Hikayat Pengisah Laut Badra

Hikayat Pengisah Laut Badra

Shohifur Ridho Ilahi

            Entahlah, dari titik mana mesti kumulai kisah ini. Kisah yang aku sendiri agak risau menceritakannya. Akankah harus kumulai dari buih ombak yang memeberiak dimatamu atau akan kumuqaddimahi dari kedalaman kelopak laut yang biru itu? Ah, mengapa setiap kisahmu teramat sulit untuk kubuka, seperti pintu tua karatan karena hujan dan panas tak henti merajamnya. Baiklah, kumulai saja dari namamu yang agung itu.

            ....hai, Badra. Layla Badra Sundari yang baik. Sebenarnya aku cukup gugup mengisahkan ini kepadamu, kepada seorang perempuan yang pernah menanam tunas pohon berimbun daun cahaya di hatiku. Yah, semacam cahaya gemintang dan bulan tanggal lima belas yang terlampau agung untuk dilupakan dan dipulaskan dalam kesibukan sehari-hari. Tapi tak apa, aku akan tetap berkisah sebagaimana fajar akan tetap selalu gelisah; menyembulkan matahari dari rahimnya hingga mengkhatamkan hari pada halaman maghrib.
            Badra, tahukah engkau, bahwa semenjak kali pertama mengenalmu aku lebih sering duduk termenung sendiri di tepi pantai saat senja perlahan datang sampai matahari menutup kisahnya hari itu dan mengkaramkan tubuhnya ke laut. Tak kusangka, ternyata laut teramat indah, Badra. Seindah matamu yang teduh. Semula aku mengira bahwa laut tak lebih sekadar ombak yang bergelombang lalu hilang ketika mencium  pantai, begitu seterusnya, berulang-ulang. Tetapi ada sesuatu yang kemudian—entah kekuatan apa yang menggerakkanku supaya berlama-lama memandangi laut—mengajakku bernostalgia dengan buihnya yang bergaram. Aku tidak merasakan sunyi lagi seperti sebelum mengenal dirimu, karena debur ombak dan layar perahu nelayan cukup setia menemani kesendirianku.
            Aku juga tidak paham Badra, mengapa kemudian engkau kuandaikan serupa laut, serupa airnya yang bergelombang, serupa warnanya yang biru. Tetapi, yang pasti bahwa aku selalu ingin mandi dan menyelam ke dalam lautmu, merasakan asin tubuhmu, merasakan asinnya cintamu—ah, benarkah kau juga mencintaiku, duhai gadis berkerudung bianglala? Hahahaha, sungguh aku terlampau berharap. Ya, aku ingin berlayar dengan perahu kecil. Kemudian berharap perahuku menabrak karang atau diombang-ambingkan gelombang sehingga perahuku bocor dan akhirnya karam. Lalu aku akan berenang dan menyelam hingga ke dasar untuk merasakan asin cintamu—ahai, asin cintamu? Ha ha ha, benarkah kau juga mencintaiku, duhai gadis berkerudung bianglala? apakah ini tidak terlampau berlebihan?
—o0o—

            Aku mencintaimu serupa cinta laut pada gelombang. Angin malam melunaskan gelap pekat dan gigil yang merajam. Daun kering gugur satu tapi gerimis membuatnya tumbuh seribu. Pada akhirnya kita akan menjadi jarum jam yang patah sebelum menuntaskan putaran yang terakhir. Tapi waktu akan tetap selalu gelisah dan kita akan menggantinya dengan busur panah.
                                                                                                           
            Itulah sajak yang kutulis ba’da menekuri angin laut di tubir pantai sembari mengingat-ingat matamu yang dalam dan teduh itu. Sungguh sajak itu begitu kaya, bukan lantaran di dalamnya berserakan kata-kata indah. Tetapi lebih dari itu, kata-kata dalam sajakku seperti hidup dan bergelombang layaknya laut. Coba kau baca selepas matahari menanggalkan jubahnya di lubuk maghrib. Niscaya akan aku temukan keindahan-keindahan yang kau sendiri akan gagap mengungkapkannya; Betapa sajak ini..... sajak ini alangkah..... uh...
            Lebih dari itu Badra, bahwa yang paling aku kagumi dari laut adalah warnanya yang biru, seperti langit. Ya, manusia seperti tenggelam dalam tempurung langit. Warna biru selalu mengingatkan aku pada ketenangan hidup, kebersahajaan hati, serta kerendahan diri.
“Seolah-olah laut adalah langit yang terapung, pun laut seperti terbang melayang,” begitu menurutmu.
 “Tapi, adakah langit yang terapung, Badra? Dan  bisakah laut terbang seperti halnya burung?” aku bertanya, tapi dalam hati. Tentu saja kau tak mendengarnya.

“Barangkali karena mereka sama-sama biru, sama-sama beriak. Bila laut riaknya buih, maka langit beriak awan. Aku selalu membayangkan bahwa di atas langit juga ada kapal-kapal yang berlayar, ada ikan-ikan yang berenang, seperti halnya di laut,” tiba-tiba imajinasimu  liar. Berpikir sesuatu yang tak masuk akal. Aku serasa mau terjungkal.
“Kalau begitu, perkenankan aku menjadi ikan-ikan atau kapal-kapal yang membentang-kembangkan layar di laut hatimu,” lagi-lagi aku berucap dalam hati. Tapi kau tak berusaha untuk membaca pikiranku. Duh.
“Aku mau kau membacakan beberapa sajakmu untukku,” pintamu tiba-tiba. Aku tergagap. Permintaan yang tak kuduga sebelumnya. Dan yang lebih tak terduga adalah cara kau meminta, seolah-olah mengharuskan aku menuruti kemauanmu; aku mau kau membacakan beberapa sajakmu untukku. Yah, apa boleh buat. Dengan senang hati kukabulkan permohonanmu.
            Aku gugup, keringat dingin mulai membasahi ubun-ubunku.
“tapi, sajak tentang apa yang kau mau?” Aku memandang matamu, mencari sesuatu yang misteri; cinta. Tapi, ah, matamu terlampau dalam sehingga aku tak mampu menjangkaunya.
“sajak tentang laut,” jawabmu halus dengan pandangan mata jauh nun disana, tempat bertemunya laut dan langit. Memang laut dan langit selalu bertaut, Badra, bisikku pada angin, aku harap nanti malam angin menyampaikannya padamu, agar engkau tak bisa lelap karena terus memikirkanku.
            Kemudian aku membaca dua buah judul sajakku dengan penuh perasaan. Satu judul tentang laut, satunya lagi tentang dirimu. Aduhai, Matamu tak lepas dariku, menghujam diriku, aku salah tingkah. Suaraku timbul tenggelam diantara desir angin dan debur ombak.  Aku merasa antara sajakku, ombak, dan angin adalah nadi yang sama, adalah musik rerindu untuk senantiasa menghiburmu. Tak terasa senja sudah menepi, sebentar lagi magrib menuai janji, kita pulang membawa kenangan dari keping-kepingan hati, sesuatu yang tak kusangka sebelumnya kini benar terjadi.
—o0o—

            Aku pernah membayangkan matamu adalah laut, itulah jawaban mengapa aku tak pernah bosan menatap matamu, seolah-olah aku menjadi perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautmu, tapi aku suka dengan gelombang itu, perahu bisa demikian berarti tersebab ada ombak yang menghempaskannya.
            Pada pertemuan suatu senja yang permai, aku pernah memberi sapu tangan biru kepadamu ketika kudapati wajah dan lehermu berkeringat. Tapi aku tidak berani membilas keringatmu dengan sapu tangan handukku. Aku terlampau pemalu untuk hal seperti itu, atau wajahmu memang teramat mulia untuk tanganku yang kotor ini. Badra, aku tak pernah lelah berharap, semoga sapu tangan biru itu kau simpan dan kau pandangi saat sebelum matamu terlelap di bawah malam, seperti ketika kita memandang laut saat senja. Bukankah birunya sapu tangan itu serupa biru laut dan langit? Bolehlah kau berenang, naik perahu, atau sekedar memancing diatasnya. Ya, tentu kau lakukan itu dalam khayalanmu. Bukankah khayalan adalah doa, Badra?
“Bisakah kau bacakan beberapa sajak untukku lagi?” pintamu suatu malam lewat telepon. Suaramu lembut. Oh, betapa aku merasa baru mendapat wahyu dari Tuhan yang dibisikkan ke telingaku. Selain itu, aku merasa dari handponeku menyeruak bau harum kembang tujuh rupa. Aku sempat tidak percaya sebab itu yang pertama kalinya kau menelponku, karena sebelum-sebelumnya biasanya kita hanya bertukar sapa lewat pesan pendek.
“Tentu, tentu saja Badra, aku selalu siap untukmu, sayangku” jawabku masih dalam kondisi masih antara percaya dan tidak. Tentu saja kata sayangku hanya berani kuucapkan dalam hati.
            “Aku mau kau baca sajak tentang laut lagi,” ha ha ha, rupanya kau juga terpesona dengan laut, Badra. Aduhai, tentu aku selalu bersedia. Aku tidak akan menolak bila setiap waktu kau mengundangku datang ke rumahmu untuk membacakan beberapa sajak lautku.
            Dan malam itu aku tak bisa tidur. Hatiku lebur.

Malam ini mataku tak bisa tidur. Hatiku lebur. Apakah ini karena sajak lautmu? Tentu saja itu kataku, tapi kuandaikan bahwa engkaulah yang berucap. (uh...kawan, ini akibat sindrom akut cinta monyet. Ya, akibat virus cinta ala sinetron murahan. Semoga kau tak seperti diriku, dan memiliki nasib yang jauh lebih baik ketimbang diriku)
—o0o—

            Masih segarkah ingatanmu, Badra. Tentang percakapan kita di suatu senja yang permai? Kira-kira delapan bulan yang lalu. Ketika aku masih terlampau pemalu untuk benar-benar mengatakan ‘aku sayang kamu’. Duh, betapa kata itu seperti batu besar yang tak mampu kuangkat meski hanya sejengkal. Betapa lidahku seperti kesetrum listrik ribuan voltase hingga tak mampu berucap. ‘Aku sayang kamu’ memang kalimat yang sederhana, semua orang pasti sepakat dengan itu. Tapi, apa yang sederhana dari dirimu, Badra? Sungguh kau melampaui itu.

            Inilah percakapan kita waktu itu, semoga kau masih mengingatnya:

“Laut bukan sekadar ombak dan buih.”
“Benar.”
“Laut selalu hidup. Menurutmu. Bagaimana laut itu?”
“Ia tidak pernah tertidur.”
“Aku sepakat, laut tidak seperti manusia. Manusia bisa lelap di bawah malam. Sedangkan laut tidak, ia senantiasa terjaga.”
            Kemudian kau bercerita tentang kisah hidupmu semenjak masih bocah hingga menjadi gadis cantik jelita seperti sekarang. Tak kusangka, ternyata kau juga menyukai laut. “Sebelum aku mengenalmu, aku sering ke sini. Yah, meski cuma sekedar merasakan tiup anginnya yang lembut atau sekedar melihat perahu-perahu nelayan yang bersandar atau yang sedang mengangkat sauh.”
            Sesudah kau khatamkan ceritamu, aku menyela, “sungguh aku ingin seperti laut, Badra,” dalam hati aku melanjutkan, “aku ingin selalu terjaga, karena dengan begitu aku bisa menjagamu setiap waktu.”
            Sebelum kulelapkan mataku, terpikir olehku bahwa matamu memang seperti laut; dalam dan luas. Maka tanpa merasa berdosa, kusimpulkan saja bahwa bila matamu adalah laut, maka aku ingin mati tenggelam saja, mati dalam laut hatimu tentu saja.
—o0o—

            Tentu masih segar dalam ingatanmu peristiwa sebulan yang lalu. Dimana kita bertemu kembali di pantai yang sama. Tapi, saat itu, senja hadir bagai monster dengan mulut menganga. Ingin menelanku. Ih, peristiwa yang membuatku selalu ingin melupakan hidup, dan pergi jauh dari keramaian manusia.
 “Laut dan langit sepertinya adalah satu. Begitulah mata kita melihat.”
“Barangkali seperti itu.”
            “Benarkah apa yang kau ucapkan dulu, kau ingin seperti laut?”
            Aku mengangguk
            “Mengapa?”
            “Tersebab laut tak pernah tertidur.”
            “Hanya itu? ”
            “Lebih dari itu.”
            kau diam
            aku melanjutkan, “aku ingin melindungimu,”
            kau masih diam. Angin berkesiur. Kerudungmu berkibar. Kemudian kau angkat bicara. “Kalau kau ingin jadi laut, bagaimana caramu menjaga ikan-ikan?”  Pertanyaan yang filosofis. Cukup membuatku tersentak.
            “Badra, hingga kini, tak ada ikan-ikan dalam lautku. Tapi..., tapi aku selalu berharap bahwa engkaulah ikan itu, dan aku akan menjaganya.”
            “Kau bercanda.”
            “Apakah aku kelihatan main-main?”
            “Sepertinya begitu!”
            “Itu tidak mungkin.”
            “Mungkin saja. Karena kau gila.”
            “Apa?”
            “Ya, kau gila”
            “Aku tidak mengerti.”
            “Kau gila!”
            Aku bingung. Kujawab saja sekenanya, “tentu saja aku gila, Badra. Jika tidak gila, bukan cinta namanya.”
            “Apa?” kau balik bertanya.
            “Tentu saja aku gila. Jika tidak gila, bukan cinta namanya,” kuulangi saja dalam hati. Karena aku rasa kalimatku cukup jelas, dan tak perlu diulangi. Sepertinya kau sudah paham. Tapi barangkali kau ingin mendengarkan sekali lagi.      
            Kau diam. Matamu kosong. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranmu.
            “Kuharap kita adalah laut dan langit yang senantiasa bertaut.”
            “Aku tidak mengerti.”
            “Kau tidak perlu mengerti, sebab kau adalah pengertian itu sendiri.”
            Engkau bingung, “Sepertinya senja akan habis, sebaiknya kita cepat-cepat kembali.”
            “Adakah jawaban untukku sebelum kita pulang?”
            Kau bungkam. Debur ombak mengambil alih percakapan kita.
            “Bagiku, kamu adalah pujangga yang mahir bersajak. Aku kagum dengan sajak-sajakmu, dan kagum pada orangnya tentu saja. Tapi...tapi mengapa kau hanya berani menuliskannya. Padahal dari dulu aku selalu berharap kamu mau datang ke rumahku dan bertemu kepada orang tuaku untuk meminangku. Karena aku percaya sajak adalah sesuatu yang melampaui kata-kata, maka pinanganmu adalah sajak yang sesungguhnya. Tapi sekarang, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.”
            Tatapan matamu kosong. Butiran bening perlahan jatuh dari sudut matamu. Ombak berdebur. Angin rikuh. Aku risau.
            “Aku sayang kamu.”
            “Terimakasih.”
            “Baiklah. Aku akan meminangmu.”
            “Apa?”
            “Aku akan meminangmu.”
            “Jangan!”
            “Mengapa?”
            “Kau boleh datang, tapi tidak untuk meminangku.”
            “Maksudmu?”
            “Kau boleh datang, hanya datang saja. Tapi tidak untuk meminangku. Mengertilah. Kau terlambat.”
            Oh...Serasa tubuhku lumpuh. Tak percaya.
            “Semestinya itu sudah kau lakukan dari dulu, bukan sekarang. Besok aku akan pergi. Dan mungkin tidak akan kembali. Aku akan pergi dan tinggal di Jakarta bersama paman.”
            Oh, memang kau telah hidup sendiri. Dan tidak punya siapa-siapa lagi disini setelah peristiwa kecelakaan yang menimpa kedua orang tuamu sebulan sebelum pertemuan ini. Aku mengerti, kau akan selalu merasa kehilangan dan tidak akan bisa melupakan peristiwa tragis itu. Tapi, apakah Jakarta adalah pilihan yang baik? Disana kau tidak akan menemukan laut, Badra. Kamu akan berada di tengah hiruk pikuk keramaian kota, polusi asap knalpot, dan kebengisan orang-orang kota. Kamu tidak akan betah hidup disana. Percayalah padaku.
            Duh. Serasa langit runtuh menimpaku. Sedang laut beringas menelanku.

Oh, Bagaimana kulanjutkan kisah ini? Bila aku, si penghikayat laut ini, tidak mampu lagi menanggung jurang kesedihan yang teramat curam. Aku paham, bahwa akulah yang menggali jurang itu. Dan sekarang aku sendiri yang terkubur disitu. Sendirian. Tak ada kamu. Tak ada siapa-siapa. Agrrhhhh....(*)


Yogyakarta, 28 November 2011 (18:01 WIB)

Shohifur Ridho'i

Lahir pada tahun 1990 di Sumenep. Menulis naskah drama, puisi, dan esai seni pertunjukan. Tahun 2016 mendirikan rokateater, kolektif seni yang berbasis di Yogyakarta. Profil yang lebih lengkap, silakan kunjungi laman ini.

Blog ini berisi catatan berupa jurnal dan karya seperti drama, puisi, esai, dan lain-lain. Terimakasih telah berkunjung ke blog ini.