengenaskan? Tidak juga. 

Tetapi yang pasti, pada satu hari, tiba-tiba, di suatu pagi yang cerah, pagi yang datang sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, dengan santai dan rasa bahagia saya menuliskan cerita penyair Sulaiman. Sungguh begitu alamiah. Tetapi, sebentar…

4
Sebentar… Oh, ya Tuhan. Ya. Saya ingat sekarang. Aduh. Mengapa saya sepikun ini? Begini, setiap pagi saya biasa membuka jendela kamar, dan pagi itu, aduhai, sungguh berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, saya merasakan angin bertiup sangat sejuk sekali, seperti benih embun paling lubuk. Angin itu membawa kemurnian dan kesejukan yang istimewa, sesuatu yang belum pernah saya rasakan pada pagi-pagi sebelumnya. Angin itu seperti rombongan malaikat yang berdesak-desakan masuk ke kamar saya. Apa? Seperti? Seperti rombongan malaikat? Tidak! Saya sangat yakin angin itu memang rombongan malaikat meski sangat sukar untuk dijelaskan. Memang, sejak subuh, jendela kamar saya tidak henti berbunyi sebab dibentur-benturkan angin, selain karena memang bingkai jendela dan kusennya yang renggang. Saya terganggu dengan suara jendela, tetapi saya juga tidak sanggup membuka jendela saat subuh, dingin pasti mengoyak tubuh saya, maka saya menunggunya sampai matahari muncul dari timur. Tetapi, sampai tiba waktunya saya membuka jendela, angin yang menyeruak masuk ke dalam kamar terasa masih sangat dingin sekali, seperti dingin air yang saya rasakan ketika berwudu untuk salat subuh. Ini angin dan dingin yang tidak biasa. Mungkin, malaikat itu sengaja menabrak-nabrak jendela supaya saya lekas membukanya. Mungkin juga, dari luar jendela rombongan malaikat itu berkata: hei, cepat buka jendelanya, aku membawa cerita hebat yang perlu kamu tulis hari ini. sampai cerita ini ditulis saya masih yakin bahwa angin itu adalah rombongan malaikat yang membawa harta karun berupa cerita. 

Begitulah saudara, begitulah malaikat yang menyaru angin membimbing saya menulis cerita ini.

5
Konon, Negeri Zaituna adalah negeri yang tidak termaktub dalam peta. Adapun penjelasan ini saya peroleh dari sebuah kitab kuno yang entah ditulis oleh siapa. Sejatinya naskah lapuk itu bukan kitab, hanya serpihan tulisan tangan peninggalan almarhum kakek yang tercecer di rak al-quran mushalla—saya tidak yakin kakek yang menuliskannya, beliau tidak bisa menulis. Tulisan itu hanya sedikit menjelaskan tentang keadaan Negeri Zaituna, selebihnya tulisan pada kertas itu dimakan rayap dan tidak menyisakan jejak apa-apa. Adapun kisah penyair Sulaiman tidak pernah disinggung dalam tulisan yang robek halamannya itu.

Di dalam tulisan itu dijelaskan bahwa Negeri Zaituna adalah suatu negeri antah berantah yang tak seorangpun mengetahuinya. Sebuah Negeri yang disangsikan oleh peta. Karena itulah Negeri itu tidak termaktub dalam sejarah, dalam peta. 

Sebagaimana dituturkan kitab itu, sungguhnya Negeri Zaituna sangatlah mooi indie: sungai-sungai mengalir menuju muara, airnya jernih bagai purnama. Pohon-pohon kelapa tumbuh di bantaran sungainya. Ikan-ikan berenang hilir mudik. Gunung-gunung menjulang seperti raksasa yang kesepian. Hewan-hewan melepas dahaga dengan meneguk air sungai itu. Dijelaskan pula, Negeri Zaituna hanya disinggahi dua musim, yakni kemarau dan hujan, purnama bertamu setiap bulan. Oh, adakah saudara sanggup menjawabnya, di manakah Negeri itu berada?

6
Tetapi, sebentar dulu… saya menemukan sesuatu di balik kertas itu. Sebuah tulisan. Sebuah nama. Sabaruddin bin Zarkazy. Itu nama kakek saya. Betul. Mengapa ibu tidak pernah bercerita kalau kakek bisa menulis? Mengapa ayah juga diam saja? Kakek sudah meninggal berpuluh tahun lampau, begitu pula dengan ayah dan ibu saya. Artinya saya tidak akan memperoleh penjelasan dari mereka. Oh ya. Saya bisa melacaknya dari seorang putra rekan kakek, seorang ulama, kebetulan kakek saya pedagang dari Arab yang kepincut hati dengan nenek dan tidak mau kembali ke negerinya setelah berhasil menikahinya. Barangkali kakek pernah bercerita kepada rekannya dan sebelum meninggal rekan kakek itu mewariskan kepada putranya, si Ulama itu. Maka berangkatlah saya, empat jam dari rumah menuju kediaman si Ulama. Ternyata Ulama tersebut langsung paham maksud kedatangan saya meski saya belum menjelaskannya. Ulama itu berkata, penyair Sulaiman memang benar adanya, namun tidak seorangpun yang pernah bertemu dengannya, namanya tidak disebut dalam sejarah sastra dunia, karena tidak ada satu orang pun yang pernah membaca karya-karyanya meski banyak orang yakin bahwa ia memang menulis puisi. Ada salah seorang teman baik saya bilang kalau penyair Sulaiman menulis puisi tidak untuk dibaca orang lain, beliau menulis untuk dirinya sendiri, jadi tidak ada satu orang pun yang pernah membaca karya-karyanya. Begitulah sedikit penjelasan dari si Ulama yang menurut saya masih perlu disusul dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Si Ulama hanya menjelaskan itu, selebihnya beliau pergi buru-buru karena ada undangan ceramah di masjid kabupaten.

Sampai di sini saya sudah merasa bingung melanjutkan cerita ini. Saya seperti terjebak dalam labirin yang saya tulis sendiri. Bagaimana tidak, menurut penjelasan Ulama itu, tidak ada seorangpun pernah berjumpa dengan penyair Sulaiman, namun mengapa mereka bisa yakin penyair Sulaiman memang benar adanya? Mereka bilang tidak seorangpun yang pernah membaca puisinya, tetapi mengapa mereka bisa yakin penyair Sulaiman adalah benar-benar penyair? Ah, apa pula Negeri Zaituna? Negeri yang dilupakan oleh peta? Apa benar negeri itu benar-benar ada (atau memang sengaja ditiadakan)? Apakah saudara pembaca juga merasa aneh dengan cerita ini dan menemukan banyak kelemahan di dalamnya?  Sesuatu yang bersifat simpang siur barangkali? Saya rasa iya.

Karena merasa dipermainkan, saya pergi ke warnet dan bertanya kepada maha guru manusia abad ini. Meski saya paling anti terhadap mesin canggih itu, tetapi rasa ingin tahu mendesak diri saya dan mebobol keimanan saya untuk tidak sekali-kali menyentuh barang yang konon sakti itu. Tetapi akhirnya sungguh saya tidak percaya, saya merasa diperdaya dan ditipu oleh makhluk sialan itu. Martabat saya diinjak-injak. Betapa tidak, ketika saya ketik tulisan: PENYAIR SULAIMAN, kemudian yang muncul sederet nama penyair yang bernama sulaiman. Berpuluh-puluh jumlah penyair bernama Sulaiman. Nama-nama terkenal dari berbagai penjuru dunia, puisi-puisinya sering dimuat di media-media dan kerap kali diundang ke festival sastra. Mereka adalah penyair-penyair yang mashur. Tidak. Penyair Sulaiman yang saya cari puisinya tidak pernah dimuat di manapun dan tidak pernah diundang kemana-mana. Beliau tidak mashur. Tidak dikenal oleh banyak orang. Saya mengetik lagi: PENYAIR SULAIMAN DARI NEGERI ZAITUNA. Enter. Kosong. Nama-nama sulaiman yang tadi muncul lagi. Sialan. Ternyata mesin ini tidak sepintar yang saya kira. Bah! Saya tidak patah arang, maka bertanyalah saya kepada profesor sastra di kampus terkemuka di daerah saya. Saya berangkat malam hari dan pada malam itu juga saya pantas kecewa, seorang profesor bahkan tidak pernah mendengar nama penyair Sulaiman dari Negeri Zaituna.

Usaha saya tidak berbuah hasil juga. Tiba-tiba saya ingat sesuatu: barangkali saya perlu melakukan apa yang telah saya lakukan ketika menulis cerita ini. Jendela. Oh. Jendela. Saya perlu melakukannya lagi, membuka jendela ketika pagi dan menutupnya ketika malam. Sejak saya memikirkan penyair itu saya lupa sudah tidak membuka jendela sebagaimana biasa saya lakukan setaip hari. Sudah sebulan lamanya jendela kamar saya tidak pernah dibuka dan membiarkan kamar saya pengap dalam labirin yang rumit. Akhir-akhir ini saya selalu bangun kesiangan karena malamnya begadang, memikirkan cerita itu, labirin itu. Saya membayangkan malaikat yang menyaru sebagai angin itu menunggu saya setiap pagi untuk melanjutkan cerita yang dibawanya. Malaikat itu terkantuk-kantuk di depan jendela. Mengapa saya bisa lupa, bahwa kunci semua cerita ini ada di tangan malaikat itu. Barangkali cerita ini diniatkan turun secara berangsur-angsur, seperti al-quran, dan malaikat itu bermaksud mencicilnya setiap pagi lewat jendela kamar saya. Besoknya saya bangun pagi-pagi sekali dan membuka jendela agak awal, tepat habis subuh sebelum matahari menyembul, saya tidak peduli dengan dingin yang menusuk tubuh, tetapi setelah menunggu cukup lama saya tidak mendapatkan apa-apa, saya tidak merasakan apa yang pernah saya rasakan pada pagi itu: menulis cerita yang secara batiniah dibimbing oleh angin yang sebenarnya malaikat itu. Mungkin besok. Tetapi malaikat itu tidak datang. Mungkin besoknya lagi. Besoknya lagi dan seterusnya. Malaikat itu tidak pernah datang. Mungkin tidak akan pernah datang. Di depan saya hanya layar putih pada monitor komputer murahan tanpa satu huruf pun berhasil ditulis. Saya menyesal. Saya marah pada diri saya. Betapa bodohnya saya.

Berselang waktu cukup lama, waktu saya habiskan untuk memikirkan penyair Sulaiman. Saya hijrah ke suatu daerah yang sepi dan jauh dari jangkauan manusia. Saya bikin gubuk kecil dekat pohon yang rindang. Di sanalah bertahun-tahun saya bertanya tentang penyair itu tanpa beroleh jawaban. Selama itu saya tidak keluar kemana-mana kecuali menulis puisi dan membayangkan diri saya adalah penyair Sulaiman dari Negeri Zaituna. Menulis puisi membuat diri saya tidak terawat, kurus kerontang tubuh saya dimakan kalimat-kalimat puisi. Hanya buah-buahan yang saya makan. Apabila pohon di belakang gubuk sedang tidak berbuah, saya melahap habis dedaunan. Saya menulis puisi siang dan malam hari. Saya sangat bergairah sekali menulis puisi, sehingga seandainya ada waktu selain siang dan malam mungkin saya habiskan untuk menulis puisi. Meski kertas sudah habis, kayu-kayu dan bambu yang menjadi tiang penyangga gubuk menjadi media luapan kata-kata. Tidak ada lagi yang saya pikirkan kecuali puisi. Dan kini, saya benar-benar merasakan sendiri bagaimana penyair Sulaiman dari Negeri Zaituna itu menjalani hidup. Akhirnya cerita ini tanpa akhir. Cerita ini semestinya tutup buku, tetapi imajinasi selalu membuka halaman baru dan membuat cerita ini semakin banyak memiliki kelemahan. (*)

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.