dua puisi ini masuk dalam buku Serumpun
(Antologi Puisi Penyair Yogya-Kuala Lumpur 2012)
perahu
ayah bernama mawar
perahu
ayah mawar namanya. membelah bulan tiang alifnya. linggi di haluan perkasa
menyibak ombak menghitung jarak antara ayah dan pantai. geladaknya adalah bumi
seribu musim dengan hujan dan kemarau saling bersahutan. di buritan ayah
memandang ke masa lalu. sementara kenangan berbisik lewat anginnya yang
bergaram.
“ketika tongkat musa
tak mungkin lagi membelah laut. belah aku dengan perahumu ayah”
perahu
ayah mawar namanya. ia berduri bila langit dan laut saling pagut atau ombak
hendak menyikut. maka kelopaknya mengeras dan tangkainya membatu. runcingnya
panas mentari. sebab mawar bukan buatan nuh. ia bukan perahu yang datang dari
puncak gunung. bukan.
“mawar hanya perahu
nelayan biasa. penangkap ikan bersirip pelepah purnama.”
perahu
ayah mawar namanya. ia perahu penangkap ikan yang perkasa. ayah menjahit jaringnya
dari benang mimpi. sulamannya seindah jaring laba-laba. o wahai. menjahit
jaring seperti menjahit kehidupan yang retak dan luka. ketika melaut jaring
dilempar untuk menggagahi ikan-ikan. ayah serasa melempar nisan-nisan ke jurang
paling dalam.
“saat jaring diangkat.
semerbak mawar senantiasa mendekat.”
fkmsb, 2012
suatu
malam tentang hujan dan demonstran
sewaktu
motor kita kehabisan bensin. para demonstran masih berteriak sambil memikul
kayu kering dari dalam hutan. kau bilang mereka pembaca puisi yang baik.
suaranya menggelegar bak halilintar.
kita
masih berjalan entah ke arah mana. kau mendorong motor dari belakang. sedang
aku memegang setir sambil bergumam. “malam
ini kita menjadi pejalan yang tangguh.” kau hanya tersenyum. tiba-tiba
langit mendung dan hujan turun.
kita
tetap berjalan di bawah hujan. “ternyata
hujan adalah demonstran yang tidak rela kehilangan basahnya.” ucapmu
tiba-tiba. tapi aku tidak mendengar. atau
barangkali hujan yang mendengar. atau atap seng di toko-toko pinggir jalan yang
mendengarnya.
lalu
kita belok sebelum rel kereta benar-benar basah. belok ke rumahku. rumah dengan
segala peristiwa perjanjian antara kita.
di
depan kita hanya langit. hanya langit yang padam. batu-batu dipaksa memiliki
sayap untuk terbang seperti merpati. kita hanya memandangi dari jauh. dari
jarak yang paling subuh. “mari kita
pulang. di bawah bantal biru hujan sudah menunggu.”
fkmsb, 2012